Jangan Berhenti Menziarahi Kami

Ibnu Qudamah al-Maqdisi menceritakan dari Utsman bin Saudah ath-Thafawi bahwa ibunya adalah seorang ahli ibadah di masanya sehingga dia dijuluki dengan rahibah (ahli ibadah). Utsman menceritakan, “Sebelum ibuku wafat, dia menengadahkan kepalanya ke langit dan dia berdoa, ‘Wahai Pelindungku, wahai Tempat aku bergantung dalam hidup dan setelah matiku, jangan tinggalkan aku ketika sekarat dan jangan biarkan aku kesepian di dalam kubur.’
Setelah dia wafat, aku selalu menziarahi kuburnya setiap hari Jumat, aku mendoakan dan aku memintakan ampunan untuknya dan seluruh ahli kubur di sekitarnya. Suatu malam aku bermimpi bertemu dengannya. Aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu ibu?’
Dia menjawab, ‘Wahai anakku, sesungguhnya kematian itu sangat berat. Segala puji bagi Allah, aku berada dalam barzakh yang baik, kami beralaskan permadani dan berbantalkan sutera sampai Hari Berbangkit nanti.’
Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu mempunyai kebutuhan?’
‘Ya, jangan hentikan ziarah dan doamu untuk kami.’”

Laits bin Sa

Muhammad bin Musa ash-Shaigh berkata, “Aku mendengar Mansur bin Ammar—seorang dai terkenal di masanya—berkata, ‘Suatu hari aku menyampaikan pengajian di salah satu masjid di Mesir. Tiba-tiba datang dua orang lelaki yang langsung berdiri di depan halaqah (majelis pengajian). Keduanya berkata, ‘Temuilah Imam Laits.’
Aku segera menemuinya. Dia berkata, “Engkau yang menyampaikan pelajaran di masjid?”
“Ya,” jawabku.
“Ulangi lagi apa yang telah kamu sampaikan di masjid.”
Mansur bin Ammar mengulang kembali apa yang telah disampaikannya di masjid. Kemudian Imam Laits bin Sa’ad menangis sejadi-jadinya, lalu dia berkata,
“Siapa namamu?”
“Mansur.”
“Anak siapa?”
“Anak (bin) Ammar.”
“Abu Sari?”
“Ya.”
“Alhamdulillah yang belum memanggilku sebelum aku bertemu denganmu.”
Kemudian Imam Laits berkata, “Wahai pembantu!” Pembantunya langsung datang dan berdiri di depannya.
“Ambillah kantong itu.”
Pembantunya datang membawa kantong yang berisi seribu dinar.
Imam Laits berkata, “Wahai Abu Sari, ambillah ini dan jaga dirimu dari (minta-minta kepada) para penguasa dan jangan puji siapa pun di antara para makhluk setelah kamu memuji Tuhan semesta alam. Dan aku telah berjanji untuk memberimu sebanyak ini setiap tahun.”
Aku berkata, “Semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya Allah sudah banyak memberiku nikmat dan karunia.”
Laits berkata, “Jangan tolak sesuatu pun yang aku berikan padamu untuk menyambung silaturrahmi denganmu.”

Akhirnya Mansur bin Ammar mengambil uang seribu dinar itu lalu  dia pulang. Laits berpesan agar dia kembali datang pada Jumat berikutnya.
Pada Jumat berikutnya, Mansur kembali datang. Laits berkata, “Sampaikanlah sesuatu.”
Laits meminta Mansur untuk menyampaikan nasihat. Mansur bin Ammar pun mulai bicara. Laits menangis sejadi-jadinya mendengarkan nasihat dari Mansur. Ketika dia ingin pulang, Laits berkata, “Lihatlah apa di bawah bantal itu!” Setelah dilihat Mansur, ternyata uang sejumlah lima ratus dinar. Ketika Mansur berniat untuk menolaknya, Laits berkata, “Jangan tolak apapun yang aku berikan untuk menyambung silaturahmi denganmu.”
Laits meminta Mansur untuk kembali datang pada Jumat berikutnya.
Ketika Mansur datang pada Jumat berikutnya, dia segera berkata, “Aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal.”
Laits berkata, “Sampaikanlah sesuatu kepadaku untuk mengenangmu.”
Mansur bin Ammar mulai berbicara. Laits kembali menangis dan tangisnya semakin menjadi-jadi. Kemudian dia berkata, “Wahai Mansur, lihatlah apa yang ada di bawah bantal itu!”
Ternyata uang tiga ratus dinar yang telah dia siapkan untuk haji. Kemudian dia berkata, “Wahai pembantu, ambilkan kain ihram untuk Mansur!”
Pembantu itu datang membawa empat puluh kain ihram.
Mansur berkata, “Semoga Allah merahmatimu, aku hanya butuh dua helai saja.”
Laits berkata, “Engkau seorang yang mulia dan tentu banyak orang yang akan pergi bersamamu, maka berikanlah kepada mereka.”
Kemudian Laits berkata kepada pembantu yang tadi membawa pakaian, “Pembantu ini aku berikan padamu.”
Semoga Allah merahmati Imam Laits bin Sa’ad.

