Wanita yang Mengadukan Khalifah kepada Allah

Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan dari Abbas bin Hisyam al-Kalabi, dia berkata, “Khalifah Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan mengutus sebuah pasukan ke wilayah Yaman. Di sana mereka menetap selama beberapa tahun. Suatu malam ketika Khalifah berada di Damaskus, dia berkata, ‘Demi Allah, malam ini aku akan memantau kota Damaskus dan aku ingin mendengar apa tanggapan masyarakat tentang pasukan yang aku kirim bertahun-tahun hingga kubuat mereka membujang dan aku tahan harta mereka?’
Ketika  dia sedang melewati beberapa jalan di kota Damaskus, tiba-tiba  dia mendengar suara sorang wanita yang sedang shalat. Ketika wanita itu hendak menuju pembaringannya untuk tidur dia berkata, ‘Ya Allah Yang mengerahkan kemuliaan, yang menurunkan kitab dan yang memberi asa serta cita-cita, aku mohon kepada-Mu untuk mengembalikan suamiku yang jauh untuk melepas luka laraku dan menyejukkan jiwaku dan aku mohon kepada-Mu untuk mengadili Abdul Malik bin Marwan yang telah melakukan semua ini kepada kami.’ Kemudian  dia melantunkan sebuah syair,

Malam semakin larut, air mata terus bercucuran
Hatiku dicabik oleh luka lara dan kesedihan
Aku berusaha melewati malam ini
Dengan memandang bintang gemintang
Namun hatiku terus menahan pilu
Bila sebuah bintang lenyap dalam kegelapan malam
Mataku akan menangkap bintang lain yang sedang muncul
Kalau kukenang apa yang pernah ada di antara kita
Aku rasakan hatiku semakin tercabik-cabik
Setiap kekasih yang ingat pada kasihnya
Selalu ingin berjumpa setiap hari
Arasy pun bergoncang melihat rinduku yang meluap-luap
Engkaulah yang diseru para hamba dan mendengarkan seruan itu
Seruan-Mu dalam senang dan susah adalah seruan yang sesungguhnya
Menunaikan hajat di antara manusia dengan segera

Khalifah Abdul Malik bertanya kepada pengawalnya, ‘Tahukah kamu rumah siapa ini?’
‘Ya, ini rumah Yazid bin Sinan.’
‘Siapakah wanita itu?’ tanya Khalifah lagi.
‘Itu istrinya.’
Pada pagi harinya, Khalifah Abdul Malik bertanya kepada para pembantunya, ‘Berapa lamakah seorang istri bisa bersabar berpisah dengan suaminya?’
Mereka menjawab, ‘Enam bulan.’
Akhirnya Khalifah menginstruksikan agar sebuah pasukan dalam peperangan tidak boleh tinggal (di medan perang) lebih dari enam bulan.”

Akan Muncul dari Orang Rusak Orang yang Saleh

Dalam kitab Siyar A’lamin Nubala`, adz-Dzahabi meriwayatkan dari Imam Malik rahimahullah, “Beberapa orang anak muda datang menemui Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya ayah kami sudah wafat dan dia meninggalkan harta yang sekarang berada di tangan paman kami; Hamid al-Amji.’
Umar lalu memanggil Hamid al-Amji. Setelah dia datang Umar berkata kepadanya, “Engkau yang mengatakan,

Hamid yang rumahnya diguncang
Teman arak, beruban dan botak
Datang masa tua dalam cinta pada minuman
Dulu  dia mulia, tetapi dia tidak bisa lepas

Hamid menjawab, “Ya.”
“Kalau demikian, aku akan menegakkan hukum had kepadamu karena kamu telah mengakui meminum khamar dan tidak akan lepas darinya.”
Hamid berkata, “Tidakkah kamu pernah mendengar firman Allah,
KHAT
 “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di setiap lembah, dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?” (asy-Syu’araa`: 224—226)

Umar berkata, “Adalah lebih baik bagimu wahai Hamid meninggalkan semua itu. Aku rasa kamu telah lepas dari tuduhan ini. Celakalah kamu Hamid, ayahmu adalah seorang yang saleh, tetapi kamu seorang yang jahat.”
Dia berkata, “Semoga Allah memperbaikimu, siapa di antara kita yang benar-benar serupa dengan ayahnya? Ayahmu sendiri adalah seorang yang jahat, tetapi kamu seorang yang shaleh.”
Umar melanjutkan, “Para pemuda ini mengatakan bahwa ayah mereka telah wafat dan menitipkan harta mereka padamu.”
“Mereka benar.” Lalu, dia datang membawa cap dari ayah mereka.
Hamid melanjutkan, “Aku telah membiayai mereka dari uang pribadiku, dan ini harta mereka aku serahkan dalam kondisi sempurna.”
Umar berkata, “Tidak ada yang lebih pantas memiliki uang ini daripadamu.”
Hamid berkata, “Apakah harta itu akan kembali kepadaku, padahal dia baru saja lepas dariku?”

Qaisabah bin Kultsum Dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Ibnu al-Kalabi menceritakan dari ayahnya, "Suatu kali Qaisabah bin Kultsum as-Sukuni –salah seorang pembesar Yaman- berniat untuk melaksanakan haji. Pada waktu itu masyarakat Arab di masa jahiliah sering melaksanakan haji dan mereka tidak pernah saling mengganggu satu sama lain.

Dalam perjalanan menuju Mekah ia dihadang oleh suku Bani Amir bin Aqil. Kemudian mereka menawannya dan merampas harta bendanya serta seluruh perbekalannya. Setelah itu mereka menjebloskannya ke dalam penjara. Qaisabah mendekam di dalam penjara itu selama tiga tahun. Di negerinya; Yaman, kabar yang tersebar adalah bahwa ia diculik jin.

Qaisabah sudah putus asa akan datangnya bantuan. Ia ditempatkan di rumah seorang wanita tua dari Bani Amir. Pada suatu hari yang sangat dingin, ia berkata pada wanita itu: "Apakah engkau izinkan aku untuk memanaskan tubuh sebentar di tempat yang di sinari matahari karena dingin ini cukup menyiksaku."
Wanita itu menjawab: "Silahkan."

Saat itu ia mengenakan jubah biru yang menjadi pakaian khas Yaman. Ia mulai merangkak dengan rantai yang membelenggunya kemudian ia naik ke tempat yang agak tinggi untuk mendapatkan cahaya matahari. Ia layangkan pandangannya ke arah Yaman. Perasaannya membuncah dan akhirnya ia menangis. Kemudian ia melayangkan pandangannya ke langit dan berdoa: "Ya Allah pencipta langit, lapangkanlah apa yang aku derita saat ini."

Di saat seperti itu tiba-tiba terlihat seorang penunggang kuda. Qaisabah mengisyaratkan padanya untuk mendekat. Penunggang kuda itu mendekat dan bertanya: "Apa yang engkau inginkan?"
"Engkau hendak kemana?" tanya Qaisabah.
"Aku hendak ke Yaman," jawab laki-laki itu.
"Engkau siapa?"
"Aku Abu Thamhan al-Qini." 

Abu Thamhan bertanya: "Dan engkau siapa? Aku melihat sifat-sifat baik dari penampilanmu dan pakaian para raja sementara engkau berada di daerah yang tidak memiliki raja?"
"Aku adalah Qaisabah bin Kultsum as-Sukuni. Aku berniat pergi haji pada tahun sekian tapi penduduk daerah ini menawanku dan memperlakukanku seperti yang engkau lihat sekarang."
Abu Thamhan melepaskan rantai dan belenggunya. Abu Thamhan menangis melihat kondisi seorang raja seperti itu. Qaisabah bertanya padanya: "Maukah engkau memiliki seratus onta merah?"
"Tentu aku sangat mau."
"Turunlah."

Kemudian Qaisabah menulis sepucuk surat di atas sehelai pelepah kayu yang terdapat di sekitarnya dengan tulisan al-humairi yang merupakan tulisan penduduk Yaman. Surat itu ditujukan pada saudaranya agar ia memberi Abu Thamhan seratus ekor unta. Di dalam surat itu ia juga menulis beberapa bait syair. Qaisabah berkata padanya: "Bacakan ini pada kaumku maka mereka akan memberimu seratus ekor unta merah."

Diantara bait syair yang ditulis oleh Qaisabah adalah sebagai berikut:

Mereka sampai di Bani Kindah bersama seluruh raja
Dimana orang-orang mulia berjalan mengendarai unta
Ketika mereka mengembalikan kuda dengan lima puluh sapi
Mereka giring semuanya berikut barangnya yang berat

Kemudian Abu Thamhan menyampaikan surat Qaisabah tersebut kepada saudaranya al-Jun bin Malik. Lalu ia berkata padanya: "Wahai tuan, aku akan menunjukkan padamu dimana Qaisabah berada dan ia telah menjanjikan upahnya adalah seratus ekor unta merah untukku."
"Itu hakmu."

