Tidakkah Engkau Malu Meminta Keridhaan dari Allah?

Ketika sedang berada di tempat Rabi’ah al-Adawiyah, Sufyan ats-Tsauri berkata, “Ya Allah, ridhailah kami”.
Rabi’ah al-Adawiyyah berkata, “Tidakkah engkau malu meminta keridhaan dari Allah, sedangkan engkau tidak ridha kepada-Nya?”
Lalu Ja’far adh-Dhab’i berkata kepadanya, “Kapan seorang hamba dikatakan ridha kepada Allah?”
Rabi’ah al-Adawiyyah menjawab, “Yaitu ketika kebahagiaannya karena ditimpa musibah seperti kebahagiaannya ketika mendapat nikmat”.
Saya ( penulis ) katakan, “Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda bahwa sesungguhnya urusan seorang mukmin adalah baik. Apabila mendapatkan kebahagiaan dia bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya. Apabila ditimpa kesusahan dia bersabar, dan itu juga kebaikan baginya”.

Kalau Kalian Setuju untuk Melepaskan Tawanannya

Hari terjadinya Perang Badar Kubra disebut juga dengan hari al-Furqan, yaitu hari ketika Allah swt. memisahkan antara yang hak dengan yang batil. Allah swt. memuliakan Islam beserta segenap pemeluknya dan Allah swt. menghinakan kemusyrikan berikut orang-orangnya. Itulah salah satu hari besar di antara hari-hari yang diagungkan Allah swt..

Sebagian kaum musyrikin menjadi tawanan di tangan kaum Muslimin. Di antara para tawanan tersebut adalah Abul ‘Ash bin Rabi’ suami Zainab r.a. putri Rasulullah saw.. Saat itu dia masih musyrik dan bersama kaum musyrikin lainnya dia ikut memerangi kaum Muslimin.

Ketika kaum Quraisy mengirim tebusan untuk membebaskan para tawanan, Zainab r.a. mengirim kalung yang terbuat dari manik-manik yang dulu dihadiahkan oleh ibunya Khadijah r.a. saat dia menikah. Hal itu dilakukan untuk membebaskan suaminya.
Ketika Rasulullah saw. melihat kalung tersebut, beliau merasa sangat tersentuh, lalu beliau berkata, “Kalau kalian setuju untuk melepaskan suaminya (suami Zainab r.a.) yang masih menjadi tawanan, lalu kalian kembalikan kalung miliknya tentu lebih baik.” 
Para sahabat berkata, “Baik, ya Rasulullah.” Akhirnya, para sahabat membebaskan Abul ‘Ash dan Nabi memintanya untuk membiarkan Zainab r.a.  hijrah ke Madinah.
Abul ‘Ash bin Rabi’ menepati janjinya. Dia membiarkan Zainab r.a. hijrah ke Madinah setelah dia mengutus Zaid bin Haritsah dan seorang lelaki dari Anshar untuk mendampingi Zainab. Dia berkata kepada dua orang tersebut, “Pergilah ke daerah Ya`juj (sebuah lembah di dekat Tan’im), tunggulah Zainab di sana, lalu dampingilah dia menuju Madinah.” 
Ketika Zainab sudah berniat untuk hijrah, iparnya, Kinanah bin Rabi’ menyerahkan kepadanya seekor unta. Zainab menunggangi unta tersebut dengan diantar oleh Kinanah. Zainab duduk di dalam sekedup yang diletakkan di atas punggung unta. Beberapa orang kaum musyrikin Quraisy pergi mengejar Zainab. Akhirnya, mereka berhasil menyusul Zainab di daerah Dzi Thuwa. Saat itu Zainab r.a. sedang hamil. Salah seorang di antara kaum musyrikin itu, Haba` bin Aswad sengaja menakut-nakuti Zainab dengan tombaknya yang mengakibatkan kandungan Zainab keguguran. Kinanah bin Rabi’ segera maju. Dia berkata, “Demi Allah, siapa pun di antara kalian yang berani mendekat akan kutusuk dengan tombak ini.” Akhirnya, mereka mundur. Lalu datanglah Abu Sufyan dan dia berkata, “Wahai Kinanah, letakkan dulu senjatamu dan mari kita bicara.”
Abu Sufyan berkata, “Tindakanmu ini tidak benar. Kau pergi membawa wanita ini di depan orang banyak secara terang-terangan, sementara kau tahu bagaimana musibah dan penderitaan yang kita terima, serta semua hal yang kita rasakan akibat ulah Muhammad. Seandainya kau membawa putri Muhammad secara terang-terangan dan di depan orang banyak, orang-orang akan mengira bahwa itu berarti semakin menambah kehinaan kita setelah kehinaan yang sebelumnya.  Hal itu juga akan menunjukkan kelemahan dan ketidakberdayaan kita. Sungguh, kami tidak memiliki kepentingan apa-apa dengan menahan wanita ini dari ayahnya, dan hal itu juga tidak akan dapat melampiaskan dendam kami. Akan tetapi pulanglah dengan wanita ini, sampai situasi mulai tenang dan orang-orang mengira bahwa kami sudah mengembalikannya. Di saat itu, keluarlah secara diam-diam dan biarkan dia menyusul ayahnya.”
Akhirnya, Kinanah kembali membawa Zainab ke Mekah.  Dia berada di Mekah selama beberapa hari. Setelah situasi tenang, Kinanah kembali mendampinginya keluar dan menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah yang mengembalikannya ke pangkuan ayahnya di Madinah. 