Ibrahim bin Adham dan Keridhaannya kepada Allah

Yunus bn Sulaiman al-Bulkhi berkata, “Awalnya Ibrahim bin Adham termasuk orang-orang yang kaya. Harta ayahnya melimpah dan mempunyai banyak budak. Pada suatu hari Ibrahim pergi bersama para budak, para pembantu, kuda-kuda dan burung-burung elangnya untuk berburu.
    Ketika dalam perjalanan, dan Ibrahim sedang memacu kudanya, tiba-tiba terdengar suara dari atasnya yang melafalkan,

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main ( saja ), dan bahwa kamu  tidak akan dikembalikan kepada kamia?”. ( al-Mu`minuun: 115 ). Bertakwalah kepada Allah, dan engkau harus mencari bekal untuk hari yang penuh kesulitan”.
Maka Ibrahim pun langusng turun dari kudanya, kemudian meninggalkan kemewahan dunia dan beramal untuk akhirat.
Bisyr Ibnul Mundzir berkata, “Dulu, ketika saya melihat Ibrahim bin Adham, seakan-akan dia adalah tubuh tanpa daging. Apabila angin menerpanya pasti dia terjatuh. Kulitnya menjadi hitam dan dia memakai mantel”.
Ibrahim bin Basysyar berkata, “Saya mendengar Ibrahim bin Adham berkata, “Saya tidak pernah meminta bekal kepada teman-teman saya dan orang lain kecuali karena sesuatu”.
“Apa itu wahai Abu Ishaq?”, tanyaku.
Dia menjawab, “Awalnya saya tidak mau bekerja memetik buah-buahan dengan diupah. Akan tetapi kemudian mereka memerlukan saya dan mengupah saya. Maka itulah beban yang saya timpakan kepada mereka”.

TOBAT SEORANG WANITA DI DALAM KA

Wahib ibnul Ward al-Makhzumi  yang merupakan salah seorang ahli ibadah dari penduduk Mekah berkata, “Suatu hari ada seorang wanita sedang thawaf di Ka’bah al-Musyarrafah dan berkata, ‘Wahai Tuhanku, kenikmatan telah pergi dan yang tersisa hanya tanggung jawabnya. Wahai Tuhanku, Mahasuci Engkau dan demi kemuliaan Engkau, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengasih. Wahai Tuhanku, siksa yang Engkau miliki adalah neraka.’”
    Hingga temannya yang ikut bersamanya berkata, “Saudaraku, hari ini kau telah masuk ke dalam rumah Tuhanmu?”
    Dia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya diriku melihat dua kaki ini tidak pantas untuk thawaf di sekitar rumah Tuhanku. Lantas bagaimana sekarang aku melihat keduanya justru menginjak rumah Tuhanku? Aku tahu bagaimana kedua kaki ini berjalan dan ke mana keduanya berjalan.”
    Penulis mengatakan, “Wanita itu telah menyadari akan dosa-dosanya di tengah Ka’bah Baitullahil Haram. Dia menyesali dosa-dosanya serta segala kesalahan yang telah dilakukan. Dia memohon ampunan Tuhannya di dalam rumah-Nya. Dia bersegera diri untuk bertobat kepada-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat dan Maha Penyayang.”
    Itu adalah sebagai isyarat penting kepada para peziarah Baitullahil Haram pada saat haji atau umrah untuk bertobat dan memohon ampun sebelum datang ke Makkah al-Mukarramah, bahkan sebelum melakukan perjalanan ke Tanah Suci.

