Apa Kepentingan Saya kepada Orang-orang Itu?

Abu Abdillah berkata, “Muhammad bin Aslam berkata kepada saya, “Wahai Abu Abdillah, saya tidak mempunyai urusan dengan orang-orang itu. Saya dulu sendirian di dalam tulang sulbi ayah saya. Kemudian saya sendirian di dalam rahim ibu saya. Kemudian saya sendirian keluar ke dunia. Kemudian nyawa saya akan dicabut sendirian. Kemudian saya masuk ke dalam kubur sendirian. Kemudian Munkar dan Nakir mendatangi saya dan menanyai saya sendirian. Jika saya menuju ke surga, maka saya menuju ke sana sendirian. Kemudian amal dan dosa saya sendiri diletakkan di atas neraca. Jika saya dimasukkan ke neraka, maka saya dimasukkan ke dalamnya sendiri. Jadi apa kepentingan saya terhadap orang-orang itu?”
Kemudian dia diam dan berpikir sejenak, tiba-tiba badannya bergetar, sampai saya merasa khawatir dia akan terjatuh.
Dan saya mengikuti dia selama lebih dari dua puluh tahun. Selama itu saya tidak pernah melihatnya melakukan shalat sunnah, kecuali pada hari jum’at. Saya juga tidak pernah melihatnya bertasbih dan membaca Al-Qur’an. Padahal tidak seorang pun yang lebih tahu dari saya tentang rahasia dan apa yang dilakukannya.
Pada suatu hari saya pernah mendengarnya bersumpah dan berkata, “Seandainya saya mampu melakukan ibadah sunnah tanpa dilihat oleh kedua malaikat yang selalu mengawasiku, pasti akan saya lakukan. Akan tetapi saya tidak mampu melakukannya”. Dia melakukan semua itu karena takut dari riya`. Dia juga menjalin silaturahmi dengan orang-orang, dia memberi makanan dan pakaian kepada mereka dengan mengutus orang lain. Dia berpesan kepada utusannya tersebut, “Hati-hati, jangan sampai mereka tahu siapa yang mengirim semua ini kepada mereka”.
Dia juga mendatangi orang-orang miskin pada malam hari dengan membawa apa yang akan diberikannya kepada mereka. Dengan sembunyi-sembunyi dia memberikannya. Terkadang saat itu pakaian orang-orang yang diberi tersebut sudah rusak dan makanan mereka habis. Setelah menerima pemberian tersebut, mereka tidak tahu siapa yang memberi mereka” .
    Saya ( penulis ) katakan, “Ahli ibadah tersebut selalu berusaha semampunya untuk menyembunyikan ibadah dan sedekah-sedekahnya agar tidak terlihat oleh orang lain. Dia melakukannya karena takut dari riya`”.

Keridhaan Ufairah al-Bashriyyah kepada Qadha Allah

Ibnul Jauzi menyebutkan di dalam Shifatush Shafwah tentang biografi Ufairah al-Bashriyyah ( seorang wanita dari Bashrah ) yang diuji dengan hilangnya nikmat penglihatan darinya, lalu dia bersabar, ikhlas dan banyak beribadah kepada Allah. Dia hanya sedikit tidur malam.
Melihat kondisi yang demikian, keluarganya menegurnya dan berkata, “Engkau hanya tidur sebentar di malam hari dan banyak melakukan shalat”.
Dia menjawab, “Terkadang saya ingin tidur tapi saya tidak mampu melakukannya. Bagaimana seseorang bisa tidur, sedangkan dua malaikat yang mengawasinya tidak pernah tidur siang dan malam?”
Adapun penyebab kebutaannya, dia sering menangis  di siang dan malam hari karena takut kepada Allah.
Maka keluarganya berkata, “Alangkah berat kebutaan bagi orang yang sebelumnya pernah melihat”.
Maka dia menjawab, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya kebutaan hati untuk mengetahui Allah adalah lebih berat dari pada kebutaan mata untuk melihat dunia”.