Qaisabah bin Kultsum Dan Kelapangan Setelah Kesempitan
Ibnu al-Kalabi menceritakan dari ayahnya, "Suatu kali Qaisabah bin Kultsum as-Sukuni –salah seorang pembesar Yaman- berniat untuk melaksanakan haji. Pada waktu itu masyarakat Arab di masa jahiliah sering melaksanakan haji dan mereka tidak pernah saling mengganggu satu sama lain.
Dalam perjalanan menuju Mekah ia dihadang oleh suku Bani Amir bin Aqil. Kemudian mereka menawannya dan merampas harta bendanya serta seluruh perbekalannya. Setelah itu mereka menjebloskannya ke dalam penjara. Qaisabah mendekam di dalam penjara itu selama tiga tahun. Di negerinya; Yaman, kabar yang tersebar adalah bahwa ia diculik jin.
Qaisabah sudah putus asa akan datangnya bantuan. Ia ditempatkan di rumah seorang wanita tua dari Bani Amir. Pada suatu hari yang sangat dingin, ia berkata pada wanita itu: "Apakah engkau izinkan aku untuk memanaskan tubuh sebentar di tempat yang di sinari matahari karena dingin ini cukup menyiksaku."
Wanita itu menjawab: "Silahkan."
Saat itu ia mengenakan jubah biru yang menjadi pakaian khas Yaman. Ia mulai merangkak dengan rantai yang membelenggunya kemudian ia naik ke tempat yang agak tinggi untuk mendapatkan cahaya matahari. Ia layangkan pandangannya ke arah Yaman. Perasaannya membuncah dan akhirnya ia menangis. Kemudian ia melayangkan pandangannya ke langit dan berdoa: "Ya Allah pencipta langit, lapangkanlah apa yang aku derita saat ini."
Di saat seperti itu tiba-tiba terlihat seorang penunggang kuda. Qaisabah mengisyaratkan padanya untuk mendekat. Penunggang kuda itu mendekat dan bertanya: "Apa yang engkau inginkan?"
"Engkau hendak kemana?" tanya Qaisabah.
"Aku hendak ke Yaman," jawab laki-laki itu.
"Engkau siapa?"
"Aku Abu Thamhan al-Qini."
Abu Thamhan bertanya: "Dan engkau siapa? Aku melihat sifat-sifat baik dari penampilanmu dan pakaian para raja sementara engkau berada di daerah yang tidak memiliki raja?"
"Aku adalah Qaisabah bin Kultsum as-Sukuni. Aku berniat pergi haji pada tahun sekian tapi penduduk daerah ini menawanku dan memperlakukanku seperti yang engkau lihat sekarang."
Abu Thamhan melepaskan rantai dan belenggunya. Abu Thamhan menangis melihat kondisi seorang raja seperti itu. Qaisabah bertanya padanya: "Maukah engkau memiliki seratus onta merah?"
"Tentu aku sangat mau."
"Turunlah."
Kemudian Qaisabah menulis sepucuk surat di atas sehelai pelepah kayu yang terdapat di sekitarnya dengan tulisan al-humairi yang merupakan tulisan penduduk Yaman. Surat itu ditujukan pada saudaranya agar ia memberi Abu Thamhan seratus ekor unta. Di dalam surat itu ia juga menulis beberapa bait syair. Qaisabah berkata padanya: "Bacakan ini pada kaumku maka mereka akan memberimu seratus ekor unta merah."
Diantara bait syair yang ditulis oleh Qaisabah adalah sebagai berikut:
Mereka sampai di Bani Kindah bersama seluruh raja
Dimana orang-orang mulia berjalan mengendarai unta
Ketika mereka mengembalikan kuda dengan lima puluh sapi
Mereka giring semuanya berikut barangnya yang berat
Kemudian Abu Thamhan menyampaikan surat Qaisabah tersebut kepada saudaranya al-Jun bin Malik. Lalu ia berkata padanya: "Wahai tuan, aku akan menunjukkan padamu dimana Qaisabah berada dan ia telah menjanjikan upahnya adalah seratus ekor unta merah untukku."
"Itu hakmu."
Abu Thamhan menerangkan dimana Qaibasah berada. Setelah al-Jun bin Malik membaca surat itu ia memerintahkan para pembantunya untuk memberi Abu Thamhan seratus ekor unta merah. Kemudian al-Jun bin Malik dan Qais bin Ma'dikarib al-Kindi bersama pasukannya berangkat menuju Bani Amir untuk membebaskan Qaisabah dari tawanan mereka. Banyak diantara Bani Amir yang terbunuh waktu itu. Akhirnya Qaisabah dapat dibebaskan. Begitulah, datangnya kelapangan setelah kesempitan dengan doa dan kembali kepada Allah.
0 comments:
Post a Comment