ORANG YANG PERTAMA BERTOBAT KEPADA ALLAH

Dia adalah Adam a.s. yang telah Allah ciptakan dari tanah kemudian menjadikannya tanah liat kering. Kemudian tanah liat itu menjadi lumpur hitam yang dibentuk, lalu Allah membiarkannya sehingga menjadi lumpur hitam bagaikan tembikar. Terakhir Allah meniupkan ruh ke dalamnya hingga jadilah dia manusia.
    Rasulullah saw. bersabda,

“Ketika ditiupkan ke dalam Adam dan ruh sampai ke kepalanya, dia bersin dan berkata, ‘Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam.’ Allah Tabaraka wa Ta’ala berkata kepadanya, ‘Semoga Allah senantiasa merahmatimu.’” 
    Saat itu iblis yang terlaknat selalu berkeliling di sekitarnya, sementara Adam masih menjadi tanah liat yang dibentuk dan belum ditiupkan ruh ke dalam jasadnya dan sebelum iblis diusir dari surga, maka dia pun benci kepadanya.
    Rasulullah saw. bersabda,

“Ketika Allah menciptakan Adam, Allah membiarkannya yang dikehendaki. Hal itu membuat iblis dapat mengelilinginya. Ketika dia melihatnya berongga, dia tahu bahwa dia tidak bisa menahan diri.” 
    Dan Allah Rabbul ‘Izzah, sebelum menciptakan Adam a.s. telah mengabarkan kepada para malaikat akan hal itu dan memerintahkan mereka untuk sujud kepadanya setelah ditiupkan ruh-Nya ke dalamnya, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya.’” (Shaad: 71-72)
    Semua malaikat bersujud kepada Adam a.s. karena taat perintah Allah. Ketika itu iblis pun hadir dan menyaksikannya namun dia tidak bersujud karena hasad dan dengki kepada Adam yang telah Allah muliakan atas penciptaannya. Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali iblis. Ia enggan ikut bersama-sama (malaikat) yang sujud itu.
    Allah berfirman, “Dia (Allah) berfirman, ‘Wahai Iblis! Apa sebabnya kamu (tidak ikut) sujud bersama mereka?’ Ia (Iblis) berkata, ‘Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.’ Dia (Allah) berfirman, ‘(Kalau begitu) keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari Kiamat.’” (al-Hijr: 32-35)
    Penolakan iblis untuk bersujud kepada Adam merupakan kesombongannya dan dia termasuk orang-orang kafir dan balasannya adalah pengusiran dari rahmat Allah, kemudian dia dan para pengikutnya akan kekal di dalam api neraka.
    Allah menempatkan Adam a.s. dan istrinya Hawa yang diciptakan darinya di dalam surga.
    Allah berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau bersama istrimu dalam surga dan makanlah apa saja yang kamu berdua sukai. Tetapi janganlah kamu berdua dekati pohon yang satu ini. (Apabila didekati) kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (al-A’raaf: 19)
    Kemudian Allah swt. mengingatkan Adam dan Hawa akan iblis dan permusuhannya terhadap keduanya, “Kemudian Kami berfirman, ‘Wahai Adam! Sungguh ini (iblis) musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari surga, nanti kamu celaka. Sungguh, ada (jaminan) untukmu di sana, engkau tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang, dan sungguh, di sana engkau tidak akan merasa dahaga dan tidak akan ditimpa panas matahari.’” (Thahaa: 117-119)
    Adam dan Hawa boleh memakan dari semua pohon surga kecuali satu pohon yang tidak boleh dimakan. Selang beberapa waktu Adam dan Hawa tinggal di surga, setan itu bisa mendatangi keduanya untuk menggodanya. Dia membisikkan kepada Adam pikiran jahat kepadanya, “Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Thahaa: 120)
    Iblis yang terlaknat itu terus menggoda Adam dan Hawa agar keduanya mau memakan dari pohon yang telah dilarang Tuhan mereka untuk tidak memakan darinya, sehingga Adam a.s. lupa larangan Tuhannya dan dia beserta istrinya memakan buah dari pohon tersebut.
    Allah swt. berfirman, “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka agar menampakkan aurat mereka (yang selama ini) tertutup.  Dan (setan) berkata, ‘Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasihatmu,’ dia (setan) membujuk mereka dengan tipu daya Ketika mereka mencicipi (buah) pohon itu, tampak-lah oleh mereka auratnya, maka mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun surga. Tuhan menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang kamu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’” (al-A’raaf: 20-22)
    Ketika Adam dan istrinya melanggar perintah Tuhan mereka, yakni keduanya telah memakan buah dari pohon itu, aurat keduanya tersingkap dan terlihat. Keduanya kemudian mengambil daun-daun surga agar bisa menutupi aurat mereka berdua dan menjadikannya kain. Lantas Adam pun bersembunyi karena malu kepada Tuhannya. Hingga Tuhannya memanggilnya, “Apakah kamu lari dari-Ku wahai Adam?” Adam berkata, “Tidak, tetapi malu kepada Engkau wahai Tuhan dari apa yang telah aku perbuat.”
    Adam a.s. menyadari kesalahannya, hingga dia pun bersegera diri untuk bertobat kepada Allah. Dia dan istrinya berkata, “Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah  menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.’” (al-A’raaf: 23)
    Kalimat-kalimat itu akhirnya menjadi doa dan istigfar pertama bagi Adam dan juga keturunannya sesudahnya. Itu adalah awal tobat dari orang yang pertama kali bertobat kepada Allah, dan Allah swt. benar-benar menerima tobatnya. Namun, Allah menurunkannya ke bumi agar dia dan keturunan sesudahnya bisa hidup di dalamnya.
    “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. Kami berfirman, ‘Turunlah kamu semua dari surga! Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.’” (al-Baqarah: 37-38)