TOBAT DARI MELIHAT APA YANG ALLAH HARAMKAN

Abu Amru bin Ulwan bercerita, “Suatu hari aku pernah pergi dalam suatu keperluan dan aku melihat ada jenazah. Aku mengikutinya untuk ikut menshalatinya. Aku berdiri bersama kerumunan orang banyak sampai jenazah itu dikebumikan. Tiba-tiba mataku melihat seorang wanita yang sedang melintas dengan tanpa sengaja, lama mataku memandangnya. Setelah itu baru aku menyadari dan akupun beristigfar kepada Allah swt.. Lantas aku segera kembali ke rumahku, dan tiba-taiba ada seorang nenek tua yang berkata,  “Wahai tuanku, kenapa aku melihat mukamu hitam?”
    Aku segera mengambil cermin dan aku melihatnya dan ternyata… mukaku memang hitam. Aku segera mengintrospeksi diri untuk memikirkan dari mana datangnya musibah ini. Aku segera ingin mengetahui pandangan itu.
    Aku lalu menyendiri di satu tempat kosong beristigfar kepada Allah swt. dan memohon tobat serta ampun selama empat puluh hari. Lantas, terbetik dalam hatiku bahwa aku harus pergi ke guruku al-Junaid dan aku segera berangkat ke Baghdad, ketika aku datang kepadanya, dia berkata, “Masuklah wahai Abu Amru, kamu berbuat dosa di Ruhbah62 dan Allah mengampunimu di Baghdad.”