Sesungguhnya Tuhanku Menguji Saya, Maka Saya Ingin Menambah Ujian Tersebut

Abu Nu’aim menyebutkan dalam kitab Hilyatul Auliya` dan Ibnul Jauzi dalam Shifatush Shafwah, bahwa Basyir ath-Thabari, seorang ahli ibadah dan zahid di Syam, dijarah oleh orang-orang Romawi. Mereka mengambil sekitar tujuh ratus kerbaunya. Maka budak-budaknya berkata kepadanya, “Tuan, kerbau-kerbau itu diambil mereka”.
Maka Basyir berkata kepada budak-budaknya, “Kalian pergilah, karena kalian saya merdekakan untuk Allah semata”.
Maka seorang anaknya pun mengeluh, “Ayah, engkau telah membuat kita menjadi fakir”. Ketika itu Basyir sudah tidak mempunyai ternak dan budak sama sekali.
Maka Basyir berkata kepada anaknya, “Diamlah wahai anakku. Sesungguhnya Tuhanku ‘azza wajalla sedang mengujiku, maka saya ingin menambah ujian-Nya itu”.

DOA ITU TELAH DIKABULKAN

Ibnu Abid Dunya menceritakan bahwa ada seseorang yang tidur kemudian dia bermimpi bertemu Rasulullah saw. seraya beliau saw. berkata, “Pergilah ke orang Majusi yang ada di Baghdad—Majusi adalah kaum yang menyembah api—dan katakan kepadanya, ‘Doa itu telah dikabulkan.’”
    Ketika datang waktu pagi dia berkata kepada dirinya sendiri, “Bagaimana aku bisa pergi ke seorang Majusi?”
    Dia tidur dan bermimpi yang sama. Kemudian mimpi itu berulang lagi. Pada mimpi yang ketiga kali, tidak ada pilihan lain kecuali dia harus menyiapkan dirinya dan pergi ke Baghdad. Dia kemudian mendatangi orang Majusi itu. Dia mendapatkan orang Majusi itu dalam keadaan nikmat mereguk kesenangan dunia yang berlimpah. Sesaat kemudian dia masuk menemui dan menyalaminya kemudian duduk.
    Orang Majusi itu bertanya kepadanya, “Apakah kamu punya keperluan?”
    Dia menjawab, “Ya ada.”
    Majusi itu berkata, “Bicaralah.”
    Dia berkata kepadanya, “Di ruang yang kosong.”
    Kemudian orang Majusi itu menyuruh pergi mereka yang ada bersamanya dan berkata kepadanya, “Bicaralah.”
    Dia berkata kepadanya, “Aku adalah utusan Rasulullah saw. kepadaamu dan beliau saw. berkata kepadamu, ‘Doa itu telah dikabulkan.’”
    Orang Majusi itu berkata kepadanya, “Apakah kamu mengenalku?”
    Dia menjawab, “Ya.”
    Orang Majusi itu berkata, “Sesungguhnya aku mengingkari Islam dan mengingkari kerasulan Muhammad sebagai rasul Islam.”
    Orang itu berkata, “Begitu juga yang aku katakan dan beliau mengutusku kepadamu.”
    Majusi itu berkata, “Dia mengutusmu kepadaku.”
    Aku katakan, “Ya.”
    Orang Majusi itu berkata,

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.”
    Orang Majusi itu lantas memanggil para sahabatnya dan berkata kepada mereka, “Dahulu aku dalam kesesatan dan sekarang aku sudah kembali kepada kebenaran. Barangsiapa dari kalian masuk Islam, apa yang ada di tangannya menjadi miliknya. Dan barangsiapa yang tidak masuk Islam, hendaklah dia melucuti hartaku darinya.”
    Kemudian kaum itu pun masuk Islam kecuali beberapa dari mereka. Orang Majusi itu lantas memanggil anak-anaknya dan mereka semua menyatakan masuk Islam. Kemudian dia menoleh ke arah orang yang telah membawa mimpi itu dan berkata, “Tahukah kamu, doa apa yang telah dikabulkan itu?”
    Dia menjawab, “Tidak.”
    Dia bercerita, “Ketika aku menikahkan anakku dan aku membuat makanan dan aku undang semua orang, mereka pun datang memenuhi undanganku. Ketika semua orang telah makan, aku merasa lelah dan aku katakan kepada pembantuku, ‘Gelarkan tikar untukku di atas rumah aku mau tidur sebentar.’”
    Di samping rumah kami ada kaum dari para asyraf58 yang fakir. Aku mendengar anak kecil yang berkata kepada ibunya, “Wahai ibuku, orang Majusi ini telah menyakiti kita dengan bau masakannya. Aku pun segera turun dan membawakan mereka makanan yang banyak sekali dan juga uang dinar yang banyak sebagai hadiah, juga pakaian untuk mereka yang ada dalam rumah itu, satu dari mereka ada yang berkata, “Semoga Allah membangkitkanmu bersama kakekku dan yang lainnya mengamininya, ‘Amiin.’” Itulah doa yang telah
dikabulkan.