DAWUD ATH-THA

Abul Muhna ath-Tha’i berkata, “Dawud ath-Tha’i pernah keluar dan pergi ke pasar. Di sana dia melihat buah kurma yang memikat dirinya, lalu didatanginya si penjual kurma itu.
    Dia berkata, ‘Berikan aku seharga satu dirham dan besok aku bayar.’
    Si penjual itu berkata kepadanya, ‘Pergilah sana ke pekerjaanmu.’
    Kemudian ada seseorang yang mengenal dan melihatnya. Dia pun segera mengambil dompetnya yang di dalamnya ada seratus dirham. Dia berkata kepada si penjual, ‘Pergilah, jika dia telah mengambil darimu seharga satu dirham dan ini seratus dirham untukmu.’
    Si penjual itu menemui Dawud dan berkata kepadanya, ‘Kembalilah dan ambillah hajat dan keperluanmu.’
    Dawud ath-Tha’i berkata, ‘Aku sudah tidak punya lagi keinginan memiliki kurma itu. Sesungguhnya aku sedang menguji jiwa ini, aku tidak mendapatkannya di dunia ini senilai satu dirham, dan dia menginginkan surga esok hari.’
    Abu Hafsh berkata, “Aku mendengar Ibnu Abi ‘Uday berkata, ‘Dawud ath-Tha’i berpuasa selama empat puluh tahun sementara keluarganya tidak mengetahuinya. Dia selalu membawa makanan dan disedekahkan kepada orang lain di jalan. Kemudian dia kembali pada saat isya berbuka puasa bersama keluarganya, mereka tidak tahu bahwa dia berpuasa.’”41

Seorang Ahli Ibadah di Bukit

Muhammad bin Husain berkata, “Aku diceritakan oleh Ahmad bin Sahal, dia diceritakan oleh Abu Farwah as-Saih—salah seorang ahli ibadah yang sangat mencintai Allah—dia berkata, ‘Ketika aku berjalan di salah satu bukit, tiba-tiba aku mendengar suara bergema. Aku berkata dalam hati, pasti ada sesuatu di sini.’
Aku mengikuti sumber suara itu. Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara, ‘Wahai Zat yang menghiburku dengan mengingat-Nya, menjauhkanku dari para makhluk-Nya dan yang selalu bersamaku dalam kebahagiaanku, kasihanilah hari ini ratapanku dan karuniakanlah kepadaku ma’rifah-Mu agar aku semakin dekat dengan-Mu wahai Yang Maha Pemurah kepada para kekasih-Nya, jadikanlah aku saat ini salah seorang kekasih-Mu yang bertakwa.’
Kemudian aku mendengar suara teriakan, tetapi aku tidak melihat siapa-siapa. Aku melangkah menuju suara itu dan ternyata aku menemukan seorang tua yang jatuh pingsan. Sebagian tubuhnya tersingkap lalu aku tutupi. Aku tetap berada di sampingnya sampai akhirnya  dia sadar.
Setelah sadar  dia bertanya, ‘Siapa kamu ini?’
‘Salah seorang anak cucu Adam,’ jawabku.
Dia berkata, ‘Menjauhlah dariku, dari kalianlah aku lari.’

Kemudian dia menangis dan bangkit. Dia lalu melangkah dan meninggalkanku. Aku berkata kepadanya, ‘Semoga Allah merahmatimu, tunjukkanlah jalan kepadaku.’ Lalu  dia menunjuk ke arah langit.”

