Seteguk Air Senilai Kerajaan Dunia

Ibnu Samak—seorang ahli ibadah—berkata  kepada Khalifah Harun ar-Rasyid saat dia sedang minum air, “Wahai Khalifah, seandainya kamu dicegah tidak boleh meminum air itu, dengan apa kamu membayar untuk dapat meminumnya?”
Harun menjawab, “Dengan setengah kerajaanku.”
Ibnu Samak berkata, “Minumlah.”
Setelah Khalifah meminum air itu, Ibnu Samak berkata lagi, “Sekarang, seandainya kamu tidak dapat mengeluarkan air itu dari badanmu, berapa lagi yang akan kamu bayar agar air itu dapat keluar?”
Harun menjawab, “Dengan seluruh kerajaanku.”
Ibnu Samak berkata, “Sesungguhnya kerajaan tidak sebanding dengan harga seteguk air dan keluarnya air seni. Sungguh selayaknya kita tidak mengejar-ngejar untuk memperolehnya.”
Benar, itulah dunia yang di sisi Allah tidak senilai dengan seekor sayap nyamuk. Seandainya ada harganya di sisi Allah, tentu Allah tidak akan memberi minum seorang kafir pun walau seteguk air.

Menaati Perintah Rasulullah saw.

Dalam buku kehidupan para sahabat, al-Kandahlawi menceritakan dari Mughirah bin Syu’bah r.a., dia berkata, “Aku pernah meminang seorang gadis dari kaum Anshar. Hal itu kemudian aku sampaikan kepada Rasulullah saw.. Beliau bersabda, ‘Apakah sudah kamu lihat?’
‘Belum.’
Rasulullah saw. bersabda, ‘Lihatlah dia, karena hal itu akan semakin melanggengkan hubungan kalian nantinya.’” 
Mughirah berkata, “Kemudian aku mendatanginya. Hal itu aku sampaikan kepada kedua orang tuanya. Keduanya saling berpandangan. Akhirnya, aku pergi dalam keadaan kesal.
Gadis (putri kedua orang tua itu) berkata, ‘Mana laki-laki itu?’ Aku kembali ke rumahnya lalu aku berdiri di samping kamarnya. Dia berkata, ‘Seandainya Rasulullah saw. yang menyuruhmu untuk melihatku, maka lihatlah, tetapi kalau tidak, sungguh aku tak akan mengizinkanmu memandangku.’”
Mughirah berkata, “Lalu aku pandangi dia, kemudian aku nikahi. Sungguh aku tidak pernah menikahi seorang wanita pun yang lebih aku cintai dan lebih mulia darinya.”
Rasulullah saw. telah membolehkan untuk memandangi wanita ketika ada dorongan untuk menikahinya, sehingga timbullah rasa cinta dan kasih sayang. Akan tetapi, memandangnya hanya sebatas muka dan telapak tangan, karena muka menunjukkan tingkat kecantikan wanita sementara kedua tangan menunjukkan kelembutannya.
Apabila sang pemuda menerima gadis itu dan tertarik kepadanya dan sang gadis juga tertarik kepada pemuda itu, maka sempurnalah proses meminang. Setelah itu barulah diadakan akad nikah. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin hari ini yang menyalahi syariat Islam dan mengikuti Yahudi dalam proses meminang, yaitu sang pemuda dibolehkan duduk berduaan dengan sang gadis dan pergi juga berduaan. Hal ini dalam syariat Yahudi adalah halal, tetapi dalam syariat kita hal itu adalah haram, bahkan dianggap sebagai pintu masuk ke dalam maksiat zina, walaa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim.
Dalam pandangan Yahudi, meminang adalah masa uji coba, sang pemuda dan gadis yang dipinangnya sudah seperti suami istri minus hubungan intim. Apabila hubungan keduanya sudah sangat erat dan merekat serta sudah ada kesepahaman, barulah diadakan nikah. Hal ini juga dilakukan oleh masyarakat Barat. Bahkan, mereka berbuat lebih jauh dari itu sampai pada hubungan suami istri dan melahirkan anak tanpa proses pernikahan. Oleh karena itu, banyaklah anak-anak zina dalam masyarakat Barat.

