Aku Ingin Menginjak Surga dengan Kaki Pincang Ini

Seorang sahabat bernama Amru bin Jamuh r.a. tidak ikut dalam Perang Badar. Dia dicegah oleh putra-putranya karena kakinya pincang. Ketika akan terjadi Perang Uhud, dia ingin ambil bagian. Anak-anaknya berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan pada ayah. Sebaiknya ayah di rumah saja, cukup kami yang berangkat ke medan jihad. Allah telah membebaskan ayah dari kewajiban jihad.”
Akan tetapi, Amru bin Jamuh tidak terima dan dia tidak puas dengan ucapan anak-anaknya. Akhirnya, dia pergi menghadap Rasulullah saw. dan mengadukan apa yang dikatakan oleh anak-anaknya. Dia berkata, “Sesungguhnya anak-anakku melarangku untuk pergi jihad bersamamu. Demi Allah, aku berharap mendapat syahid dan menginjakkan kaki pincangku ini di surga.”
Rasulullah saw. bersabda, “Adapun mengenaimu, memang Allah telah membebaskanmu dari kewajiban jihad.” Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada anak-anaknya, “Sementara untuk kalian, kenapa tidak kalian biarkan  dia pergi? Semoga Allah mengaruniakannya syahadah.”
Akhirnya, Amru bin Jamuh benar-benar berangkat bersama pasukan kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Dia berperang dan kemudian terbunuh, serta meraih syahid. Dia telah menginjakkan kaki pincangnya di surga yang telah berubah menjadi kaki yang sehat dengan izin Allah swt..

Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami Telah Menzalimi Diri Kami Maka Maafkanlah Kami

Ibnu Abi Dunya menceritakan dari Said bin Sinan al-Himshi, ia berkata: "Allah mewahyukan kepada seorang Nabi-Nya yang berasal dari Bani Israil bahwa azab akan datang menimpa kaumnya. Sang Nabi menyampaikan hal itu pada kaumnya dan memerintahkan mereka untuk mengutus pemuka-pemuka mereka supaya bertaubat.

Berangkatlah tiga orang diantara pemuka mereka sebagai utusan Bani Israil untuk menghadap Allah. Orang pertama berkata: "Ya Allah, Engkau memerintahkan kami dalam taurat yang Engkau turunkan pada hamba-Mu; Musa, agar kami tidak mengusir peminta-minta yang berdiri di depan pintu rumah kami, dan sekarang kami meminta-minta di pintu rahmat-Mu maka janganlah engkau tolak dan usir orang yang meminta pada-Mu."

Yang kedua berkata: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau memerintahkan kami dalam taurat yang Engkau turunkan pada hamba-Mu; Musa, agar kami memaafkan orang yang berlaku zalim terhadap kami, dan sekarang kami mengaku telah menzalimi diri sendiri maka maafkanlah kami."

Yang ketiga berkata: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau memerintahkan kami dalam taurat yang Engkau turunkan pada hamba-Mu; Musa, agar kami memerdekakan budak-budak kami, dan sesungguhnya kami adalah budak-budak-Mu maka bebaskan dan merdekakanlah kami."

Kemudian Allah mewahyukan kepada nabi-Nya bahwa Dia telah menerima taubat mereka dan memaafkan mereka." 

Begitulah datangnya kelapangan dari Allah SWT berkat orang-orang mulia dan bertakwa diantara mereka dan Allah angkatkan dari mereka azab yang hampir saja ditimpakan akibat dosa-dosa dan maksiat mereka terhadap Tuhan mereka. Dari sini kita ketahui bahwa tidak ada tempat untuk lari dari azab Allah kecuali kepada Allah sendiri karena Dialah yang akan menghilangkan segala keresahan dan melerai segala duka. Mahasuci dan Maha Tinggi Dia.

Zainab bintu Jahsy dan Keridhaannya Terhadap Ketetapan Allah dan Rasul-Nya

Zainab bintu Jahsy adalah salah seorang Ummul mukminiin ( ibu bagi orang-orang mukmin), karena dia adalah istri Rasulullah saw.. Dia masuk Islam di Mekah bersama keluarga Jahsy. Mereka termasuk golongan yang pertama masuk Islam. Zainab berangkat hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Dia adalah putri dari bibi Rasulullah saw..
Zaid bin Haritsah –orang kesayangan Rasulullah saw. dan sebelum ada larangan mengadopsi anak, dia adalah putra angkat kesayangan beliau— ketika akan dinikahkan oleh Rasulullah saw. dengan Zainab putri bibi beliau, dia menyetujuinya dan berkata pada Zainab, "Saya rela menikah denganmu". Akan tetapi di sisi lain Zainab menolaknya dan berkata, "Tapi saya tidak rela menikah dengannya". Itu dilakukan  oleh Zainab, karena dia melihat bahwa dirinya tidaklah sepadan dengan Zaid. Dia adalah wanita terpandang dari kaum Quraisy dan anak perempuan dari Abdu Syams. Adapun Zaid, dia hanyalah bekas budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah saw. yang kemudian oleh beliau diangkat sebagai anak. Setelah penolakan Zainab tersebut, turunlah firman Allah yang berbunyi,

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". ( al-Ahzaab: 36 )
Maka setelah turunnya ayat tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Zainab dan keluarganya kecuali menyetujui dan menerima pinangan Zaid. Zainab ridha dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya itu. Maka dia pun menikahi Zaid bin Haritsah.
Akan tetapi hubungan pernikahan tersebut tidaklah berlangsung lama. Zaid datang mengadu pada Rasulullah saw. tentang istrinya Zainab yang selalu merasa derajatnya lebih tinggi darinya. Oleh karena itu dia berniat menceraikannya. Lalu Rasulullah saw. menasihatinya, "Bertaqwalah pada Allah dan pertahankan istrimu itu".
Sebenarya Rasulullah saw. telah mengetahui apa yang menjadi ketetapan Allah. Beliau diberitahu oleh Allah bahwa suatu saat Zaid akan menceraikan istrinya Zainab, dan beliaulah yang akan menggantikan Zaid menjadi suami Zainab. Dan dengan itu, kebiasaan mengadopsi anak dalam Islam dihapuskan.
Apa yang telah menjadi ketetapan dan keputusan Allah  pastilah akan berlaku. Zaid kemudian menceraikan istrinya, Zainab. Dan setelah masa iddah Zainab berakhir, Rasulullah saw. datang untuk menikahinya. Dalam pernikahan yang penuh berkah itu, Allah sendiri yang menjadi wali bagi Zainab. Dengan itu, maka Zainab menjadi wanita termulia dalam hal wali yang menikahkannya. Ditambah juga, bahwa yang dinikahinya adalah orang yang paling mulia, tuan bagi anak cucu adam, dialah Rasulullah saw..
Allah berfirman,

"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni'mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni'mat kepadanya, "Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi". (al-Ahzab: 37)