SEMOGA ALLAH MENGUTUSMU UNTUK KEBAIKAN

Abbas bin Muhammad bin Abdurrahman al-Asyhali berkata, “Ayahku pernah bercerita kepadaku, dia berkata, ‘Aku pernah mendengar suara lebah di pemakaman dan aku mendengar suara rintihan. Aku pun menelusuri untuk mencarinya dan ternyata ada Yahya bin Ayyub sedang berada dalam sebuah lubang dari lubang-lubang pemakaman itu. Dia sedang berdoa sambil menangis seraya berkata, ‘Wahai Penyejuk mata orang-orang yang taat, wahai Penyejuk mata orang-orang yang melakukan maksiat, bagaimana tidak menjadi Penyejuk mata orang-orang yang taat, dan Engkau telah memberikan mereka nikmat taat, dan bagaimana tidak menjadi Penyejuk mata orang-orang bermaksiat dan Engkau telah menutupi mereka dosa-dosa itu.’”
    Ayahku berkata, “Dia pun kembali menangis dan aku pun terbawa menangis. Hingga akhirnya dia mengetahui keberadaanku lalu dia berkata, ‘Ke sinilah, mudah-mudahan Allah mengutus kamu untuk kebaikan.’”57

ALLAH TELAH MENGGANTIKU DENGAN KERIDHAAN SEPERTI SEKARANG INI

Abdullah bin Marzuq adalah orang yang mendapat kelapangan dalam keduniaan. Suatu hari dia minum-minum di tengah hura-hura dan mendengar nyanyian. Dia belum shalat zuhur, ashar, dan magrib, dan setiap waktu budak perempuannya selalu mengingatkannya. Kemudian pada saat datang waktu isya, datanglah budak wanita itu dengan membawa bara api kemudian diletakkan di kakinya, dia pun kaget dan melompat seraya berkata, “Apa-apaan ini?”
    Budak itu menjawab, “Bara dari api dunia. Apa yang akan Anda perbuat dengan api akhirat nanti?”
    Abdullah pun langsung menangis sejadi-jadinya, kemudian dia pergi shalat. Apa yang tadi dikatakan oleh budak wanita itu sangat membekas sekali dalam dirinya. Dia berpendapat bahwa tidak ada jalan lain yang dapat menyelamatkannya kecuali harus meninggalkan apa yang dia lakukan saat ini yaitu kekayaan dan hidup berfoya-foya. Hingga dia pun memerdekakan budak wanitanya, kemudian dia bersedekah dengan hartanya dan budak wanitanya itu mengikutinya. Orang itu akhirnya menjadi pedagang sayuran di pasar.
    Tak lama kemudian datang Sufyan bin Uyyainah dan al-Fudhail bin Iyadh. Keduanya menjumpai orang itu dalam keadaan tidur dengan berbantal segumpal tanah, maka Sufyan pun berkata kepadanya,  “Sesungguhnya jika ada orang yang membiarkan sesuatu karena Allah, Allah pasti akan memberinya sebagai ganti. Lantas, apa yang telah Allah gantikan untukmu dari apa yang telah kamu tinggalkan?”
    Orang itu menjawab,  “Keridhaan seperti aku sekarang ini.”

MEMILIH MATI KETIMBANG MAKSIAT

Ibnul Qayyim rahimahullah bercerita bahwa ada seorang wanita di Madinah yang mencintai seorang pemuda, padahal wanita itu telah bersuami. Kemudian wanita itu pun mengirim surat mengeluhkan cintanya dan meminta kepada pemuda itu untuk menziarahinya. Dia memintanya dengan merengek, hingga hal itu pun tersebar sampai terdengar ke seorang sahabatnya. Dia berkata kepadanya, “Utuslah ke wanita itu beberapa orang dari keluargamu untuk menasihati wanita itu dan melarangnya dan kamu mohon agar dia menyetop apa yang selama ini dia lakukan terhadapmu.”
    Pemuda itu kemudian menutupi hal itu. Wanita tadi menulis surat kepadanya, entah kamu yang mendatangiku atau aku yang akan mendatangimu. Maka, pemuda itu pun menolak. Pada saat wanita itu putus asa dari usahanya tadi, dia langsung mendatangi seorang wanita yang pekerjaannya sebagai dukun dan langsung menyampaikan keinginannya kepada dukun itu untuk mengguna-gunanya kemudian dukun itu segera melakukan kerjanya.
    Ketika satu malam pada saat pemuda itu sedang bersama ayahnya, tiba-tiba pemuda itu hatinya terbayang-bayang wanita tadi—karena pengaruh sihir dan guna-guna dukun itu—pemuda itu melakukan perbuatan yang membabi buta yang tidak pernah dilakukan. Dia segera shalat dan meminta perlindungan, namun masalah kian jadi tidak menentu, dia berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, ikatlah tubuhku.”
    Sang ayah bertanya, “Wahai anakku, bagaimana cerita kamu ini?”
    Pemuda itu pun menceritakan perkaranya itu. Kemudian sang ayah segera mengikat anaknya dan memasukkannya ke dalam rumah. Namun, apa yang terjadi? Pemuda tersebut memukul-mukul dirinya dan dia melenguh seperti suara sapi. Setelah keadaan tenang, ternyata pemuda itu telah mati sementara darah mengalir dari hidungnya.53
    Penulis mengatakan bahwa pemuda yang sangat bertakwa itu lebih memilih mati ketimbang melakukan maksiat. Sementara wanita yang jahat itu, asmaranya yang haram telah membawanya kepada kekafiran yaitu dengan melakukan sihir guna-guna terhadap pemuda itu. Hal seperti ini sering terjadi pada wanita-wanita yang melakukan apa yang disebut dengan ilmu pelet yaitu sihir dalam hal percintaan. Semua itu adalah syirik kepada Allah yang telah dilarang oleh baginda Rasulullah saw..