Abu Thamhan menerangkan dimana Qaibasah berada. Setelah al-Jun bin Malik membaca surat itu ia memerintahkan para pembantunya untuk memberi Abu Thamhan seratus ekor unta merah. Kemudian al-Jun bin Malik dan Qais bin Ma'dikarib al-Kindi bersama pasukannya berangkat menuju Bani Amir untuk membebaskan Qaisabah dari tawanan mereka. Banyak diantara Bani Amir yang terbunuh waktu itu. Akhirnya Qaisabah dapat dibebaskan. Begitulah, datangnya kelapangan setelah kesempitan dengan doa dan kembali kepada Allah. 

TOBAT WAHSYI DARI HABASYAH

Dikisahkan oleh Ibnu Katsir bahwa namanya adalah Wahsyi Bin Harb Abu Dasmah. Dia adalah hamba sahaya Jubair bin Muth’im di Mekah. Dia terkenal pandai melempar al-harbah, yaitu nama salah satu senjata tentara perang Habasyah yang namanya dinisbatkan kepadanya.
    Ia dipanggil oleh tuannya Jubair bin Muth’im untuk turut bersamanya dalam Perang Uhud. Ia menjanjikan apabila ia dapat membunuh Hamzah bin Abdul Muththalib r.a., paman Nabi saw, ia akan memerdekakannya dan memberikan kebebasan kepadanya. Hal itu disebabkan karena paman Jubair bin Muth’im yaitu Tha’imah bin Uddi telah terbunuh pada peristiwa Perang Badar al-Kubra.
    Jubair bin Muth’im berkata kepadanya, “Keluarlah engkau bersama yang lain. Jika engkau dapat membunuh Hamzah, paman Muhammad sebagai balasan atas kematian pamanku Tha’imah bin Uddi, maka engkau bebas dan merdeka. Aku juga telah mendorong Hindun istri Abu Sufyan untuk membunuh Hamzah dan aku janjikan kepadanya hadiah.”
    Maka, keluarlah Hindun binti Utbah bersama tentara Quraisy dan ikut pula bersamanya sebagian istri-istri mereka dalam memotivasi Wahsyi apabila ia lewat di depannya seraya berkata, “Ayo maju! Abu Dasmah cari dan terus cari.”
    Membunuh Hamzah r.a. bagi Wahsyi yang hamba sahaya itu sama dengan kemerdekaan dan kebebasan dari penghambaan dan tentunya merupakan hadiah yang sangat besar. Ketika terjadi peperangan sengit antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin dalam peristiwa Perang Uhud. Wahsyi hanya menunggu, tidak ikut dalam peperangan itu akan tetapi ia mengintai kesempatan untuk dapat menghunus tombaknya ke tubuh Hamzah demi kemerdekaannya.
    Di tengah-tengah peperangan, Hamzah pun dengan gagah berani terus memerangi orang-orang kafir. Orang-orang takut akan pedangnya dan tidak ada seorang pun yang berani menyerangnya. Di tengah-tengah peperangan antara Hamzah dan Siba’ bin Abdul ‘Uzza yang dijuluki dengan Abu Nayyar, Hamzah menghujamkan pedangnya ke tubuhnya. Dan Wahsyi memanfaatkan kesempatan ini untuk membunuh Hamzah (Singa Allah) demi kebebasannya hingga jatuhlah Hamzah menjadi syahid di medan perang.
    Lalu, kembalilah Wahsyi ke perkemahan setelah ia merdeka dan mendapatkan apa yang ia inginkan, sedangkan Hindun binti ‘Utbah memainkan sandiwaranya terhadap jasad Hamzah. Ia pun mengeluarkan hatinya lalu dikunyah dan disemburkannya dan ia pun memberikan seluruh perhiasan yang ia miliki kepada Wahsyi.
    Tinggallah Wahsyi di Mekah dalam keadaan bebas merdeka hingga sampai hari Fathu Mekah. Ia pun melarikan diri dari sana ketika tentara kaum Muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah saw. masuk, karena takut pembalasan atas apa yang telah ia perbuat dengan membunuh Hamzah r.a..
    Wahsyi melarikan diri ke Thaif, ketika keluarganya masuk Islam. Wahsyi berpikir untuk melarikan diri ke Syam atau Yaman. Ketika ia duduk sedih sambil merenungkan cara melarikan diri, datanglah kepadanya seorang laki-laki dan ia berkata kepadanya, “Celaka kamu, demi Allah, dia tidak akan membunuh seseorang yang masuk agamanya dan mengucapkan syahadat dengan benar.”
    Yang laki-laki itu maksudkan adalah Rasulullah saw.. Ketika ia mengatakan itu kepadanya, tenanglah hati Wahsyi, lalu pergilah ia menemui Rasulullah, seraya bertobat dan masuk Islam di Madinah kemudian ia mengucapkan syahadat dengan penuh keyakinan, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” Pada saat Nabi melihatnya, beliau pun berkata kepadanya, “Apakah engkau yang bernama Wahsyi?”
    Ia menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”
    Rasulullah berkata kepadanya, “Duduklah dan ceritakan kepadaku bagaimana engkau membunuh Hamzah.”
    Lalu Wahsyi bercerita kepada Nabi tentang apa yang terjadi di Perang Uhud. Ketika ia telah menyelesaikan ceritanya, Rasulullah saw. berkata, “Celaka kamu, enyahlah engkau dari hadapanku dan jangan perlihatkan lagi wajahmu di depanku.” Nabi pun memaafkannya dengan syarat beliau tidak mau melihatnya di hadapan beliau.
    Begitulah keadaan Wahsyi sampai Rasulullah saw. wafat. Kemudian ia ikut serta dalam peperangan Yamamah. Dengan senjata tombaknya ia dapat membunuh Musailamah al-Kadzdzab yaitu orang yang mengaku sebagai nabi pada peristiwa al-Hudaiqah.
    Di tangannya telah gugur orang terbaik yaitu Hamzah dan di tangannya pula sebab mengapa ia dapat membunuh orang yang paling jahat, yaitu Musailamah al-Kadzdzab.

TOLONGLAH DOSAKU... TOLONGLAH DOSAKU...

Al-Hakim meriwayatkan dari Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Jabir bin Abdillah dari ayahnya dari kakeknya r.a. berkata, “Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah saw. seraya berteriak, ‘Tolonglah dosaku... tolonglah dosaku...!!’
    Dia meneriakkan kata-katanya ini dua atau tiga kali, Rasulullah saw berkata kepadanya, ‘Katakanlah, ya Allah ampunan-Mu lebih luas daripada dosa-dosaku, rahmat dan kasih sayang-Mu lebih aku harapkan daripada amal perbuatanku.’
    Kemudian beliau berkata, ‘Kembalilah.’ Maka orang itu kembali, kemudian berkata, ‘Berdirilah, sesungguhnya Allah telah mengampunimu.’32
    Begitulah, Rasulullah saw. telah mengisyaratkan bahwa meminta maaf dan ampun kepada Allah tidak perlu seorang hamba harus meratap dan berteriak-teriak, melainkan cukup dia memohon dan berdoa kepada Tuhannya meminta magfirah, rahmat, serta ampunan seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah saw.. Bacaan istigfar dan tobat itu banyak bentuknya. Dan yang terpenting dalam hal ini adalah kejujuran bersama Allah swt..

Budak Wanita yang Salehah

Hasan bin Shalih bin Hay rahimahullah menceritakan bahwa dia pernah menjual seorang budak wanita. Ketika sudah berada di tangan pembelinya, budak itu selalu melaksanakan qiyamullail dan membangunkan orang-orang di sekitarnya untuk juga melaksanakan qiyamullail. Dia akan berteriak, “Shalat...shalat....”
Orang-orang bertanya, “Apakah fajar sudah terbit?”
Dia berkata, “Belum, belum terbit, tetapi apakah kalian tidak shalat, kecuali yang wajib saja?”
“Ya, kami tidak shalat kecuali yang wajib saja,” jawab mereka.
Akhirnya, dia kembali kepada tuannya yang dulu, Hasan bin Shalih. Dia berkata kepada tuannya, “Tuanku, kau telah menjualku kepada kaum yang buruk. Mereka tidak shalat kecuali yang wajib saja. Biarkan aku kembali kepadamu.” Akhirnya, Hasan menerimanya kembali.

Ini Titipan Kamu Dulu

Khalifah Abbasiyah, al-Mansur memanggil Imam Abu Hanifah an-Nu’man, lalu memberinya uang sejumlah sepuluh ribu dirham, tetapi uang itu ditolak oleh Abu Hanifah dan dia segera pergi ke masjid. Para pembantu Khalifah datang ke masjid dan memaksanya untuk menerima uang itu. Akhirnya, Abu Hanifah menyuruh mereka meletakkan uang itu di kas masjid. Mereka meletakkannya di sana kemudian pergi.
Uang itu tetap berada di kas masjid, tidak pernah disentuh oleh Abu Hanifah sampai dia wafat. Putranya, Hamad, tidak berada di rumah saat ayahnya wafat. Ketika dia telah kembali dari perjalanannya, dia membawa uang itu kepada Hasan bin Qahtabah (gubernur daerah itu, pent.). Dia berkata kepada penjaga rumah Hasan, “Katakan kepada Hasan, Hamad bin Abu Hanifah ingin berjumpa.”
Ketika sudah masuk, Hamad berkata kepada sang gubernur, “Aku mendapatkan dalam wasiat ayahku, ‘Seandainya aku wafat, bawalah uang ini kepada Hasan dan katakan kepadanya ini harta yang kamu titipankan dulu kepada kami.’ Ketika Hasan melihat uang itu, dia menangis dan berkata, ‘Semoga Allah merahmati ayahmu. Dia sangat menjaga agamanya ketika banyak orang yang mengorbankan agamanya. Beginilah seharusnya ulama-ulama besar dan siapakah yang lebih besar dan agung dari Abu Hanifah?’
Semoga Allah merahmati Abu Hanifah an-Nu’man, seorang pendiri mazhab hanafi yang terkenal.