TOBAT IBRAHIM BIN ADHAM

    Ibnu Qudamah menyebutkan dalam kitabnya at-Tawwabin tentang Ibrahim bin Basyar pembantu Ibrahim bin Adham, “Wahai Abu Ishaq, bagaimana awal-awal kepribadianmu dahulu?”
    “Ayahku adalah seorang dari warga Balakh (Khurasan). Kami adalah keturunan raja Khurasan, dan kami senang memburu binatang. Pernah aku keluar dengan menaiki kudaku sementara anjingku ikut menyertaiku. Ketika itu terlihat ada kelinci atau serigala yang meronta-ronta, aku pun memacu kudaku lantas aku mendengar suara yang memanggil dari belakang, ‘Kamu diciptakan bukan untuk ini dan tidak diperintahkan untuk ini.’ Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, namun aku tidak melihat satu orang pun. Aku berkata, ‘Allah melaknat iblis.’
    Kemudian aku memacu lagi kudaku, hingga aku pun mendengar suara yang lebih jelas dari itu tadi, ‘Wahai Ibrahim, kamu diciptakan bukan untuk itu dan bukan dengan itu pula kamu diperintahkan!!’ Aku berhenti melihat ke kanan dan ke kiri, dan aku tidak melihat siapa-siapa.
    Aku berkata, ‘Allah melaknat iblis.’
    Aku memacu kembali kudaku, dan aku mendengar suara dari dalam pelana kudaku, ‘Wahai Ibrahim, bukan untuk ini kamu diciptakan dan bukan dengan ini kamu diperintahkan.’
    Aku segera berhenti dan berkata, ‘Aku sadar, telah datang kepadaku peringatan dari Tuhan semesta alam, dan demi Allah aku tidak lagi melakukan maksiat kepada Allah sejak hari ini selama Tuhanku selalu menjagaku.’
    Aku segera kembali pulang ke keluargaku dan mendatangi salah seorang penggembala ternak ayahku. Aku meminta kepadanya sebuah baju jubah dan karung. Kemudian aku masukkan pakaianku ke dalamnya dan aku segera berangkat pergi ke Irak, sebuah negeri yang akan mengangkatku dan negeri yang akan menghinakanku. Sesampainya di Irak, aku bekerja beberapa hari dengannya. Aku tidak dianggap di sana dan aku bertanya kepada sebagian ulama, mereka berkata kepadaku, ‘Jika kamu mau mencari yang halal, hendaklah kamu pergi ke negeri Syam.’ Aku segera menuju ke Syam dan berjalan ke sebuah kota yang di sebut Manshurah, tepatnya di Mashishah dan aku bekerja beberapa hari di sana.”
    Dan begitulah Ibrahim bin Adham rahimahullah berpindah-pindah dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain dan dari satu negeri ke negeri yang lain untuk bertobat dan kembali ke jalan Allah.
    Amir Ibrahim bin Adham akhirnya menjadi orang yang kaya raya, mempunyai kedudukan dan kekuasaan. Ibrahim bin Adham seorang ‘abid dan zahid, serta seorang ulama besar, yang lidahnya selalu penuh dengan zikir kepada Allah dan penuh hikmah. Dia terus dikenang dalam buku-buku para ahli zikir dan al-‘Arifuna billah, serta termasuk para wali Allah yang saleh.

TOBAT TUKANG FITNAH DI TANGAN UMAR IBNUL HTHAB

Ada seseorang yang datang menemui Amirul Mukminin Umar bin hthab r.a.. Kemudian di depannya dia menghasut seseorang dari teman-temannya. Dia menyampaikan hal-hal jelek temannya itu kepada Umar. Dia menuangkan kemarahan hatinya kepada Umar. Ketika orang ini selesai memfitnah, Umar pun mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan dia sedang memikirkan dan mencerna fitnahan itu. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan berkata kepada orang itu, “Hai dengarkan, kami telah mengamati masalahmu dan telah mendengarkan beritamu. Jika kamu bohong, kamu termasuk dari kelompok ayat ini, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.’ (al-Hujuraat: 6)
    Jika kamu jujur dan benar, kamu termasuk dari golongan ayat ini, ‘Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, suka mencela, yang kian ke mari menyebarkan fitnah.’ (al-Qalam: 10-11)
    Jika kamu mau, kami akan memaafkan kamu dan janganlah kamu kembali lagi ke majelis kami setelah ini, karena kamu bukanlah teman duduk bagi orang-orang mukmin.”
    Orang itu pun merasa hina dalam dirinya dan berkata, “Aku meminta maaf kepadamu wahai Amirul Mukminin dan berjanji kepadamu untuk tidak kembali lagi melakukan fitnah dan menggunjing orang lain.”
    Kemudian dia keluar dari majelis Umar ibnul hthab r.a. seperti yang telah diperintahkan dan dia merasa menyesal atas apa yang telah dia katakan kepada Amirul Mukminin.
    Dan begitulah, para pemimpin dan masyarakat umum harus terus waspada kepada orang-orang pengumpat dan penyebar fitnah serta penggunjing aib orang lain.