TOBAT WANITA YANG BERZINA

Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dari Abi Nujaidah Imran bin Hushain al-Khuza’i r.a. bahwa ada seorang dari kabilah Juhainah mendatangi Rasulullah saw dan wanita hamil dari hasil perzinaan. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melanggar larangan zina, hukumlah aku.”
    Rasulullah saw. pun memanggil wali wanita itu dan berkata kepadanya, “Uruslah dia dengan baik. Apabila nanti dia telah melahirkan, bawalah kepadaku.”
    Orang itu pun telah melaksanakannya. Rasulullah memerintahkan agar pakaian wanita itu dikencangkan (agar tidak tersingkap) kemudian beliau memerintahkan untuk merajamnya, setelah itu beliau menshalatkannya. Umar berkata kepada beliau, “Apakah engkau menshalatkan orang yang telah berzina, wahai Rasulullah?”
    Beliau berkata kepadanya, “Wanita ini telah bertobat dan jika tobatnya dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang dari penduduk Madinah maka akan mencukupinya. Apakah kamu telah mendapatkan yang lebih baik dari orang yang berjuang dengan jiwa untuk Allah swt.?”
    Hadits ini memaparkan dengan jelas bahwa sesungguhnya melaksanakan hukuman atas orang-orang yang berdosa di dunia dapat menghapuskan dosa. Dan sesungguhnya wanita itu dengan pengakuannya atas dosa besar yang telah dilakukannya kemudian telah dilaksanakannya hukuman terhadapnya berarti ia telah luput (suci) dari dosanya. Oleh karena itu, Rasulullah saw. mau menshalatkannya, dan shalat beliau bagi si mayit adalah syafaat dan rahmat dengan izin Allah.
    Dalam hadits tersebut juga disebutkan keinginan yang begitu kuat dari wanita tersebut, sehingga Rasulullah saw. membiarkannya sampai ia melahirkan anaknya. Kemudian di hadits lain disebutkan sampai ia menyusui bayinya, menyapihnya, dan ia tetap datang kepada beliau agar Nabi sudi melaksanakan hukuman had atas dirinya, dan itu adalah tanda-tanda tobat yang benar.
    Bisa saja wanita itu lari dari tindakan hukuman dan telah diberikan waktu lebih dari sekali. Akan tetapi, tekadnya untuk menyucikan diri dari dosa,  membuat dia berusaha menyucikan diri dan mengikuti Tuhannya. Dan dia telah tobat dengan taubatan nasuha yang diterima dan Rasulullah saw. menyaksikan tobatnya yang baik serta diterima oleh Allah swt..

Fudhail bin Iyadh dan Lelaki yang Uangnya Dicuri

Ketika melakukan thawaf di Ka’bah, Fudhail bin Iyadh rahimahullah melihat seorang lelaki sedang duduk dan menangis. Maka Fudhail bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Lelaki itu menjawab, “Saya kehilangan beberapa dinar, dan saya tahu bahwa uang saya itu dicuri orang”.
Dengan heran Fudhail berkata, “Engkau menangis karena kehilangan beberapa dinar!”.
Orang itu berkata, “Bukan itu. Akan tetapi saya teringat bahwa pada hari kiamat saya dan pencuri itu akan dihisab. Oleh karena itu saya menangis karena kasihan terhadap pencuri itu jika diazab oleh Allah”.
Saya ( penulis ) katakan, “Orang lelaki itu ridha dengan qadha Allah, oleh karena itu Allah menambahkan padanya rasa belas kasihan terhadap si pencuri yang mengambil uangnya. Itu adalah keutamaan ridha dengan qadha dan qadar Allah”.