TOBAT ORANG-ORANG YANG MENYEMBAH

Musa a.s. kembali dari miqat Tuhannya, dan dia membawa papan-papan yang tertulis didalamnya nasihat dan penjabaran segala sesuatu bagi Bani Israil, dan Allah swt. telah memberitahukan rasul-Nya Musa a.s. bahwa kaumnya telah menyembah patung anak sapi selama ketidakberadaan dirinya di tengah mereka. Sesungguhnya Samiri telah menyesatkan mereka, karena Samiri ini telah dengan sengaja membuat patung anak sapi dari perhiasan yang dia pinjam dari orang-orang Mesir sebelum mereka keluar dari Mesir.
    Samiri ini telah mengambil tanah dari tanah yang telah mereka lintasi di atasnya pada saat Allah swt. membelah laut dan saat itu Jibril a.s. menunggang kudanya. Setiap kali kudanya melompat dengan bekas dari telapak kuda itu di tanah, tanah pun menjadi hijau dan tumbuh rumput, hal itu dilihat oleh Samiri. Dia pun mengambil segenggam dari tanah itu dan dia simpan. Ketika dia membuat patung anak sapi, dia menaburkannya dengan sebagian dari bekas pijakan Jibril a.s. itu, hingga patung itu pun mengeluarkan suara persis seperti anak sapi yang sebenarnya.
    “…jadi aku ambil segenggam (tanah dari) jejak rasul lalu aku melemparkannya (ke dalam api itu), demikianlah nafsuku membujukku.” (Thaahaa: 96) 
    Yang penting adalah Musa a.s. telah kembali ke kaumnya dan dia mendapatkan mereka telah menyembah patung anak sapi. Dia pun melempar papan-papan tadi dari tangannya, dan dia sangat marah sekali, dia mengajak saudaranya Harun berbicara, “Musa berkata, ‘Wahai Harun, apa yang menghalangimu ketika kau melihat mereka telah sesat, ini berarti kamu tidak mengikuti aku.’”
    Harun berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, sesungguhnya kaum ini telah menekanku dan hampir mereka membunuhku, maka janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku dan janganlah kamu jadikan aku bersama kaum orang-orang yang zalim.”
    Musa berkata kepada Samiri si pembuat patung anak sapi, “Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?”
    Samiri menjawab, “Aku mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui, aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya. Demikianlah nafsuku membujukku.”
    Musa berkata, “Pergilah kau! Maka sesungguhnya di dalam kehidupan (di dunia) engkau (hanya dapat) mengatakan, ‘Janganlah menyentuh (aku)’. Dan engkau pasti mendapat (hukuman) yang telah dijanjikan (di akhirat) yang tidak akan dapat engkau hindari, dan lihatlah tuhanmu itu yang engkau tetap menyembahnya. Kami pasti akan membakarnya, kemudian sungguh kami akan menghamburkannya (abunya) ke dalam laut (berserakan). Sungguh, Tuhanmu hanyalah Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.” (Thaahaa: 97-98)
    Samiri yang Yahudi ini telah menyesatkan kaumnya dan berkata kepada mereka bahwa Musa telah melupakan Tuhannya bagi kita, dan sesungguhnya dia pergi meminta-Nya. Kemudian Samiri membuatkan mereka patung anak sapi ini, dan sebelumnya Harun telah menasihati mereka dengan berkata kepada mereka, “Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, ikutilah aku dan taatilah perintahku.”
    Mereka menjawab, “Kami akan tetap menyembah patung anak sapi ini, hingga Musa kembali kepada kami.”
    Setelah Musa a.s. menghancurkan patung anak sapi ini dan membuangnya ke laut kemudian dia berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Kamu benar-benar telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan), karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu.” (al-Baqarah: 54)
    Tobat mereka kepada Allah dari dosa besar itu adalah dengan membunuh diri mereka dengan jiwa mereka. Dikatakan bahwa pada suatu hari orang-orang yang tidak menyembah patung anak sapi itu, tangan mereka memegang pedang kemudian Allah swt. menurunkan kepada mereka kabut hitam sehingga seorang kerabat tidak lagi mengenal kerabatnya, dan seorang saudara tidak lagi mengenal saudaranya, kemudian mereka cenderung kepada para penyembah patung itu. Mereka pun membunuh dan menuai mereka. Dikatakan bahwa mereka telah membunuh di satu pagi dalam satu hari sebanyak tujuh puluh ribu jiwa. 
    Begitulah tobatnya Bani Israil dari apa yang telah mereka lakukan sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan dari sebuah dosa besar yaitu syirik dan menyekutukan Allah swt.

TOBAT ABDURRAHMAN AL-QAS DARI CINTA KEPADA SALAMAH

    Khallad bin Yazid berkata, “Aku mendengar para syekh kami dari warga Mekah bercerita bahwa al-Qas—Abdurrahman56—dia adalah orang yang bagi penduduk Mekah paling baik ibadahnya dan paling menonjol dalam hal menjauhi kenikmatan dunia. Pada suatu hari dia berjalan dan melintasi rumah Salamah seorang budak wanita milik seorang dari Quraisy—budak itu adalah seorang penyanyi dan penyair—al-Qas mendengar nyanyiannya dan dia berhenti untuk mendengarkannya, hingga tuan budak itu melihatnya.
    Dia berkata, “Apakah kamu hendak masuk dan mendengarkannya?”
    Dia merasa berat hati, belum lagi dia tetap seperti itu. Lantas, dia pun merasa mantap dan berkata, “Dudukkan aku di tempat yang aku tidak bisa melihatnya dan dia tidak bisa melihatku.”
    Orang itu berkata, “Akan aku lakukan.”
    Dia pun masuk. Salamah pun bernyanyi demikian memukaunya. Hingga tuannya berkata, “Apakah kamu mau budak itu menjadi milikmu?”
    Dia merasa berat hati, kemudian dia merasa mantap. Dia terus mendengarkan nyanyiannya sampai akhirnya dia jatuh cinta pada Salamah dan budak itu pun juga jatuh cinta. Hal itu sampai diketahui oleh warga Mekah.
    Mereka berkata, “Al-Qas telah jatuh cinta pada Salamah.”
    Pada suatu hari dia berada berduaan dengannya. Salamah berkata kepadanya, “Demi Allah, aku cinta kepadamu.”
    Al-Qas pun berkata, “Demi Allah, aku juga cinta kepadamu.”
    Salamah berkata, “Aku senang jika aku bisa meletakkan mulutku di mulutmu.”
    Al-Qas berkata, “Demi Allah, aku juga.”
    Salamah berkata, “Aku senang jika aku bisa menempelkan dadaku di dadamu.”
    Al-Qas menjawab, “Demi Allah, aku juga.”
    Salamah berkata, “Lantas apa yang menghalangimu? Demi Allah, tempat ini kosong.”
    Al-Qas berkata, “Sesungguhnya aku telah mendengar Allah swt. berfirman, ‘Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.’” (az-Zukhruf: 67)
    Aku benci jika kesempatan kosong ini antara aku dan kamu berubah menjadi permusuhan di hari Kiamat nanti.
    Salamah berkata, “Ya benar, apakah kamu menganggap bahwa Tuhanmu tidak akan menerima kita jika kita bertobat kepada-Nya?”
    Dia menjawab, “Benar, akan tetapi aku tidak merasa aman jika datang sesuatu yang mendadak.”
    Kemudian dia bangun dan kedua matanya bercucuran air mata. Dia tidak kembali lagi kepada Salamah, akan tetapi dia kembali melakukan apa yang sebelumnya dia lakukan yaitu shalat dan beribadah dengan tekun dan khusyu kepada Allah swt..

