Menangis karena Kasihan kepada Sang Pencuri

Ibnu Jauzi menceritakan dalam Shifatush Shafwah dari Shalih bin Abdul Karim, dia berkata, “Salah seorang sahabat Fudhail dari penduduk Khurasan datang menemui Fudhail di Masjidil Haram. Keduanya lalu terlibat dalam perbincangan. Setelah itu, sahabat tersebut bangkit untuk melakukan thawaf. Tiba-tiba uangnya dicuri sejumlah enam puluh atau tujuh puluh dinar. Sahabat dari Khurasan itu kembali menemui Fudhail sambil menangis. Fudhail bertanya, ‘Ada apa denganmu?’
‘Uangku dicuri,’ jawabnya.
‘Karena itukah kamu menangis?’
‘Tidak, tetapi aku teringat bagaimana nanti pencuri itu bersamaku dihadapkan kepada Allah di hari Kiamat nanti. Oleh karena itu, aku merasa kasihan dan menangis karena iba kepadanya.’”

Menangis karena Datang kepada Allah adalah Lebih Utama

Yahya bin Ayyub berkata, “Suatu hari aku pergi ke kuburan yang terletak di pintu Khurasan. Kemudian aku duduk di sebuah tempat di mana aku bisa melihat siapa yang masuk ke daerah kuburan tersebut.
Tiba-tiba, aku melihat seorang lelaki masuk ke daerah kuburan sambil menekur. Dia lalu berkeliling di sekitar kuburan tersebut. Setiap kali dia melihat ada kubur yang baru digali atau yang masih lunak, dia berdiri di sampingnya dan menangis.
Aku datang menghampirinya, moga-moga aku mendapat manfaat atau pelajaran darinya. Ketika sudah dekat, ternyata dia adalah Sa’d al-Majnun, dan dia sedang berdiri di kuburan Abdullah bin Malik. Aku bertanya kepadanya, “Apa yang kau lakukan, wahai Sa’d?”
Dia berkata, “Wahai Yahya, maukah kau duduk sejenak, kemudian kita tangisi tubuh-tubuh yang akan hancur ini, sebelum dia benar-benar hancur, lalu tidak seorang pun yang akan menangisinya?” Lalu dia berkata, “Wahai Yahya, menangis karena datang kepada Allah adalah lebih utama daripada menangisi kehancuran tubuh-tubuh ini.”
Selanjutnya dia berkata, “Wahai Yahya, apabila lembar-lembar (catatan amal) sudah ditebar....” Setelah itu, dia berteriak keras dan berkata, “Ya Allah tolonglah... apa yang nanti akan kutemui dalam lembaran catatan-catatan amalku....”
Yahya berkata, “Tiba-tiba aku jatuh pingsan. Setelah aku sadar dia sedang duduk sambil mengusap wajahku dengan ujung jubahnya. Dia berkata, “Wahai Yahya, siapa yang lebih mulia darimu seandainya kamu mati?”