Abbad bin Bisyr dan Keridhaannya kepada Qadha Allah

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a., dia berkata, “Kami berangkat dengan Rasulullah saw. dalam perang Dzaatu Riqaa` dari kebun kurma. Lalu seseorang dari kami mendapatkan seorang wanita dari orang-orang musyrik yang kala itu suaminya sedang tidak ada. Ketika Rasulullah saw. bersama tentara muslim pulang, suami wanita musyrik itu kembali ke rumahnya dan tidak mendapati isterinya. Ketika diberitahu tentang apa yang terjadi, dia bersumpah untuk membunuh sahabat Muhammad. Maka dia pun mengejar Rasulullah saw..
Rasulullah saw. kemudian singgah di suatu tempat. Lalu beliau bertanya, “Siapakah yang akan menjaga kami malam ini?” Lalu seorang Muhajirin dan seorang Anshar menawarkan diri untuk berjaga-jaga malam itu. Keduanya berkata, “Kami wahai Rasulullah”.
Lalu Rasulullah saw. bersabda kepada mereka, “Kalau demikian, berjaga-jagalah di ujung jalan lembah ini”.
Kedua sahabat itu adalah Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr al-Anshari.
Ketika keduanya pergi menuju ujung jalan lembah itu, orang Anshar berkata kepada orang Muhajirin, “Engkau meinginginkan saya berjaga-jaga di awal malam atau di akhirnya?”
Dia menjawab, “Berjaga-jagalah di akhir malam”.
Maka orang Muhajirin itu pun merebahkan diri lalu tertidur, sedangkan Abbad bin Bisyr al-Anshari menunaikan shalat.
Lalu seorang lelaki datang. Ketika dia melihat seorang lelaki sedang berdiri, dia pun tahu bahwa dia adalah penjaga pasukan muslim. Lalu dia pun memanahnya. Maka Abbad al-Anshari mencabut panah yang menancap di tubuhnya lalu menjatuhkannya dengan tetap menunaikan shalat. Kemudian orang musyrik itu kembali memanahnya. Orang Anshar itu pun kembali mencabutnya dan meletakkannya dengan tetap menunaikan shalat. Kemudian dia ruku’ dan berkata kepada temannya, orang Muhajirin, “Bangunlah, saya terkena panah”.
Ketika melihat kedua orang tersebut, orang musyrik itu pun tahu bahwa orang yang dia panah telah mengetahuinya. Maka maka dia pun loncat dan langsung melarikan diri.
Ketika orang Muhajirin itu melihat darah mengalir dari orang Anshar tersebut, dia berkata, “Subhanallah, mengapa engkau tidak membangunkan saya ketika panah pertama mengenaimu?!”
Orang Anshar itu menjawab, “Ketika itu saya sedang membaca sebuah surah Al-Qur`an. Saya tidak ingin memotongnya sampai menyelesaikannya. Ketika panah-panah terus menerus mengenai saya, maka saya ruku’ dan saya memberitahu kamu. Demi Allah, seandainya bukan karena hilangnya sebuah gigi yang Rasulullah saw. perintahkan saya untuk menjaganya, pasti jiwa saya terputus terlebih dahulu sebelum saya memotong bacaan saya atau menyelesaikannya”.
Ketika itu Abbad bin Bisyr melakukan shalat dengan membaca surah al-Kahfi, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitab Dalaa`ilun Nubuwwah.
Sahabat tersebut tetap teguh di tempatnya berdiri menunaikan shalat walaupun anak-anak panah menembus dirinya. Dia ridha kepada qadha Allah. Ketika banyak anak panah yang mengenai dirinya, dia pun ruku’ untuk membangunkan sahabatnya.

TOBAT HUBAR IBNUL ASWAD AL-QURASYI

Hubar ibnul Aswad adalah salah seorang musyrikin Quraisy. Dia telah banyak menyakiti Rasulullah saw. dan kaum Muslimin. Dia telah melakukan dosa  besar ketika dia menghadang perjalanan putri Rasulullah saw., Sayyidah Zainab r.a. di hari dia keluar dari Mekah untuk menemui ayahnya di Madinah untuk hijrah setelah Perang Badar al- Kubra.
    Hubar ibnul Aswad menusuk untanya hingga ia jatuh, padahal ia saat itu sedang hamil, kehamilannya pun gugur. Lalu dia jatuh sakit sampai setelah dia tiba di Madinah. Rasulullah saw. menghalalkan darahnya dan memerintahkan untuk membakarnya. Kemudian beliau meralat kembali perintahnya dengan melarang membakarnya karena itu merupakan azab Allah swt. semata. Jadi, cukup dengan membunuhnya.
    Akan tetapi, Hubar ibnul Aswad mendapat rahmat Allah swt. lalu dia bertobat dan masuk Islam. Dia pun turut membaiat Rasulullah saw.. Islamnya pun baik dan dia mati syahid di jalan Allah dalam Perang Ajnadin di wilayah Syam tahun  14 H.