Wahai Abu Bakar r.a., Telah Kami Tepati Janji Kami

Abu Bakar Muhammad bin Husein al-Ajiri adalah seorang alim dan pengarang buku. Dia menyampaikan hadits di Baghdad sejak tahun 330 H. Kemudian dia pindah ke Mekah dan tinggal di sana pada bulan Muharram tahun 360 H. Ketika tinggal di Mekah, dia merasa senang dan tenang di sana, sehingga dia berdoa dalam hati, “Ya Allah, hidupkanlah aku di negeri ini walaupun satu tahun.”
Tiba-tiba dia mendengar sebuah suara menyeru, “Wahai Abu Bakar r.a., kenapa satu tahun? Tiga puluh tahun (akan Kami berikan).”
Setelah genap tiga puluh tahun di Mekah, dia mendengar kembali sebuah seruan, “Wahai Abu Bakar, telah kami tepati janji kami.” Dan, dia wafat pada tahun itu juga.

Abu Hurairah dan Ahlush Shuffah

Mujahid meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, "Sungguh demi Zat Yang tiada tuhan selain Dia, dulu saya selalu meringkuk di atas tanah karena menahan lapar. Saya juga biasa menggunakan batu untuk mengganjal perut saya yang kosong. Suatu hari saya duduk di tepi jalan di mana banyak orang lewat. Kemudian saya lihat Abu Bakar sedang lewat, maka saya sapa dia dan bertanya padanya tentang sebuah ayat dari kitab Allah. Sebenarnya saya bertanya kepadanya tentang hal itu agar dia mengajak saya ke rumahnya. Akan tetapi Abu Bakar tidak mengajak saya ke rumahnya dan dia terus berjalanan.
Kemudian setelah itu lewatlah Nabi saw.. Beliau tersenyum ketika melihat saya. Beliau tahu apa yang ada dalam benak saya, lalu  beliau memanggil saya, "Wahai Abu Hurairah". Saya menjawabnya, "Ya, wahai Rasulullah." Lalu beliau berkata, "Ikutlah saya". Maka saya mengikuti beliau sampai ke rumahnya.  Kemudian saya masuk ke rumahnya setelah terlebih dahulu meminta izin dari beliau. Sampai di dalam, saya melihat ada segelas susu yang belum diminum. Beliau juga melihatnya, lalu beliau bertanya pada keluarga beliau, "Dari mana susu ini?" Mereka menjawab, "Seseorang telah menghadiahkannya untukmu". Kemudian Rasulullah saw. memanggil saya, "Wahai Abu Hurairah".
"Ya, Wahai Rasulullah”, jawab saya.
Lalu beliau memerintahkan kepada saya, "Temuilah orang-orang Ahlush Shuffah dan panggil mereka ke sini".
Saya merasa kecewa dengan perintah tersebut, maka saya berkata dalam hati, "Apa hak mereka terhadap susu itu, sayalah yang paling membutuhkan dan paling berhak mendapatkannya”. Akan tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya harus saya dahulukan. Oleh karena itu saya buang jauh-jauh perasaan kecewa tersebut, lalu saya pergi memanggil mereka. Kemudian mereka pun datang ke rumah Rasulullah saw. dan dipersilahkan masuk oleh beliau untuk mengambil tempat duduknya masing-masing.
Setelah mereka datang, Rasulullah saw. memerintahkan saya, "Wahai Abu Hurairah ambil susu itu dan berikan pada mereka". Kemudian saya mengambil gelas yang berisi susu tersebut dan memberikannya pada mereka seorang demi seorang, hingga semuanya dapat kebagian minum sampai puas. Setelah mereka semua minum, Rasulullah saw. mengambil gelasnya dan memegangnya, lalu berkata pada saya, "Wahai Abu Hurairah".
"Ya, wahai Rasulullah", jawab saya.
Beliau berkata, "Sekarang yang belum minum tinggal saya dan engkau”.
"Benar wahai Rasulullah", jawab saya mengiyakan.
Beliau kemudian berkata kepada saya, "Duduk dan minumlah". Maka saya duduk dan minum. Lalu beliau berkata lagi, "Minumlah". Dan demikianlah, setiapkali Rasulullah saw. menyuruh saya minum, maka saya minum, sampai akhirnya saya berkata, "Demi Zat Yang mengutusmu sebagai seorang nabi, sungguh perut saya ini telah merasa kenyang dengan minum”. Kemudian saya berikan gelasnya kepada beliau. Beliau pun menerimanya dan bertahmid mengucapkan syukur pada Allah, lalu meminum sisa susu yang ada di dalam gelas”.
As-Samarqandi berkata, "Para sahabat Rasulullah saw. mengalami siksaan yang berat dari orang-orang kafir. Mereka juga dilanda kelaparan. Akan tetapi mereka selalu bersabar menghadapi semua itu. Maka dengan kesabaran mereka itu, Allah membukakan jalan keluar bagi mereka. Dan Allah akan selalu membukakan jalan keluar bagi siapa saja yang sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan. Sesungguhnya jalan keluar dan kemudahan itu selalu menyertai orang yang sabar. Dan sesungguhnya setelah kesusahan itu ada kemudahan. Bagi orang-orang yang saleh, mereka selalu merasa bahagia dengan kesusahan yang mereka alami, karena di balik kesusanhan tersebut terdapat pahala yang senantiasa mereka harapkan.