TOBAT DAWUD ATH-THA

Muhammad bin Hatim al-Baghdadi berkata, “Aku mendengar al-Hammani bercerita, ‘Dahulu awal mula tobatnya Dawud ath-Thaa’i—salah seorang ahli ibadah—adalah dia pernah masuk ke pekuburan dan dia mendengar seorang wanita berada di kuburan. Wanita itu berkata, ‘Tinggal di dunia sampai Allah membangkitkan ciptaan-Nya.’’”
    Pertemuanmu tidak diinginkan, tapi engkau sangat dekat. Kamu selalu menambah musibah di setiap siang dan malam hari. Kamu akan dihibur sebagai mana kamu diberi cobaan dan kamu menyukainya.
    Hingga, dia pun zuhud dari keduniaan dan menekuni ibadah dan akhirnya menjadi salah seorang ahli ibadah yang mukhlishin kepada Allah. Dia terus beribadah dan belajar sampai dia menjadi orang terhormat dari warga Kufah.
    Yusuf bin Asbath berkata, “Dawud mendapat warisan sebesar dua puluh dinar dan dia memakannya selama dua puluh tahun.”
    Pada suatu hari, ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata, “Di atas rumahmu ada sebatang pohon kurma yang patah.”
    Dia menjawabnya dengan berkata, “Wahai saudaraku, sesungguhnya aku tinggal di rumah ini sejak dua puluh tahun dan aku tidak pernah melihat ke atas atap rumah.”39
    Ibnu Sammak berkata, “Saudaraku Dawud ath-Thaa’i mewasiatkanku dengan satu wasiat yakni lihatlah, Allah tidak akan melihatmu ketika kamu berada pada apa yang telah Dia larang. Dan tidak akan meninggalkanmu jika kamu berada pada apa yang Dia perintahkan. Malulah kepada-Nya karena Dia sangat dekat denganmu dan besar kudrah-Nya atasmu.” 40

Tiga Orang Yang Merasakan Kesempitan Kemudian Datang Kelapangan Dari Allah

Tiga orang itu adalah Ka'ab bin Malik, Mararah bin Rabi' al-'Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi ra. Mereka termasuk para sahabat senior yang telah lama masuk Islam dan ikut dalam setiap peperangan bersama Rasulullah saw. Akan tetapi mereka ketinggalan dalam perang Tabuk yang merupakan perang terakhir bagi Rasulullah saw. Ketidakikutsertaan mereka itu tanpa alasan yang kuat. Yang membuat mereka tidak ikut hanyalah karena rasa berat untuk berjihad dalam cuaca yang sangat panas sehingga perang itu dinamakan dengan perang al-'Usrah (sulit)

Ketika Rasulullah saw. sampai di Tabuk, ia menanyakan tentang Ka'ab bin Malik kepada para sahabatnya: "Apa berita tentang Ka'ab bin Malik?"
Seorang lelaki dari Bani Salamah berkata: "Wahai Rasulullah, pakaiannya yang halus dan kemahnya yang sejuk menghalanginya untuk ikut berperang."
Muadz bin Jabal segera menyela: "Buruk sekali apa yang engkau katakan. Demi Allah wahai Rasulullah, kami tak mengetahui tentangnya kecuali yang baik-baik."

Ka'ab bin Malik bercerita: "Ketika aku mendengar berita bahwa Rasulullah saw. telah pulang dari Tabuk aku merasa sangat sedih. Terbetik dalam pikiranku untuk berdusta. Aku berkata dalam hati: "Bagaimana caranya aku bisa terlepas dari kemarahannya besok. Aku akan minta bantuan pada setiap keluargaku yang memiliki ide-ide yang cemerlang untuk membantuku dalam hal ini."

Ketika aku mendengar bahwa Rasulullah saw. menerima alasan setiap orang yang datang menemuinya, sirnalah niat yang tak baik itu dari diriku dan aku tahu bahwa aku selamanya tak akan selamat sama sekali dengan cara berbohong, maka aku bertekad untuk berkata jujur padanya.

Rasulullah saw. datang. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah setiap pulang dari sebuah perjalanan beliau akan langsung datang ke masjid dan shalat dua rakaat. Setelah itu beliau duduk bersama para sahabat. Saat itu datanglah orang-orang yang tidak ikut perang untuk minta maaf bahkan dengan cara bersumpah. Jumlah mereka yang minta maaf itu sampai lebih kurang delapan puluh orang. Rasulullah saw. menerima apa yang mereka sampaikan lalu memohonkan ampun untuk mereka serta menyerahkan kepada Allah apa yang sesungguhnya ada dalam hati mereka.

Aku datang lalu aku ucapkan salam padanya. Rasulullah saw. tersenyum dengan senyuman marah. Kemudian ia berkata padaku: "Mendekatlah ke sini." Akupun mendekat. Setelah duduk di hadapannya ia bersabda: "Apa yang menyebabkanmu tidak pergi? Bukankah engkau telah membeli tunggangan?"
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, sungguh andaikan aku berada di hadapan orang lain selainmu pasti aku mampu lepas dari kemarahannya dengan dalihku yang kuat. Aku telah dikaruniai kemampuan berdebat. Tetapi demi Allah, aku sadar bahwa seandainya aku mengatakan padamu sesuatu yang dusta supaya engkau ridha padaku niscaya Allah akan murka kepadaku. Dan seandainya aku menyampaikan hal yang sebenarnya padamu meskipun akibatnya engkau akan marah padaku, aku masih bisa berharap akibat yang baik dari Allah. Aku tak punya alasan apa-apa. Demi Allah, aku tak pernah lebih kosong dan santai daripada saat aku tak pergi waktu itu."
Rasulullah saw. bersabda: "Adapun yang ini (maksudnya Ka'ab), ia telah berkata benar. Bangkitlah sampai Allah memutuskan perkaramu."

Setelah Ka'ab bin Malik pulang dari menemui Rasulullah saw. kaumnya menyayangkan sikap jujurnya tersebut. Mereka menginginkannya untuk menyampaikan alasan apa saja sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain yang juga tidak ikut dalam perang Tabuk dan Rasulullah menerima alasan mereka. Ka'ab hampir saja kembali menemui Rasulullah dan menerima nasehat kaumnya lalu mengingkari apa yang tadi disampaikannya di hadapan Rasulullah. Ia bertanya pada kaumnya: "Apakah ada orang lain yang mengalami hal yang sama?"
Mereka menjawab: "Ya, ada dua orang yang juga mengatakan hal yang serupa dengan apa yang engkau katakan dan jawaban yang diberikan kepada mereka juga sama."
"Siapa mereka?"
"Mararah bin Rabi' al-'Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi."
Mereka telah menyebutkan dua orang laki-laki shaleh yang pernah ikut dalam perang Badar. Ka'ab berkata: "Aku bisa mencontoh mereka."

Ka'ab pulang ke rumahnya. Setelah itu keluarlah keputusan Nabi untuk memboikot mereka bertiga. Tak seorangpun kaum muslimin yang boleh berbicara dengan mereka atau membalas ucapan mereka bahkan salam sekalipun.

Di sini mulailah terasa kesempitan dan ujian yang berat. Ka'ab berkata: "Rasulullah saw. melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan kami bertiga. Setelah itu manusia menjauhi kami dan sikap mereka berubah terhadap kami, sampai-sampai aku tak yakin lagi dengan bumi yang aku pijak, rasanya ia bukan lagi bumi yang pernah aku kenal. Hal itu berlangsung selama lima puluh hari.
Kedua sahabatku tetap diam dan duduk di rumah mereka sambil terus menangis. Sementara aku termasuk yang paling tegar dan keras. Aku tetap ikut shalat berjamaah dan berjalan di pasar-pasar tapi tak seorangpun yang berbicara denganku. Aku juga datang ke majlis Rasulullah saw. Selesai beliau shalat aku ucapkan salam padanya. Aku berkata dalam hati: "Apakah ia gerakkan mulutnya untuk menjawab salamku atau tidak?"
Kemudian aku shalat di dekatnya dan aku berusaha curi pandang. Ketika aku mulai shalat ia melihat ke arahku, tapi ketika aku menoleh padanya ia pun berpaling dariku.

Setelah cukup lama kaum muslimin memboikotku aku pergi menemui Abu Qatadah; sepupuku dan orang yang paling aku cintai. Aku ucapkan salam padanya. Demi Allah, ia tak menjawab salamku. Aku berkata padanya: "Wahai Abu Qatadah, demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?" Abu Qatadah diam. Aku kembali bertanya dan memaksanya menjawab tapi ia tetap diam. Kemudian aku bertanya lagi dan memaksanya untuk mengatakan sesuatu tapi ia masih diam. Tak berapa lama setelah itu ia berkata: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu."

Ketika mendengar jawaban itu dari Abu Qatadah, Ka'ab berkata: "Air mataku berlinangan. Kemudian aku berpaling dan segera pulang. Ketika aku berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari Syam yang biasa datang membawa makanan untuk dijual di Madinah berkata: "Siapa yang bersedia menunjukkanku mana Ka'ab bin Malik?" Orang-orang menunjuk ke arahku. Laki-laki itu datang menemuiku dan menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan.  Aku adalah seorang yang pandai memabaca dan menulis. Ternyata isi surat tersebut adalah: "Amma ba'du, kami dengar bahwa sahabatmu menjauhimu dan Allah tidak akan membiarkanmu di daerah yang hina secara sia-sia. Oleh karena itu datanglah pada kami niscaya kami akan menghiburmu."
Setelah membaca surat itu Ka'ab berkata: "Ini juga termasuk bencana." Kemudian surat itu dibakarnya.