Empat Sifat

Seseorang bertanya kepada Hatim al-Asham, “Berdasarkan apa kamu bangun tawakkalmu kepada Allah?”
Hatim menjawab, “Berdasarkan empat hal sebagai berikut.
1.    Aku tahu bahwa rezekiku tidak akan diambil oleh orang lain, maka hatiku pun menjadi tenang.
2.    Aku tahu bahwa pekerjaanku tidak akan dikerjakan oleh orang lain, maka aku pun menyibukkan diri dengan itu.
3.    Aku tahu bahwa kematian pasti akan mendatangiku secara tiba-tiba, maka aku pun segera menyiapkan diri menghadapinya.
4.    Aku tahu bahwa aku tak akan lepas dari pandangan Allah di mana pun aku berada, maka aku pun merasa malu pada-Nya.
Ada lagi seseorang yang bertanya padanya, “Wahai Hatim, bagaimana shalatmu?”
Dia menjawab, “Aku segera berdiri ketika datang seruan, kemudian aku berjalan dengan tenang, aku akan mulai dengan niat, lalu aku takbir dengan mengagungkan Allah, aku membaca dengan tartil dan penuh pikir, aku ruku’ dengan khusyu, aku sujud dengan penuh tawadhu, aku salam dengan berdasarkan sunnah, aku serahkan shalatku dengan ikhlas kepada Allah swt. dan aku selalu merasa cemas kalau-kalau Allah tidak menerima shalatku.” 

TOBAT IBRAHIM AL-JIBLI

    Abdul Wahid bin Muhammad bin Abban al-Farisi berkata, “Aku pernah bertemu dengan Ibrahim al-Jibly di Mekah setelah dia pulang ke kampung halamannya dan dia menikah dengan putri pamannya. Dia berjalan melintasi perkampungan dengan tidak memakai alas kaki. Dia menceritakanku bahwa ketika dia pulang ke kampung halamannya dan menikah, ternyata dia sangat tergila-gila dengan seorang anak pamannya, sampai-sampai dia tidak mau meninggalkannya sejenak pun.”
    Dia berkata, “Pada suatu malam aku pun merenungi kenapa sering ingat memikirnya, sehingga membuatku tergila-gila padanya. Aku berkata kepada diriku, “Ini tidak baik dan apa yang akan aku jawab di hari Kiamat nanti jika dalam hatiku ada perasaan seperti ini. Aku pun segera berwudhu, lantas aku shalat dua rakaat dan berdoa, ‘Wahai Tuhanku, kembalikanlah hatiku kepada yang lebih utama.’”
    Ketika esok harinya, wanita itu terkena demam panas dan pada hari ketiganya dia meninggal dunia. Aku pun berniat untuk pergi dan keluar dari kampungku dengan tidak memakai alas kaki sampai aku tiba di Mekah.79

Wafat di Ka

Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan dari Abdul Aziz bin Abi Ruwad,  dia berkata, “Ada sekelompok manusia yang datang ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Di antara mereka ada seorang wanita yang selalu berkata, ‘Mana rumah Tuhanku?’
Orang-orang terus berkata padanya, ‘Sebentar lagi akan kau lihat.’
Ketika mereka sudah sampai ke Baitullah, mereka berkata kepada wanita itu, ‘Itu rumah Tuhanmu, sudahkah kamu lihat?’
Wanita itu masuk ke Baitul Haram sambil menunduk dan berkata, ‘Ini rumah Tuhanku. Ini rumah Tuhanku.’
Ketika  dia menyentuh Ka’bah al-Musyarrafah, dia meletakkan keningnya di dinding Ka’bah, dia tempelkan wajah dan mulutnya di sana dan dia bergantung di kiswahnya. Ketika tubuhnya diangkat dari tempat itu, ternyata dia sudah wafat.” 

TOBAT NUH A.S.