Penyair Kasmaran dan Wanita Suci

Dalam kisah-kisah para wanita, Ibnu Jauzi menceritakan tentang seorang penyair kasmaran bernama Umar bin Abi Rabiah. Ketika sedang melakukan thawaf di Ka’bah, tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang berasal dari Bashrah. Dia tertarik melihat wanita itu dan mencoba untuk mendekatinya. Dia ingin mengajaknya bicara tapi wanita itu tidak menoleh sama sekali. Pada malam berikutnya, dia kembali berusaha mendekatinya. Wanita itu berkata, “Menjauhlah dariku, kamu berada di tempat yang suci.”
Ketika penyair itu terus mengejarnya dan mengganggunya melakukan thawaf, wanita itu datang kepada suaminya dan berkata, “Mari bersamaku, ajarkan kepadaku manasik haji.” Dia kembali thawaf bersama suaminya. Umar bin Abi Rabi’ah duduk menunggu di jalan yang biasa dilalui wanita itu untuk menggodanya seperti yang dia lakukan sebelumnya. Ketika dia melihat wanita itu datang bersama suaminya, Umar menghindar dan tidak lagi berani menggodanya setelah itu. Wanita itu berkata,

Serigala hanya berani pada kambing tanpa pengawalan anjing
Tetapi  dia ciut melihat penjaga laksana singa yang siaga menjaga

Kisah ini didengar oleh Khalifah Al-Mansur dan dia berkata, “Aku berharap seandainya setiap wanita Quraisy yang berada di rumahnya mendengarkan kisah ini.”
Begitulah, wanita yang salehah ini tahu cara mengusir serigala-serigala manusia yang tidak menghargai kesucian tempat dan kesucian agama. Dia juga telah memberikan pelajaran berharga kepada seluruh wanita agar tidak diganggu oleh serigala-serigala seperti itu di sepanjang masa.

Antara Ali Bin Abi Thalib dan Adi Bin Hatim

Diriwayatkan oleh Ibn Asakir dalam kitabnya Tarikh Dimasyq, bahwa al-Aghar bin Sulaik al-Kufi berkata, "Suatu ketika Ali bin Abi Thalib melihat Adi bin Hatim yang nampak sedang sedih dan berduka. Lalu Ali bertanya kepadanya, "Wahai Adi apa, yang menyebabkan kamu nampak begitu sedih dan berduka?" Adi menjawab, "Bagaimana saya tidak sedih, kedua anak saya terbunuh dan saya sendiri kehilangan mata saya”.
Lalu Imam Ali menasihatinya, "Wahai Adi, barang siapa yang ridha dengan qada Allah, dan qada Allah itu pasti akan berlaku, maka dia akan mendapatkan pahala dari Allah. Dan barang siapa yang tidak ridha dengan qada-Nya, dan qada Allah itu pasti juga akan berlaku pada dirinya, maka pahala amal baiknya akan terhapus”.
Demikianlah nasihat yang diberikan Imam Ali. Yang intinya bahwa keridhaan pada qada Allah akan mendatangkan pahala yang besar dari Allah. Dan sebaliknya, ketidakridhaan terhadap qada Allah akan mendatangkan murka dari Allah dan mengakibatkan hilangnya pahala amal baik.
Sesungguhnya qada Allah itu pasti akan berlaku tanpa adanya keraguan. Oleh karenanya sudah seharusnya  bagi setiap mu'min untuk selalu ridha dan berserah. Barang siapa tidak ridha terhadap qada Allah, maka dia harus mencari tuhan lain selain Allah dan bumi lain selain bumi Allah ini. Sedangkan itu adalah suatu hal yang mustahil. Keridhaan terhadap qada Allah adalah buah dari keimanan.