Setelah berlalu empat puluh hari datanglah keputusan dari Nabi bagi mereka bertiga untuk menjauhi istri-istri mereka. Ka'ab bertanya: "Aku ceraikan atau bagaimana?"
Dijawab: "Jauhi saja dan jangan dekati."
Kemudian ia berkata pada istrinya: "Pulanglah pada keluargamu dan tetaplah di sana sampai Allah memutuskan perkara ini sesuai dengan yang Dia kehendaki."

Istri Hilal bin Umayyah datang menemui Rasulullah dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal seorang yang sudah tua dan lemah serta tidak memiliki pembantu, apakah engkau akan melarangku untuk melayaninya?"
Rasulullah saw. bersabda: "Tidak apa-apa tapi jangan sampai ia mendekatimu (menyetubuhimu)."
Ia berkata: "Demi Allah, sesungguhnya Hilal tak mampu lagi berbuat sesuatu dan demi Allah ia terus menangis sejak awal peristiwa tersebut sampai detik ini."

Beberapa orang kerabat Ka'ab memberi saran padanya: "Andaikan engkau juga minta izin pada Rasulullah agar istrimu tetap bersamamu karena Rasulullah mengizinkan istri Hilal bin Umayyah untuk melayaninya."
Ka'ab berkata: "Demi Allah aku tak akan meminta izin pada Rasulullah tentang istriku dan aku tak tahu apa yang nanti akan dikatakan Rasulullah pada istriku apabila ia minta izin padanya karena aku masih cukup muda."

Setelah cobaan dan kesempitan tersebut berlangsung selama lima puluh hari, datanglah kelapangan dari Allah SWT melalui ayat Al-Qur`an yang akan selalu dibaca sampai hari kiamat kelak berkenaan dengan tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk ini. Firman Allah tersebut adalah:

"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." ( at-Taubah: 118-119)

Ketika Ka'ab sedang duduk di depan rumah salah seorang kaumnya, sementara bumi beserta segala isinya sudah sangat sempit terasa baginya dan juga kedua sahabatnya sebagaimana yang Allah terangkan dalam dua ayat surat at-Taubah tersebut dan ia senantiasa berzikir kepada Allah, tiba-tiba ia mendengar seseorang berteriak dengan suara yang sangat keras: "Bergembiralah wahai Ka'ab bin Malik."

Ka'ab segera bersujud pada Allah dan ia tahu bahwa kelapangan itu akhirnya datang juga dari Allah dengan ampunan dari-Nya baginya dan juga kedua sahabatnya. Kaum muslimin datang menemuninya untuk memberi selamat atas ampunan yang Allah berikan. Ka'ab pergi menemui Rasulullah. Kemudian ia mengucapkan salam padanya. Wajah Rasulullah saw. tampak berseri karena gembira dan beliau bersabda: "Bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah engkau lewati semenjak engkau dilahirkan oleh ibumu."
Ka'ab berkata: "Apakah dari engkau wahai Rasulullah ataukah dari Allah?"
"Bukan dariku melainkan dari sisi Allah."
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya sebagai bukti taubatku aku akan sedekahkan hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya."
"Tahan sebagian hartamu karena itu lebih baik."
Ka'ab berkata: "Aku hanya akan menahan panahku yang pernah aku gunakan dalam perang Khaibar. Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT menyelamatkanku dengan kejujuran, maka diantara bukti taubatku aku berjanji untuk tidak berkata kecuali yang jujur selama aku hidup."
Ka'ab berkata: "Demi Allah, aku tak pernah menyengaja berdusta semenjak aku katakan hal itu pada Rasulullah sampai hari ini dan aku berharap semoga Allah menjagaku dari dusta selama aku hidup." 

Semoga Allah meridhai mereka semuanya dan menggabungkan kita bersama mereka dalam rahmat-Nya di surga Na'im dengan kemaafan dan kemurahan-Nya pada kita semua.

Lenyaplah Masa Muda dengan Segala Keburukannya, Tinggallah Masa Tua dengan Segala Kebaikannya

Suatu kali, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik masuk ke sebuah masjid di Damaskus. Tiba-tiba dia melihat seorang Arab badui yang sudah tua. Khalifah bertanya kepadanya, “Wahai Bapak tua, apakah kau suka menghadapi kematian?”
“Tidak, demi Allah,” jawab bapak tua itu.
“Kenapa wahai Bapak tua, padahal usiamu sudah setua ini?” tanya Khalifah kembali.
“Wahai Amirul Mukminin, telah lenyap masa muda dengan segala keburukannya dan datanglah masa tua dengan segala kebaikannya. Saat ini kalau aku berdiri, aku akan memuji Allah, kalau aku duduk aku akan memuji Allah dan aku ingin kedua hal ini tetap ada padaku.”
Sulaiman bertanya lagi, “Lalu apa amalanmu yang kau kira dapat memanjangkan umurmu?”
Bapak tua itu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku adalah seorang yang selalu menyempurnakan wudhu, membaguskan shalat, menghubungkan silaturrahmi, menjaga kehormatan dan pandangan, dan aku selalu berbagi rezeki yang Allah karuniakan kepadaku.”
Sulaiman berkata, “Tidak heran kalau kematian belum juga menjemputmu.”

Bagaimana Aku akan Mengadu kepada Dokterku Apa yang Kurasakan

Al-Junaid menceritakan, “Suatu kali aku berada berdua saja dengan Sari bin Maghlis as-Saqthi. Dia sedang memakai sarung. Aku lihat tubuhnya seperti tubuh yang sakit dan sangat lemah.”
Dia berkata, “Perhatikanlah tubuhku ini! Kalau aku ingin mengatakan bahwa ini adalah karena cinta pada Allah, tentu tidak berlebihan.” Wajahnya pucat dan terkadang berwarna merah seperti bunga.
Suatu kali dia jatuh sakit. Aku datang menjenguknya. Aku bertanya, “Bagaimana kondisimu?”
Dia menjawab,
“Bagaimana mungkin aku mengadu kepada dokterku
apa yang aku rasakan
Sementara yang menimpaku ini adalah dari dokterku?”

Aku mengambil kipas dan aku mengiipas-ngipaskan ke tubuhnya. Dia berkata, “Bagaimana akan terasa sejuk dengan kipas seseorang yang hatinya terbakar di dalam?”
Kemudian  dia berkata,
“Hati terbakar dan air mata berlinang
Derita berhimpun dan sabar tercerai
Bagaimana tenang orang yang tak bisa tenang
Hasil dari hawa, kerinduan, dan kegelisahan?
Wahai Tuhanku, andaikan ada sesuatu yang akan melapangkanku
Maka kasihilah aku selama ruh ini masih ada”

Rasulullah saw. dan Terbunuhnya Hamzah, Paman Beliau

Pada perang Uhud, Hamzah bin Abdil Muthalib dibunuh oleh Wahsyi, seorang budak milik orang-orang musyrik, secara tidak jantan. Dia melemparnya dengan tombak dari belakang. Kemudian Hindun bintu Utbah datang membelah perut Hamzah dan mengeluarkan hatinya, lalu mengunyahnya. Dia juga memotong hidung dan kedua telinganya.
    Kemudian setelah peperangan usai, Rasulullah saw. mencari mayat Hamzah. Lalu beliau menemukannya di tengah-tengah lembah dalam keadaan perut terbelah dan hati telah dikeluarkan, serta sebagian tubuhnya dicincang secara keji.
    Melihat hal itu, beliau pun sangat sedih dan bersabda,

“Kalau tidak karena kesedihan yang akan dialami Shafiyyah dan akan menjadi sunnah setelahku, pasti aku akan membiarkan mayatnya, hingga kelak di padang mahsyar dia dikumpulkan dari perut-perut binatang buas dan burung-burung. Dan jika di sebuah peperangan dengan orang-orang Quraisy nanti Allah memenangkanku, pasti saya akan membalas kekejian mereka terhadap Hamzah dengan tiga puluh orang lelaki dari mereka”.
Ketika orang-orang muslim melihat kesedihan Rasulullah saw. karena perlakukan orang-orang Quraisy terhadap mayat Hamzah, mereka berkata, “Demi Allah, jika pada suatu hari Allah memenangkan kita atas mereka, pasti kita akan merusak tubuh mereka dengan bentuk yang tidak pernah dilakukan oleh seorang Arab pun”.
Di dalam as-Siirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam berkata, “Ketika Rasulullah saw. berdiri di sisi mayat Hamzah, beliau bersabda,

“Saya tidak akan pernah ditimpa kesedihan seperti ini. Saya tidak pernah mengalami hal yang lebih membuatku marah dari hal ini”.
Kemudian beliau bersabda, “Jibril datang kepadaku lalu memberitahu saya bahwa tertulis di penghuni langit tujuh, “Hamzah bin Abdul Muthalib adalah singa Allah dan singa Rasul-Nya”.
Dan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah ‘Azza wajalla menurunkan dari sabda Rasulullah saw. dan para sahabat beliau,

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”. ( an-Nahl: 126, 127 ).
Lalu Rasulullah saw. memaafkan dan bersabar serta melarang untuk mencincang musuh.  Dan beliau pun ridha terhadap qadha Allah.