Nabi Nuh a.s. adalah nabi utusan Allah dan rasul-Nya. Disebutkan bahwa kelahirannya adalah setelah wafatnya Nabi Adam a.s. dengan jarak seratus dua puluh tahun.  Allah telah mengutusnya kepada kaumnya setelah mereka menyembah berhala-berhala selain Allah. Mereka merupakan anak keturunan Adam pertama yang keluar dari tauhid.
    Ibnu Abbas r.a. berkata,

“Jarak waktu antara Adam dan Nuh adalah dua belas abad, semua mereka dalam keadaan Islam.”
    Allah swt. berfirman, “Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata), ‘Sungguh, aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih.’” (Huud: 25-26)
    Akan tetapi, kaumnya malah mendustakannya, namun Nuh a.s. terus mengajak mereka untuk menyembah kepada Allah selama seribu tahun kurang lima puluh, sembilan ratus lima puluh tahun. Dia terus mengajak mereka di siang atau di malam hari, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, namun mereka tetap saja keras kepala dan sombong seraya mereka berkata kepada Nuh, “Kami mendapatkan kamu dalam kesesatan yang jelas.” Tidak ada yang beriman kepada Nuh a.s. dari kaumnya kecuali sedikit sekali.
    Allah swt. berfirman, “Kaum Nuh telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya aku ini seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kamu kepada Allah dan taatlah kepadaku.     Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu; imbalanku  hanyalah dari Tuhan seluruh alam, maka bertakwalah kamu kepada Allah dan taatlah kepadaku.’ Mereka berkata, ‘Apakah kami harus beriman kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?”Kaum Nuh telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.’ Mereka berkata, ‘Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?’” (asy-Syu’araa`: 105-111)
    Allah swt. juga berfirman, “Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zalim. Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang berada di kapal itu, dan Kami jadikan (peristiwa) itu sebagai pelajaran bagi semua manusia.” (al-‘Ankabuut: 14-15)
    Ketika Nuh tahu setelah perjalanan tahun-tahun yang panjang dalam berdakwah kepada Allah bahwa tidak akan ada lagi dari kaumnya yang beriman kepadanya kecuali orang-orang yang sudah beriman kepadanya, dia pun mendoakan malapetaka atas mereka,    “Dan Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.” (Nuh: 26-27)
    Allah swt. mewahyukan kepada Nuh a.s. agar membuat kapal untuk mengangkut mereka yang beriman dari kaum dan keluarganya ikut bersamanya, karena Allah swt. akan menenggelamkan bumi dan orang-orang yang di atasnya dengan badai taufan.
    Allah swt. berfirman, “Sebelum mereka, kaum Nuh juga telah mendustakan (rasul), maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan, ‘Dia orang gila!’ Lalu diusirnya dengan ancaman. Maka dia (Nuh) mengadu kepada Tuhannya, ‘Sesungguhnya aku telah dikalahkan, maka tolonglah (aku).’ Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah, dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air, maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan. Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan pasak, yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan) Kami sebagai balasan bagi orang yang telah diingkari (kaumnya). Dan sungguh, kapal itu telah Kami jadikan sebagai tanda (pelajaran). Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku! Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 9-17)
    Allah juga berfirman, “Dia (Nuh) berdoa, ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku.’ Lalu Kami wahyukan kepadanya, ‘Buatlah kapal di bawah pengawasan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami datang dan tanur (dapur) telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam (kapal) itu sepasang-sepasang dari setiap jenis, juga keluargamu, kecuali orang yang lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa siksaan) di antara mereka. Dan janganlah engkau bicarakan dengan-Ku tentang orang-orang yang zalim, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.’” (al-Mu’minuun: 26-27)
    Setelah Nuh rampung membuat perahu kapal tersebut, dia menaikkan di atasnya orang-orang yang beriman bersamanya dan juga dari masing-masing pasangan dari hewan, unggas, dan binatang buas yang ada di bumi. Dia memperhatikan apa yang ada di sekitarnya dan yang dia temukan hanya tiga orang dari anaknya yaitu Haam, Yaafits, dan Saam. Sementara, dia tidak melihat anak yang keempat yaitu Kan’aan. Anaknya yang kafir ini menolak taat kepada ayahnya dan naik bersamanya ke atas perahu kapal itu, karena dia mengikuti agama kaumnya.
    Akan tetapi, ayahnya yang penyayang, seorang nabi utusan Allah, itu tetap memanggilnya untuk taat kepadanya dan mau naik perahu kapal itu bersamanya, namun anak yang durhaka itu tetap menolak perintah ayahnya dan dia mengira bahwa dia bisa selamat dari tenggelam dengan menaiki sebuah gunung yang tinggi.
    Allah swt. berfirman, “Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.’ Dia (anaknya) menjawab, ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!’ (Nuh) berkata, ‘Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan.’” (Huud: 42-43)
    Tak lama setelah itu, badai topan itu pun menenggelamkan semua mereka yang kafir yang ada di atas bumi. Pada saat Nuh melihat sang anak berkeras kepala untuk tidak mau ikut naik ke perahu kapal itu dan dia akan binasa, Nuh berdoa kepada Tuhannya, “Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.’” (Huud: 45)
    Nuh telah memahami bahwa Allah telah menjanjikannya akan menyelamatkan dia dan keluarganya. Allah swt. berfirman, “…maka masukkanlah ke dalam (kapal) itu sepasang-sepasang dari setiap jenis, juga keluargamu, kecuali orang yang lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa siksaan) di antara mereka. Dan janganlah engkau bicarakan dengan-Ku tentang orang-orang yang zalim, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (al-Mu’minuun: 27)
    Untuk itu Nuh berkata dalam doanya kepada Tuhannya agar Dia menyelamatkan anaknya yang durhaka, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah dari keluargaku.”
    Allah pun menjawabnya dengan jelas, “Dia (Allah) berfirman, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.’” (Huud: 46)
    Allah memang telah menjanjikan Nuh akan menyelamatkan dia dan orang-orang yang beriman bersamanya serta keluarganya, kecuali orang-orang yang telah dinyatakan binasa bersama mereka dan mereka adalah orang-orang yang kafir. Dan kedurhakaan anak ini sebagai bukti bahwa itu adalah perbuatan jelek. Karena itu, dia bukanlah dari keluarganya, karena sesungguhnya keluarganya itu adalah orang-orang yang bertakwa.
    Nuh a.s. menyadari akan kesalahannya yang tidak dia sengaja, maka dia pun bergegas dan langsung bertobat dan memohon ampun kepada Tuhannya.
    “Dia (Nuh) berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang rugi.’” (Huud: 47)
    Allah pun menerima permohonan maaf, tobat, dan mohon ampunnya. Sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba-Nya yang beriman.
    Difirmankan, “Difirmankan, ‘Wahai Nuh! Turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami, bagimu dan bagi semua umat (mukmin) yang bersamamu. Dan ada umat-umat yang Kami beri kenangan (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab Kami yang pedih.’” (Huud: 48)
    Allah menyucikannya seraya berfirman, “’Kesejahteraan (Kami limpahkan) atas Nuh di seluruh alam.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman.” (as-Shaaffaat: 79-81)