Siasat Seorang Hakim Menghadapi Istrinya yang Pencemburu

Qadhi (hakim) Abul Husain bin Utbah berkata, “Aku mempunyai sepupu (putri paman) yang kaya lalu aku menikahinya. Aku tidak menikahinya karena kecantikannya, tetapi aku ingin memanfaatkan hartanya dan setelah itu aku menikah secara sembunyi-sembunyi. Ketika dia mengetahui hal itu, dia meninggalkanku dan mendesakku untuk menceraikan semua istri yang aku nikahi, kemudian dia akan kembali dan hal itu sangat merepotkanku.
Kemudian aku menikahi seorang gadis cantik yang sesuai dengan keinginanku dan selalu membantuku dalam segala hal. Setelah beberapa hari,  dia berada bersamaku, berita ini terdengar oleh sepupuku tersebut (istrinya tadi), lalu dia mulai membuat masalah untukku. Bagiku sendiri tidak mudah untuk menceraikan gadis tersebut.
Aku berkata kepada istriku yang baru ini, ‘Pinjamlah dari semua tetangga perhiasan yang paling bagus sehingga kamu akan kelihatan sangat cantik, lalu pakailah wewangian yang harum, kemudian pergilah ke rumah putri pamanku itu dan menangislah di hadapannya serta banyak ucapkan doa untuknya sampai dia merasa iba kepadamu. Jika dia bertanya bagaimana kondisimu, maka katakan, ‘Sesungguhnya putra pamanku telah menikah lagi dengan wanita lain. Hampir setiap saat dia menikah lagi. Aku mohon kamu mintakan bantuan hakim untuk kasusku.’ Istri pertama ini tidak mengenal istri yang kedua.’
Akhirnya, istri kedua ini pergi menemui istri pertama dan melakukan apa yang diperintahkan oleh sang hakim suaminya. Istri pertama berkata, ‘Sang hakim lebih buruk dari suamimu, yang dia lakukan kepadaku juga persis dengan kasusmu.’
Kemudian dia mengajak istri kedua untuk datang menghadap kepadaku. Istri pertama tersebut tampak sangat emosi. Tangannya menggandeng istri kedua. Istri pertama berkata, ‘Istri yang malang ini nasibnya sama dengan nasibku. Dengarkanlah pengaduannya dan berlakulah adil kepadanya.’
Aku berkata, ‘Kemarilah kalian berdua.’
Keduanya mendekat.
Aku bertanya kepada istri kedua, ‘Apa kasusmu?’
Lalu  dia menceritakan seperti apa yang telah dirancang oleh sang hakim suaminya (yang sesungguhnya adalah suami mereka berdua).
Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah putra pamanmu itu mengakui bahwa  dia telah menikah lagi?’
Dia menjawab, ‘Tidak demi Allah, bagaimana mungkin dia akan mengakui sesuatu yang dia tahu bahwa aku pasti tidak akan setuju?’
Aku bertanya lagi, ‘Ataukah kamu pernah melihat istrinya itu atau tahu tempat tinggalnya ataupun pernah melihat gambarnya?’
Dia menjawab, ‘Tidak, demi Allah.’
Aku berkata, ‘Wahai perempuan, bertakwalah kepada Allah dan jangan langsung terima apa saja yang kamu dengar karena orang yang dengki banyak dan orang yang suka merusak kebahagiaan wanita juga banyak. Seluruh cara salah itu hanya bohong belaka. Buktinya ini istriku, banyak orang mengatakan kepadanya bahwa aku menikah lagi. Kalau memang benar, maka semua istriku yang di luar ruangan ini aku talak tiga.’
Putri pamanku tersebut berjalan ke arahku dan mencium kepalaku, lalu dia berkata, ‘Sekarang aku sadar bahwa kau sering difitnah, wahai sang hakim.’ Dengan demikian, aku tidak mesti membayar denda sumpah karena kedua orang istriku itu berada di depanku.”

YA ALLAH, AKU MOHON TOBAT NASUHA

    Shudqah bin Sulaiman al-Ja’far berkata, “Aku banyak melakukan perbuatan nakal, kemudian ayahku meninggal dunia. Kemudian aku pun bertobat dan menyesali semua apa yang telah aku lakukan. Tetapi aku terjerumus lagi melakukan perbuatan nakal hingga aku bermimpi dalam tidurku bertemu dengan ayahku, dia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, betapa bahagianya aku denganmu dan dengan amal perbuatanmu, dipamerkan kepadaku dan kami menilainya seperti perbuatan orang-orang saleh.’”
    Orang itu pun bertobat dari dosa-dosa yang telah dilakukannya dan kembali beribadah kepada Allah. Dia selalu mengulang-ulang doa yang dipanjatkannya kala malam menjelang subuh, “Ya Allah, aku memohon tobat yang sebenar-benar tobat. Wahai Yang Mahakuasa Yang membuat seseorang menjadi orang saleh, Pemberi hidayah orang-orang yang sesat, dan Maha Pengasih orang-orang yang penuh dosa.”
    Penulis berpendapat bahwa sesungguhnya Allah senantiasa menerima tobat orang-orang yang melakukan maksiat apabila orang itu bertobat dan kembali melakukan maksiat kemudian dia bertobat lagi. Selama nyawa belum sampai ke kerongkongan, selama itu pula pintu tobat senantiasa terbuka di hadapannya. Oleh sebab itu, hendaklah orang seperti itu bersegera diri untuk bertobat sebelum ajal datang menjemputnya.