A'isyah dan Kegemarannya Bersedekah di Jalan Allah

Diriwayatkan dari Ummu Dzarr, dan dia pernah berkunjung ke tempat A'isyah, bahwasannya dia berkata, "Abdullah bin Zubair mengirim kepada A'isyah dua buah karung yang berisi seratus delapan puluh ribu dirham. Kemudian A'isyah membagi-bagikannya kepada orang-orang. Hingga ketika waktu sore tiba, tidak satu dirham pun dari uang tersebut yang tersisa. Lalu A'isyah berkata kepada budak perempuannya, "Ambilkan saya makanan untuk berbuka". Maka budak perempuannya itu pun mengambilkan sepotong roti dan minyak untuknya. Lalu dia berkata kepada A'isyah, "Sebenarnya, dengan satu dirham dari harta yang engkau bagikan hari ini, engkau dapat membeli sepotong daging untuk kami". Maka A'isyah berkata pada budaknya tersebut, "Janganlah kamu menyalahkan saya seperti itu. Seandainya saja tadi kamu mengingatkan saya, maka sudah barang tentu saya akan membelikannya".  Maksudnya dia akan membelikan buat budak perempuannya tersebut daging yang disukainya, bukan membelinya buat dirinya sendiri. Hal itu dilakukannya karena dia ridha dengan hanya makan roti dan minyak yang dipunyainya. Dan tidak akan menjadi bosan dengan makanannya itu. Semoga Allah meridhainya.

AKU MEMOHON AGAR UMUR PENUTUPKU DIJADKAN YANG TERBAIK

Sa’id al-Azraq al-Bahili berkata, “Pada suatu malam aku melaksanakan thawaf di Ka’bah. Ketika aku sedang thawaf, tiba-tiba ada seorang wanita di dalam Hijr Isma’il menghadap ke Ka’bah dengan tangisannya yang tersedu-sedu. Aku pun mendekatinya dan dia sedang bermunajat, ‘Wahai Yang tidak terlihat oleh mata dan tidak terbayang oleh angan dan pikiran, Yang tidak berubah dengan segala kejadian, Yang tidak bisa direka-reka oleh mereka yang mereka-reka.
    Wahai Yang Mahatahu akan beratnya gunung-gunung, takarannya lautan, jumlah tetesan air hujan, dan jumlah daun-daun pohon, jumlah apa ditutupi kegelapan malam dan apa yang disinari oleh terangnya siang dan tak ada yang ditutupi dari-Nya oleh langit satu langitpun dan oleh bumi satu bumipun, tidak pula gunung dengan segala keterjulangannya dan laut dengan segala kedalamannya, aku memohon kepada-Mu agar Engkau menjadikan umur terbaikku adalah akhirnya, pekerjaan terbaikku adalah penutupnya, hari terbaikku adalah hari pada saat aku bertemu dengan-Mu, waktu-waktu terbaikku adalah pada saat aku meninggalkan kehidupan ini dari negeri yang fana menuju ke negeri yang kekal dan abadi, negeri tempat Engkau mengaruniakan orang-orang yang telah Engkau cintai dari para wali-wali-Mu, dan tempat di mana Engkau menghinakan orang-orang yang telah Engkau murkai dari para musuh-musuh-Mu. Aku memohon kepada-Mu wahai Tuhan-ku kesehatan yang sempurna untuk kebaikan dunia dan akhirat sebagai karunia nikmat atasku wahai Yang Mahaagung dan Maha Pemurah.
    Kemudian wanita itu teriak sampai akhirnya dia pingsan tidak sadarkan diri.86
KATA AKHIR

    Setelah perjalanan mulia yang begitu semerbak dan dirindukan ini, di bawah naungan tobat dan orang-orang yang bertobat dan kembali ke jalan Allah swt., kita memohon kepada Allah agar senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita agar dapat melakukan apa yang Dia cintai dan ridhai baik perbuatan maupun perkataan, karena Allah Yang Mahakuasa atas hal itu.
    Tobat adalah jalan kebaikan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Allah swt. berfirman, “Bertobatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nur:  31)
    Tobat itu adalah untuk semua, orang yang bermaksiat dan berdosa dan juga bagi yang beriman, dan Rasulullah saw. selalu beristghfar dan tobat kapada Allah setiap harinya sebanyak tujuh puluh kali dan dalam riwayat lainnya disebutkan sampai seratus kali. Rasulullah saw. bersabda,

“Demi Allah, sesungguhnya aku selalu beristigfar dan bertobat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.”87
    Beliau juga bersabda,

“Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan beristigfarlah kepada-Nya, sesungguhnya aku selalu bertobat kepada-Nya setiap hari seratus kali.”88
    Pintu tobat akan selalu terbuka bagi setiap hamba Allah kecuali pada dua keadaan. Rasulullah saw. bersabda,

“Barangsiapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari ufuk barat maka Allah akan mengampuninya.”89
    Dan keadaan kedua adalah,

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menerima tobat seorang hamba sebelum ruhnya sampai kerongkongan.” 90
    Adapun selain dua keadaan ini, Rasulullah saw. bersabda, 

“Sesungguhnya Allah Ta’ala selalu membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk mengampuni mereka yang melakukan dosa di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya di siang untuk mengampuni mereka yang melakukan dosa di malam hari sampai waktu terbitnya matahari dari ufuk barat.”91
    Syarat untuk diterimanya tobat itu adalah seperti disebutkan oleh para ulama ada tiga. Apabila maksiat itu adalah maksiat antara hamba dan Tuhan-nya yaitu: membersihkan diri dari perbuatan itu, menyesali perbuatan itu dan bertekad untuk tidak kembali melakukannya lagi selamanya. Dan jika maksiat itu berkatan dengan hak-hak manusia, selain syarat tersebut di atas ditambah lagi dengan syarat yang keempat yaitu mengembalikan hak-hak mereka dan kezaliman atas mereka.
    Kita memohon kepada Allah, semoga Allah senantiasa menerima amal saleh kita ikhlas karena-Nya. Semoga Allah mengampuni kesalahan kita karena sesungguhnya Dia Maha Penerima Tobat dan Maha Penyayang, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Muhammad saw., kepada keluarga, dan sahabat beliau.

Ibrahim al-Harbi dan Keridhaannya kepada Allah

Ibrahim al-Harbi berkata, “Saya tidak pernah mengadukan demam yang saya derita kepada ibu, saudari, istri ataupun anak-anak saya. Lelaki adalah orang yang mampu menyembunyikan kesusahannya dan tidak menyusahkan keluarganya.
Saya menderita pusing kepala sebelah ( migran ) selama empat puluh lima tahun dan saya tidak pernah memberitahukannya kepada seorang pun. Dan selama dua puluh tahun saya melihat dengan satu mata, dan saya tidak pernah memberitahukannya kepada orang lain. Dan selama tiga puluh tahun saya lewatkan dengan makan dua potong roti. Jika ibuku atau saudara perempuanku datang membawakannya, maka saya pun memakannya. Jika mereka tidak datang membawakannya, maka saya pun menahan lapar dan dahaga hingga esok malam.
Saya juga pernah menanggung kebutuhan orang lain, hingga akhirnya kami kehabisan makanan pokok. Maka istriku pun berkata, “Anggaplah kita berdua bisa bersabar, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan terhadap dua gadis kecil kita ini? Maka berikan padaku sebagian bukumu, lalu kita jual atau kita gadaikan”.
Namun saya merasa sayang untuk melakukannya. Maka saya katakan kepada istriku, “Kita cari hutangan saja untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua, dan berilah saya kesempatan hingga satu hari satu malam lagi”.
Ketika itu kami mempunyai rumah kecil di lorong rumah kami yang di dalamnya terdapat buku-buku saya. Di sanalah saya menyalin dari buku lain dan meneliti. Ketika saya sedang berada di dalam rumah kecil itu, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Lalu saya bertanya kepadanya, “Siapa itu?” Dia menjawab, “Salah seorang tetanggamu”.
Maka saya katakan kepadanya, “Masuklah”.
Dia berkata, “Matikanlah lampunya, maka saya akan masuk”.
Maka saya pun menutupi lampu yang ada di dalam rumah saya, lalu saya katakan kepadanya, “Masuklah”.
Lalu dia pun masuk dan meninggalkan sesuatu di samping saya dan langsung pergi. Lalu saya membuka penutup lampu. Ketika itu saya melihat sebuah selendang yang mahal yang di dalamnya terdapat bermacam-macam makanan dan lima ratus uang dirham. Maka saya pun segera memanggil istri saya, dan saya  katakan kepadanya, “Bangunkanlah anak-anak dan suruh mereka makan”. Keesokan harinya kami pun melunasi hutang kami dengan uang dirham tersebut. Dan hari-hari itu adalah saat-saat kedatangan orang-orang dari Khurasan untuk menunaikan haji. Ketika pada malam berikutnya, di saat saya sedang duduk di depan rumah, seseorang menuntun dua ekor onta yang membawa barang muatan di punggungnya. Orang itu bertanya-tanya tentang rumah al-Harbi. Ketika sampai kepada saya, saya katakan kepadanya, “Saya Ibrahim al-Harbi”. Lalu dia pun menurunkan muatan dari kedua onta tersebut dan berkata, “Barang-barang ini diberikan oleh seorang dari Khurasan untukmu”.
Maka saya pun bertanya kepadanya, “Siapakah dia?”
Dia menjawab, “Maaf, dia telah menyumpah saya untuk tidak mengatakan siapa dia”.
Saya ( penulis ) berkata, “Inilah buah dari keridhaan kepada Allah ta’ala. Maka barang siapa yang ridha dengan qadha Allah, maka Allah ridha kepadanya dan hamba-hamba Allah pun akan mencintainya. Dan barang siapa tidak terima dengan qadha Allah, maka Allah membencinya dan hamba-hamba-Nya pun juga benci kepadanya.
Dan Allah mempunyai kehendak tersendiri atas setiap makhluk-Nya.