Abud Dahdah dan Keridhaan kepada Allah

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika turun ayat Al-Qur’an,

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik ( menafkahkan hartanya di jalan Allah ), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”. ( al-Baqarah: 245 ), Abud Dahdah al-Anshari berkata, “Apakah Allah juga ingin pinjaman dari kita?”
Rasulullah saw. menjawab, “Ya, wahai Abud Dahdah”.
Abu Dahdah lalu berkata, “Ulurkanlah tanganmu wahai Rasulullah.”
Maka Rasulullah saw. mengulurkan tangannya ke arah Abud Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, “Dengan ini saya meminjamkan kebunku kepada Tuhanku”.
Ibnu Mas’ud berkata, “Di dalam kebun Abud Dahdah tersebut terdapat enam ratus pohon kurma. Di dalamnya juga tinggal Ummud Dahdah dan anak-anaknya. Maka setelah itu, Abud Dahdah segera pulang dan memanggil istrinya, “Wahai Ummud Dahdah”. Istrinya menjawab, “Ya, suamiku”. Sang suami menjawab, “Keluarlah dari kebun ini, karena saya telah meminjamkannya kepada Tuhanku ‘azza wajalla”.
Mendengar hal itu, Ummud Dahdah segera mendatangi anak-anaknya, mengeluarkan kurma-kurma yang ada di mulut mereka dan mengeluarkan yang ada di dalam baju-baju mereka.
Maka Rasulullah saw. bersabda, “Alangkah banyak anggur-anggur yang besar milik Abud Dahdah di surga”.

Peminang yang Buruk

Muhammad ibnul Walid menceritakan, “Suatu kali Umar bin Abdul Aziz rahimahullah lewat di depan seorang lelaki yang sedang memainkan kerikil-kerikil kecil di tangannya sambil berkata, ‘Ya Allah, nikahkanlah aku dengan hurul ‘ain (bidadari surga).’”
Mendengar hal itu Umar berkata, “Engkau adalah peminang yang paling buruk. Tidakkah sebaiknya kamu buang dulu kerikil-kerikil itu lalu kamu berdoa dengan ikhlas kepada Allah?”

