TOBAT KHALIFAH AL-WATSIQ BILLAH DAN ANAKNYA DARI PENDAPAT BAHWA AL-QUR

Ibnul Jauzi dan Ibnu Katsir, keduanya menyebutkan tentang kisah tobatnya khalifah al-Watsiq Billah al-‘Abbasi dan anaknya al-Muhtadi Billah dari bid’ah yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk. Pendapat ini telah dicetuskan oleh kelompok Mu’tazilah dan dipegang oleh Khalifah al-Ma’mun. Pendapat ini telah menyiksa umat Islam selama kurun waktu yang cukup lama sebagaimana dengan pendapat ini Imam Ahmad Ibnu Hambal telah disiksa.
    Pemilik bid’ah ini pada zaman al-Ma’mun sampai pada masa khalifah al-Watsiq adalah menterinya sendiri, yaitu Ahmad bin Abi Dawud. Khalifah al- Mahdi Billah berkata tentang kisah tobatnya dan tobat ayahnya dari bid’ah ini, “Aku terus saja mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk sejak masa-masa kekhalifahan al-Watsiq, sampai akhirnya datang Ahmad Ibnu Abi Dawud menghadapkan kepada kami seorang kakek dari penduduk Syam warga Adzunah.
    Ibnu Abi Dawud membawa kakek itu dalam keadaan terikat. Dia berparas tampan, badannya tegap, dan rambut ubannya pun indah. Aku melihat Al-Watsiq kala ini merasa malu dengan kakek ini dan sedikit grogi, dia menghampiri dan mendekatinya. Si kakek itu mengucapkan salam dengan sangat ramah dan dia berdoa dengan sangat penuh makna. Khalifah al-Watsiq berkata kepadanya, ‘Duduklah.’
    Kakek itu pun duduk dan khalifah berkata kepadanya, ‘Wahai kakek, kau sedang berdebat dengan Ibnu Abi Dawud, perkara apa yang sedang kauperdebatkan dengannya?’
    Kakek itu menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, Ibnu Abi Dawud berlaku seperti anak kecil dan menekan dalam debat itu.’
    Khalifah pun marah. Tempat yang tadinya sarat keakraban kini berubah menjadi kemarahan kepada kakek itu dan khalifah berkata kepadanya, ‘Abu Abdullah bin Abi Dawud berlaku seperti anak kecil dan menekan dalam perdebatan denganmu?’
    Kakek itu berkata, ‘Tenanglah wahai Amirul Mukminin, apa yang terjadi padamu, izinkan aku untuk berdebat dengannya.’
    Al-Watsiq berkata, ‘Ya, memang aku memanggilmu untuk berdebat dengannya.’
    Kakek itu berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, sebaiknya Anda menjaga apa yang aku dan dia katakan nanti.’
    Khalifah berkata, ‘Lakukanlah.’
    Kekek itu berkata, ‘Wahai Ahmad, jelaskan kepadaku tentang pendapatmu ini yang merupakan pendapat sangat vital yang merasuk ke dalam akidah agama Islam, maka agama itu tidak sempurna sampai mengakui apa yang kamu katakan.’
    Dia menjawab, ‘Yah.’
    Kakek itu berkata, ‘Wahai Ahmad, jelaskan kepadaku tentang Rasulullah saw. ketika beliau diutus oleh Allah kepada hamba-Nya. Apakah beliau menutup-nutupi sesuatu dari apa yang telah Allah perintahkan kepada beliau dalam urusan agama mereka?’
    Dia menjawab, ‘Tidak.’
    Kakek itu berkata, ‘Apakah Rasulullah saw. mengajak umat beliau kepada pendapatmu ini?’
    Ibnu Abi Dawud kemudian terdiam.
    Kakek itu berkata kepadanya, ‘Bicaralah.’
    Dia terus terdiam, lantas dia menoleh ke Khalifah al-Watsiq dan berkata,  ‘Wahai Amirul Mukminin, satu.’
    Al-Watsiq berkata, ‘Satu.’
    Kakek itu berkata, ‘Wahai Ahmad, ceritakan kepadaku tentang Allah swt. ketika menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah saw..
    Allah berfirman, ‘… Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu….’ (al-Maa`idah: 3)
    Apakah Allah swt. yang Mahabenar dalam menyempurnakan agama-Nya atau apa kamu yang benar dalam kekuranganmu sehingga penyempurnaan itu dinilai seperti yang ada dalam pendapatmu ini? ‘
    Ahmad bin Abi Dawud pun terdiam. Kakek itu berkata, ‘Jawablah wahai Ahmad.’
    Namun, dia tidak juga menjawab. Kakek itu berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, dua.’
    Al-Watsiq berkata, ‘ Dua.’
    Kakek itu berkata, ‘Wahai Ahmad, katakan kepadaku tentang pendapat kamu ini, apakah telah diketahui oleh Rasulullah saw. ataukah beliau tidak mengetahuinya?’
    Ibnu Abi Dawud menjawab, ‘Beliau mengetahuinya.’
    Kakek itu berkata, ‘Apakah beliau mengajak manusia kepada pendapat itu?’
    Dia pun terdiam, dan kakek itu berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, tiga.’
    Al-Watsiq berkata, ‘Tiga.’
    Kakek itu berkata, ‘Wahai Ahmad, apakah Rasulullah saw. merasa berlapang dada jika beliau mengetahuinya lantas beliau tidak menyampaikannya seperti yang engkau klaim dan umat beliau tidak menuntutnya?’
    Dia menjawab, ‘Ya.’
    Kakek itu berkata, ‘Dan juga Abu Bakar, Umar ibnul hthab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib r.a. merasa berlapang dada?’
    Ibnu Abi Dawud berkata, ‘Ya.’
    Kakek itu berpaling darinya dan menghadap ke arah Khalifah al-Watsiq.
    Dia berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, jika kita saja tidak bisa menahan diri dari pendapat ini dengan apa yang telah diklaimnya bahwa Rasulullah saw. juga Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali berlapang dada dalam hal ini, maka Allah tidak melapangkan hati orang yang tidak berlapang dada.’
    Al-Watsiq berkata, ‘Benar, jika kita saja tidak boleh untuk menahan diri dari pendapat ini sesuatu yang leluasa bagi Rasulullah saw. juga Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, Allah tidak akan membolehkan kita.’
    Khalifah pun memerintahkan untuk melepas ikatan kakek itu dan meminta maaf kepadanya, serta segera mengembalikannya kepada keluarganya dengan penuh penghormatan. Hingga, berakhirlah pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang dibawa oleh Ahmad bin Abi Dawud penganut paham Mu’tazilah dan pembawa bendera fitnah Al-Qur’an makhluk sejak kekhalifahan Al-Ma’mun.
    Al-Muhtadi berkata, ‘Ayahku pun masuk ke rumah lantas dia berbaring sambil mengulang-ulang kata-kata kakek itu dalam hatinya seraya berkata, ‘Apa yang dibolehkan kamu, adalah apa yang dibolehkan mereka?’ Kemudian dia membebaskan kakek itu dan memberinya hadiah sebesar empat ratus dinar dan dia tidak lagi respek dengan Ibnu Abi Dawud dan tidak ada lagi fitnah yang meninpa seseorang sesudahnya.’”
    Begitulah, Allah telah mengizinkan untuk mengakhiri fitnah ini yang sudah dimulai sejak masa kekhalifahan Ma’mun al-‘Abbasi sampai masa kekhalifahan al-Watsiq Billah. Fitnah ini telah menelan korban para ulama dan membahayakan urusan agama dalam kurun waktu yang cukup lama, dan menjadi sebabnya adalah kelompok Mu’tazilah yang sesat itu dan menterinya Ahmad bin Abi Dawud yang pada masa akhir hayatnya diberi musibah penyakit kelumpuhan. Allah memberinya ujian ini, dan dia pun segera meminta maaf kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Dia meninggal dunia dengan kehilangan kekuasaan, kementerian, kesehatan, serta nyawanya.