TOBAT SEORANG AL-

    Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya Madarijus Salikin tentang  kisah tobat salah seorang al-‘Arifin. Dia berkata, “Ini tempat hikayat yang masyhur dari sebagian orang-orang ‘arifin bahwa dia mengalami pengusiran dan lari dari tuannya. Dia melihat di salah satu jalan sebuah pintu yang tiba-tiba terbuka kemudian keluar dari pintu itu seorang bocah sedang meminta tolong sambil menangis. Di belakang bocah itu ada ibunya yang sedang mengejarnya sehingga anak keluar lantas sang ibu mengunci pintu di depan bocah itu lantas sang ibu masuk ke dalam.
    Anak itu pun pergi tidak jauh dari rumahnya, kemudian dia berhenti sambil berpikir. Dia merasa tidak ada tempat untuk bisa tinggal kecuali di rumah tempat baru saja dia keluar. Tidak ada seorang pun yang bisa melindunginya kecuali ibunya, maka si bocah itupun pulang dengan hati penuh penyesalan dan rasa sedih.
    Namun bocah itu mendapatkan pintu tersebut terkunci rapat. Kemudian dia segera mencari alas tidur dan meletakkan pipinya di depan pintu itu lantas dia tidur. Tiba-tiba sang ibu keluar dan dia melihat si bocah itu dalam keadaan yang mengenaskan seperti itu. Si ibu langsung menghampirinya dan langsung menciumnya sambil menangis seraya berkata, “Wahai anakku, ke mana saja engkau pergi dariku? Siapa orang yang melindungiah aku sudah berkata padamu,  ‘Jangan membantah padaku, janganlah kamu bebani aku dengan kesalahanmu atau pelanggaran apa yang semestinya aku berikan belas dan kasih sayang padamu, sebenarnya yang aku inginkan adalah demi kebaikan kamu?!’” Kemudian sang ibu membawa anaknya itu masuk ke dalam.
    Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,  “Renungilah sabda Rasulullah saw., 

‘Allah lebih sayang dan kasihan kepada para hamba-Nya dari seorang ibu kepada anaknya.’”
    Bandingkan antara kasih sayang seorang ibu dengan rahmat dan kasih sayang Allah yang tidak ada batasnya.75

Bisyir al-Hafi dalam Mimpi

Ahmad ibnul Fath menceritakan, “Aku bermimpi bertemu dengan Bisyir bin Harits al-Hafi. Dia tengah duduk di sebuah taman. Di depannya ada hidangan yang sedang disantapnya. Aku bertanya kepadanya, “Wahai Abu Nasr, apa yang Allah lakukan kepadamu?”
Dia menjawab, “Dia mengampuniku, mengasihiku, dan membolehkan bagiku surga beserta seisinya.”
Dia juga berkata, “Makanlah semua buah-buahannya dan minumlah dari sungainya serta bersenang-senanglah dengan semua isinya karena kamu telah menahan dirimu dari nafsu syahwat selama di dunia.”
Aku bertanya, “Mana sahabatmu Ahmad bin Hanbal?”
“Dia sedang berdiri di pintu surga untuk memberi syafaat kepada Ahli Sunnah yang mengatakan Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk.”
“Lalu mana Ma’ruf al-Karkhi?”
Dia menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Amat jauh sekali. Hijab telah membatasi kami. Sesungguhnya Ma’ruf tidak beribadah kepada Allah karena ingin surga dan tidak pula karena takut pada neraka, tetapi dia beribadah karena rindu kepada-Nya sehingga Allah mengangkatnya ke rafiqul a’la, itulah posisi yang sangat agung dan suci.”