Abu Dzar al-Ghifari dan Keridhaannya kepada Allah

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Abu Dzar al-Ghifari berdiri di sisi Ka’bah, lalu berkata, “Wahai orang-orang, saya Jundub al-Ghifari. Kemarilah kepada seorang saudara yang ikhlas memberi nasihat dan penyayang”.
Lalu orang-orang pun datang mengerumuninya. Lalu dia berkata, “Jawablah kalian, bukankah jika seseorang diantara kalian ingin melakukan perjalanan dia perlu membawa bekal yang baik dan cukup untuk sampai ke tujuan?”.
Mereka balik berkata, “Apa yang baik untuk kami?”
Dia menjawab, “Lakukanlah haji karena kelak akan terjadi hal-hal yang berat. Dan puasalah pada hari yang sangat panas karena mengingat lamanya hari kiamat. Dan lakukanlah shalat dua rakaat ketika malam gelap, karena mengingat sepinya alam kubur. Ucapkanlah kata-kata yang baik dan jangan katakan kata-kata yang buruk, karena kalian akan diadili pada hari yang dahsyat. Bersedakahlah dengan harta kalian, semoga kalian selamat dari kesulitan di akhirat kelak. Jadikanlah dunia untuk dua hal: pertama untuk mencari harta yang halal, dan kedua untuk mencari akhirat. Sedangkan hal ketiga hanyalah merugikan kalian, tidak memberi manfaat, maka jangan kalian lakukan.
Jadikanlah harta itu dua dirham, dirham pertama kalian nafkahkan untuk keluarga kalian yang kalian peroleh dari cara yang halal. Dan dirham kedua adalah yang kalian keluarkan untuk akhirat kalian. Sedangkan yang ketiga hanyalah merugikan dan tidak memberi kalian manfaat, maka jangan dilakukan”.
Kemudian dia berseru dengan keras, “Wahai orang-orang, Kalian telah dibunuh oleh keinginan ( ambisi ) yang tidak akan kalian capai untuk selamanya”.
Dan dia pun menangis dan tangisannya semakin menjadi-jadi, lalu dia berkata, “Saya telah dibunuh oleh kecintaan terhadap hari yang tidak akan saya temui”.
Lalu dia ditanya, “Hari apa yang tidak engkau temui”.
Dia menjawab, “Yaitu angan-angan yang panjang”.