Seorang Ahli Ibadah yang Ridha dengan Ujian Allah

Ibnu Abid Dunya dalam Kitab Ridha dan Ibnul Jauzi dalam Shifatush Shafwah menyebutkan bahwa Abul Ghaits, Uqbah bin Sulaiman berkata, “Pada suatu ketika saya melakukan shalat Jum’at, setelah itu saya mendatangi majlis Yunus bin Ubaid hingga datang waktu Ashar dan kami melakukan shalat Ashar. Kemudian Yunus berkata, “Apakah kalian mau menshalati jenazah Fulan?”
Lalu kami bersama-sama pergi menuju tempat Bani Sa’d. Lalu kami melakukan shalat jenazah di sana. Kemudian Yunus berkata, “Apakah kalian mau menjenguk si Fulan, seorang ahli ibadah?”
Lalu kami mendatangi seorang lelaki yang sedang sakit, hingga nampak gigi-gigi gerahamnya. Jika dia ingin berbicara, terlebih dahulu diambilkan kapas dan gelas yang berisi air, lalu bibirnya diolesi dengannya hingga basah. Kemudian dia pun berbicara dengan kata-kata yang bisa diucapkannya. Kemudian dia menghadap kiblat dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita nikmat muda dan kesehatan. Dia telah memberi kedua nikmat itu kepada saya, hingga ketika hari-hariku berakhir dan ajalku tiba, Dia akan mengambil keduanya dariku dan menggantikannya dengan yang lebih baik”. Dan ketika itu, dia juga telah kehilangan penglihatannya.
Lalu Yunus berkata kepadanya, “Awalnya kami bersiap-siap untuk berbela sungkawa kepadamu. Akan tetapi sekarang kami datang untuk mengucapkan selamat kepadamu”.
Dia menjawab, “Baguslah”.
Lalu dia berdoa untuk mereka, kemudian mereka pun pergi”.