Imam ath-Thabari dan Kisah Abu Ghayyats al-Makki

    Muhammad bin Jarir ath-Thabari, di dalam kitab Tarikh-nya, mencatat, “Pada tahun 240 H saya berada di Mekkah. Ketika itu saya pernah melihat seorang lelaki dari Khurasan berseru, “Wahai orang-orang yang menunaikan haji, barang siapa menemukan sebuah bungkusan di dalam ikat pinggang yang di dalamnya terdapat seribu dinar lalu mengembalikan kepada saya, maka Allah melipatgandakan pahalanya”.
    Lalu seorang kakek-kakek dari Mekkah dari Mawali Ja’far bin Muhammad berdiri lalu berkata, “Wahai orang Khurasan. Negeri kami adalah negeri yang penduduknya miskin dan kondisinya sangat memprihatinkan. Perjalanan hari-harinya selalu dihitung dan musim hajinya selalu dinanti-nanti semua orang. Semoga uangmu itu ditemukan seseorang yang ingin mendapatkan imbalan yang halal darimu lalu dia mengembalikan uangmu itu”.
Lelaki dari Khurasan itu bertanya, “Berapa imbalan yang dia inginkan?”
Kakek-kakek itu menjawab, “Sepersepuluhnya. Yaitu seratus dinar”.
Lelaki dari Khurasan itu menjawab, “Tidak, saya tidak mau memberinya dengan jumlah tersebut. Biarlah Allah yang akan memberinya imbalan”.
Maka Ibnu Jarir ath-Thabari berfirasat bahwa kakek-kakek itulah yang menemukan uang tersebut. Lalu dia pun mengikutinya hingga sampai ke rumahnya. Lalu Ibnu Jarir ath-Thabari mendengar kakek-kakek itu memanggil seseorang, “Wahai Lubabah”.
Lubabah pun menjawab, “Ya Abu Ghayyats”.
Kakek-kakek itu berkata, “Saya sudah menemukan pemilik uang itu. Ketika itu dia sedang mengumumkan uangnya yang hilang, tanpa menawarkan imbalan. Lalu saya katakan kepadanya untuk menentukan imbalan bagi yang menemukannya. Maka dia bertanya, “Berapa?” Saya katakan kepadanya sepersepuluhnya. Namun dia tidak menyetujuinya, dan berkata, “Biarlah Allah yang akan memberinya imbalan”. Jadi apa yang dapat kita lakukan, sedangkan saya harus mengembalikan uang itu?”
Lubabah, isterinya, berkata kepadanya, “Kami hidup dalam kefakiran bersamamu selama lima puluh tahun. Sedangkan engkau mempunyai empat anak perempuan, dua orang saudara perempuan, saya, ibu saya dan engkau orang yang kesembilan. Penuhilah kebutuhan makanan dan pakaian kami dengan uang itu. Semoga suatu saat nanti Allah membuatmu kaya, kemudian engkau dapat mengembalikan uang ini kepada pemiliknya. Atau jika dia mau, hendaknya dia memberimu imbalan dan membayarmu”.
Kakek-kakek itu pun berkata kepada isterinya, “Saya tidak mungkin melakukannya dan saya tidak pernah membakar lambungku setelah enam puluh delapan tahun”.
Isterinya ingin mengambil uang itu dan memberi pakaian serta makanan untuk keluarganya, lalu menunggu hingga Allah membuat kaya suaminya, jika sudah kaya dia akan mengembalikannya kepada pemiliknya.
Akan tetapi sang lelaki yang beriman tersebut menolak pendapat yang tidak benar itu, dan berkata kepada isterinya, “Saya tidak mau membakar lambungku dengan api”..
Keesokan harinya, orang dari Khurasan itu datang lagi dan mengumumkan tentang uangnya yang hilang, sebagaimana dilakukannya kemarin. Lalu kakek-kakek tersebut berkata kepadanya, sebagaimana yang dikatakannya kemarin, hanya saja dia menurunkan permintaan imbalannya menjadi sepersepuluh dari sepersepuluh uang tersebut, atau sepuluh dinar saja.
Akan tetapi pemilik uang tersebut tetap tidak mau memberikannya, sebagaimana hari kemarin.
Pada hari ketiga, pemilik uang tersebut kembali mengumumkan tentang uangnya yang hilang itu. Lalu kakek-kakek itu pun berdiri dan berkata sebagaimana ucapannya kemarin, hanya saja dia meminta imbalan satu dinar saja. Akan tetapi orang Khurasan itu tetap menolak memberikan imbalan, dan menyerahkan imbalannya kepada Allah ‘azza wajalla.
Maka kakek-kakek itu pun langsung menarik tangan lelaki Khurasan itu dan berkata kepadanya, “Mari ikut saya, dan ambillah uangmu. Biarkan saya tidur dengan tenang malam ini dan bebaskan kami dari perhitunganmu itu”.
Kemudian dia membawa lelaki Khurasan itu ke rumahnya dan memberikan bungkusan beserta uangnya. Ketika beranjak pergi, lelaki itu kembali kepada si kakek-kakek tersebut dan berkata kepadanya, “Wahai kakek, ketika ayah saya meninggal dunia, dia meninggalkan tiga ribu dinar. Dan sebelumnya dia pernah berkata, “Ambillah sepertiga uang itu, lalu berikanlah kepada orang yang menurutmu paling berhak. Dan juallah ontaku, lalu gunakanlah uangnya untuk biaya hajimu”. Lalu saya melakukannya, dan saya ambil sepertiganya –seribu dinar—, lalu saya masukkan ke dalam bungkusan ini. Dan sejak saya pergi dari Khurasan hingga sampai di sini, saya tidak pernah melihat orang yang lebih berhak terhadap uang itu dari pada dirimu. Ambillah uang itu, semoga Allah memberi berkah kepadamu”.
Lalu dia pun memberikan seribu dinar itu kepada sang kakek, lalu pergi meninggalkannya.
Ketika itu Ibnu Jarir berjalan di belakang orang Khurasan tersebut. Lalu kakek-kakek itu, yang bernama Abu Ghayyats al-Khurasani, menyusulnya dan berkata kepadanya, “Duduklah. Saya melihatmu sejak hari pertama, tentulah engkau mengetahui kondisi kami dari kemarin hingga hari ini”.
Kemudian dia berkata lagi, “Saya mendengar Ahmad bin Yunus al-Yarbu’i berkata, “Saya mendengar Malik berkata, “Saya mendengar Nafi’ meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi saw. berkata kepada Umar r.a. dan Ali r.a.,
“Jika Allah memberi hadiah kepada kalian berdua, tanpa kalian memintanya dan tidak pula menginginkannya, maka terimalah dan janganlah kalian menolaknya. Itu adalah hadiah dari Allah dan hadiah untuk orang yang juga hadir saat itu”.
Lalu Abu Ghayyats memanggil keluarganya dan membagikan uang itu kepada mereka, dan memberi Ibnu Jarir ath-Thabari sebagaimana memberi keluargnya yang masing-masing seratus dinar. Kemudian Abu Ghayyats berkata kepada Ibnu Jarir, “Wahai pemuda, sesungguhnya engkau telah mendapatkan berkah, karena engkau tidak pernah melihat uang itu dan tidak pula menginginkannya. Dan saya nasehati kamu, bahwa uang itu adalah uang yang halal, maka jagalah ia. Dan ketahuilah, bahwa dulu saya shalat dengan baju usang ini. Setelah selesai, saya melepasnya dan menyerahkannya kepada keluarganya, dan mereka pun bergantian menggunakannya untuk shalat. Kemudian saya bekerja hingga antara waktu zhuhur dan ashar. Lalu saya kembali di sore hari dengan membawa rizki yang diberikan Allah kepada saya, berupa susu kering, kurma, roti-roti kering serta sedikit sayuran yang telah diawetkan. Setelah sampai di rumah, saya melepaskan baju saya ini, kemudian mereka bergantian memakainya untuk shalat maghrib dan isya`. Maka semoga Allah memberi manfaat kepada mereka dengan apa yang mereka peroleh dari uang itu. Dan semoga Allah juga memberi manfaat kepada saya dan dirimu dari uang yang kita peroleh. Semoga Allah mengasihi pemilik uang ini di dalam kuburnya, serta melipatgandakan pahala si pembawa uang itu.
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Lalu saya berpamitan kepada Abu Ghayyats. Kemudian saya menggunakan uang itu untuk menulis ilmu selama dua tahun; saya menggunakannya untuk makan, membeli kertas, melakukan perjalanan dan memberi upah. Setelah tahun 256 H, saya bertanya kepada orang-orang tentang kakek-kakek tersebut di Mekkah. Lalu saya diberitahu bahwa dia meninggal dunia beberapa bulan setelah peristiwa itu. Lalu saya mendapati anak-anak perempuannya menjadi orang kaya. Sedangkan kedua saudara perempuan dan ibunya telah meninggal dunia. Ketika saya singgah di rumah para menantunya dan cucu-cucunya, dan saya ceritakan tentang peristiwa itu, mereka pun mengakrabi saya dan memuliakan saya”.

TOBAT KHAIR AN-NASSAJ

Ja’far al-Khuldi bercerita, “Aku pernah bertanya pada Khair an-Nassaj,  ‘Apakah menenun adalah pekerjaanmu?’
    Dia menjawab, ‘Bukan.’
    Aku bertanya lagi, ‘Jadi dari mana kamu dinamakan dengan nama itu?’
    Dia menjawab, ‘Dahulu aku pernah bersumpah kepada Allah untuk tidak makan kurma seharian, namun aku tidak tahan dan aku ambil setengah rotul, dan ketika aku baru memakan satu buah saja, tiba-tiba ada seorang yang memandangiku lantas dia berkata, ‘Hei Khair, kamu telah kabur dariku?’
    Orang itu memang mempunyai anak bernama Khair dan kabur darinya, aku pun dimiripkan dengannya. Orang-orang berkumpul seraya berkata, ‘Orang ini demi Allah memang Khair anakmu.’
    Aku terus merasa bingung dengan apa yang telah aku alami, dan segera mengenali dosa dan kesalahanku.
    Orang itu membawaku ke tokonya yang sering dipakai untuk memenjarakan anak-anaknya. Mereka berkata, ‘Hei hamba yang jelek, kamu lari dari tuanmu.’
    Masuklah dan kerjakan pekerjaanmu seperti yang biasa kamu kerjakan, dan orang itu menyuruhku untuk menganyam cambuk. Aku ulurkan kakiku untuk segera bekerja, seakan-akan aku telah bekerja bertahun-tahun, dan aku bersama selama empat bulan bekerja menganyam untuknya. Pada suatu malam aku terbangun lantas aku segera berwudhu, kemudian aku shalat malam. Pada saat aku bersujud aku berkata dalam sujudku, “Ya Allah ya Tuhanku, aku tidak akan mengulangi apa yang telah aku lakukan. Ketika datang waktu pagi, tiba-tiba penyerupaan itu hilang dari diriku, dan aku kembali seperti parasku semula. Kemudian aku segera dibebaskan. Namun, nama itu terus melekat pada diriku. Jadi, sebab nama an-Nassaj itu datang karena aku telah mengitu syahwat yang telah aku janjikan untuk tidak memakan buah kurma, sehingga Allah menyiksa aku dengan apa yang telah kamu dengar.”68
    Khair an-Nassaj sering berkata,  “Tidak ada nasab yang lebih mulia dari nasab orang yang telah Allah ciptakan dengan tangan-Nya dan belum memeliharanya. Dan tidak ada ilmu yang lebih tinggi orang yang telah Allah ajarkan nama-nama semuanya, dan belum mendatangkannya manfaat di waktu terjadinya takdir atasnya.”
    Dia berkata, “Rasa takut itu adalah cambuk Allah yang diterapkan pada diri kita, karena jiwa itu terbiasa untuk melakukan tingkah laku yang jelek. Ketika anggota tubuh telah membuat jelek tingkah laku, hal itu karena kelengahan hati dan kegelapan kejahatan.”
    Khair an-Nassaj adalah Khair bin Abdullah Abul Hasan an-Nassaj, seorang sufi dari warga Sarru man ra’ yang tinggal di Baghdad. Dia berteman dengan Abu Hamzah al-Baghdadi dan Sarri as-Saqathi, Ibrahim al-Khawwash, umurnya mencapai seratus dua puluh tahun dan wafat pada tahun 322 H.

Kenapa Mesti Resah?

Ibrahim bin Adham rahimahullah memberikan karcis pengobatan kepada seorang lelaki yang selalu merasa resah. Ibrahim berkata kepadanya, “Wahai sahabat, aku akan bertanya kepadamu tentang tiga perkara, jadi tolong kamu jawab!”
“Baik,” jawab laki-laki itu.
Ibrahim memulai, “Apakah di alam ini pernah terjadi sesuatu di luar kekuasaan dan kehendak Allah?”
“Tidak.”
“Apakah ada rezekimu yang telah ditakdirkan oleh Allah berkurang?”
“Tidak.”
“Apakah ajal yang telah Allah tetapkan bagimu untuk hidup akan berkurang walau sesaat?”
“Tidak.”
“Jadi, kenapa mesti resah?”

Mendoakan Tiga Ratus Sahabat Setiap Hari

Abu Abdullah bin Khatib menceritakan, “Abu Hamdun mempunyai selembar kertas yang di sana tertera tiga ratus nama sahabat-sahabatnya. Dia selalu mendoakan mereka setiap malam. Suatu malam dia lupa mendoakan mereka, lalu dia tidur. Dalam tidur, dia bermimpi mendengar ada sebuah suara yang berkata kepadanya, “Wahai Abu Hamdun, kamu belum menyalakan lampu-lampumu malam ini.”
Dia segera terjaga dan kemudian dia menyalakan lampunya, lalu dia ambil kertas yang berisi nama-nama sahabatnya itu, kemudian dia mendoakan mereka satu persatu sampai selesai.

Abu Hamdun adalah seorang ahli qiraat terkenal dan ahli zuhud di masanya. Dia selalu mencari daerah yang di sana belum ada orang yang bisa mengajarkan Al-Qur’an kepada orang lain. Kemudian dia mengajarkan kepada mereka. Jika mereka sudah hafal Al-Qur’an, dia akan berpindah dan mencari tempat yang lain.

WAHAI ORANG YANG LENGAH, YANG MAHAMULIA SELALU MENJAGANYA

Yusuf ibnul-Husain meriwayatkan, dia berkata, “Aku pernah bersama Dzun Nun al-Masri di tepi sungai, dan aku melihat seekor kalajengking besar di pinggir sungai sedang berhenti. Tiba-tiba ada seekor katak keluar dari sungai itu dan kalajengking itu menaiki katak tersebut. Katak itu berenang sehingga kalajengking itu bisa menyeberang sungai.”
    Dzun Nun berkata, “Sesungguhnya ada sesuatu pada kalajengking itu, mari ikut aku!”
    Kami lalu menelusuri jejaknya. Ternyata… ada seorang laki-laki yang sedang tidur karena mabuk. Tiba-tiba ada seekor ular yang dating. Lantas ular itu menaiki badan laki-laki itu dari sebelah pusarnya menuju ke dadanya dan dia ingin memangsa telinganya. Melihat itu, langsung saja kalajengking itu menerkam ular tadi dan mengantupnya. Ular itu pun terkapar dan batal memangsa laki-laki itu, sementara kalajengking itu kembali ke sungai dan datanglah katak, kemudian dia menaikinya dan menyeberangi sungai.
    Dzun Nun segera menggerak-gerakkan laki-laki yang sedang tidur itu sampai dia membuka kedua matanya seraya berkata, “Wahai anak muda, lihatlah apa yang telah Allah lakukan untuk menyelamatkanmu. Kalajengking ini datang lantas membunuh ular ini yang ingin memangsamu.” Kemudian Dzun Nun membuat syair seraya berkata,
    Wahai seorang yang lengah, Yang Mahamulia selalu menjaganya
    Dari setiap kejahatan yang datang di kegelapan
    Bagaimana mata-mata itu tidur dari Maha Diraja
    Yang datang dari-Nya segala kenikmatan

    Anak muda itu segera bangkit dan berkata, “Wahai Tuhanku, ini yang telah Engkau lakukan terhadap orang yang selalu bermaksiat kepada-Mu, bagaimana kasih sayang-Mu kepada orang yang menaati Engkau?”
    Aku bertanya, “Ke mana?”
    Dia menjawab, “Taat kepada Allah.”
    Aku katakan sesungguhnya rahmat Allah itu sangat dekat dengan hamba-hamba-Nya. Dia adalah sebaik-baik Penjaga dan Yang Maha Pengasih, Dia Yang Mahaperkasa atas hamba-hamba-Nya dan selalu mengirim penjagaannya kepada kalian.
    Allah telah menjaga pemuda yang penuh dosa itu. Tentunya bagaimana dengan hamba-Nya yang taat, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik Sekutu dan sebaik-baik Penjaga, Mahasuci Allah dan Mahamulia.