Zaid Bin Haritsah dan Keridhaannya kepada Qada' dan Qadar

Nama lengkapnya adalah Zaid bin Harisah bin Syarahil, dan biasa dipanggil Zaid al-Hibb ( kesayangan Rasulullah ). Pada mulanya Zaid adalah seorang yang merdeka, kemudian menjadi tawanan dan dijual dengan status sebagai budak di masa jahiliyah ketika dia masih kecil. Dia dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan pada bibinya, Khadijah binti Khuwailid. Pada saat Khadijah menikah dengan Rasulullah saw., dia diberikan pada Rasulullah saw..
Zaid tumbuh di Mekah dalam asuhan Rasulullah saw. sebelum masa kenabian. Suatu ketika, orang-orang dari kaumnya, Bani Ka'b, yang sedang berada di Mekkah mengenali dirinya. Kemudian mereka pergi ketempat Haritsah, ayah Zaid, untuk memberitahunya tentang keberadaaan anaknya tersebut. Setelah itu ayah bersama pamannya datang kepada Rasulullah saw. untuk menebusnya. Mereka tiba di Mekah dan mencari tahu dimana dapat berjumpa dengan Muhammad bin Abdullah saw.. Ketika berjumpa dengan Rasulullah saw., mereka mengajukan permintaan pada beliau dengan berkata, "Wahai putra Hasyim, putra pemuka kaumnya, engkau adalah penghuni tanah haram dan bertetangga dengan rumah Allah. Engkau selalu membantu orang yang kesusahan dan memberi makan para tawanan. Kami datang padamu demi anak kami yang saat ini berada dalam tanggunganmu. Maka berbaikhatilah pada kami dan perkenankanlah kami menebusnya. Kami akan meninggikan nilai tebusannya”. Kemudian Rasulullah saw. bertanya pada mereka, "Siapakah anak kalian itu?" Mereka menjawab, "Zaid bin Harisah". Rasulullah saw. bertanya lagi memastikan, "Apa bukan selain dia?" Mereka  menjawab, "Hanya dialah anak kami yang kami inginkan". Lalu Rasulullah saw. berkata kepada orang-orang, "Panggilah Zaid dan suruh dia memilih diantara kita. Apabila dia memilih kalian maka dia adalah milik kalian tanpa harus ditebus. Akan tetapi apabila dia memilih saya, sungguh demi Allah saya tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti pilihannya”. Dan mereka berkata, "Engkau telah bersikap adil dan berbuat kebaikan".
Setelah itu Rasulullah saw. memanggil Zaid dan bertanya padanya, "Apakah kamu mengenali mereka?"
Zaid menjawab, "Ya, ini ayah saya dan yang itu paman saya". Kemudian Rasulullah saw. berkata padanya, "Adapun saya, kamu telah mengenal saya. Kamu juga tahu bagaimana saya menyayangi kamu. Sekarang saya serahkan pada kamu, mau memilih saya ataukah mereka berdua".
Zaid menjawab, "Saya tidak punya pilihan lain kecuali engkau. Engkau bagi saya bagaikan seorang ayah dan juga seorang paman".
Mereka pun terkejut ketika mendengar pilihan Zaid tersebut dan berkata padanya, "Zaid bagaimana kamu ini, apakah kamu lebih memilih jadi budak dari pada menjadi orang merdeka dan hidup bersama ayah, paman dan keluargamu?"
Zaid menjawab, "Ya, saya telah melihat sesuatu dalam dirinya yang membuat saya tidak akan pernah memilih selain dia". Setelah mendengar jawaban Zaid, Rasulullah saw. langsung mengajaknya ke Hijr Ismail di Ka'bah dan berkata, "Wahai orang-orang saksikanlah bahwa Zaid adalah anak saya. Dia akan mewarisi saya dan saya mewarisi dia". Ketika mendengar apa yang diucapkan Rasulullah saw. tersebut, hati ayah dan pamannya menjadi tenang lalu mereka pergi meninggalkan Zaid.
Pada zaman Jahiliah dan masa-masa awal Islam kebiasaan mengadopsi anak dan menjadikannya sebagai anak sendiri tersebar luas dan tidak dilarang. Kemudian setelah Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, kebiasaan tersebut dilarang oleh Allah.
Demikianlah, bagaimana Zaid bin Haritsah menerima dengan penuh ridha apa yang telah menjadi ketentuan Allah baginya. Dia rela menjadi anak Rasulullah saw. dengan cara adopsi. Kemudian ketika hal itu dilarang, dia tetap hidup bersama Rasulullah saw. dan menjadi orang terkasih beliau. Rasulullah saw. menikahkannya dengan Zainab binti Jahsy putri bibinya. Setelah itu beliau menikahkannya dengan Ummu Barakah, putri asuhnya. Rasulullah saw. juga mengangkatnya menjadi pemimpin pasukan dalam perang Mu`tah. Dalam perang tersebut Zaid terbunuh syahid fisabilillah.
Zaid bin Harisah adalah orang yang pertama kali masuk Islam setelah Khadijah, istri Rasulullah saw. sendiri. Ketika Zaid gugur dalam perang Mu`tah, Rasulullah saw. menangis tersedu-sedu hingga Sa'd bin Ubadah menjadi heran dan berkata, "Apa yang menyebabkan engkau menangis seperti itu wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. menjawab, "Ini adalah kerinduan seorang kasih pada kekasihnya."
Demikianlah, seorang Zaid bin Harisah mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah saw.. Hal itu dikarenakan keridhaanya terhadap apa yang telah menjadi ketentuan Allah dalam hidupnya. Dia pernah menjadi seorang tawanan, kemudian memilih menjadi budak tatkala hidup bersama Rasulullah saw. dari pada menjadi orang merdeka.

Alqamah bin Qais dan Keridhaan kepada Allah

Abu Zhabyan berkata, “Saya mendapati banyak sekali sahabat Nabi saw. bertanya dan meminta fatwa dari Alqamah.
Alqamah bin Qais bin Abdillah an-Nakha’i al-kufi adalah seorang yang tsiqqah, ahli ibadah dan ahli fikih yang meninggal setelah tahun enam puluh hijriyah.
Diriwayatkan dari al-Musayyab bin Rafi’, dia berkata, “Pada suatu hri seseorang bertanya kepada ‘Alqamah, “Coba engkau membuat majlis sendiri lalu engkau ajarkan Al-Qur’an dan engkau sampaikan hadits kepada orang-orang”.
Dia menjawab, “Saya tidak ingin orang-orang mengikuti bekas kakiku lalu berkata, “Ini Alqamah”.
Dan dari Malik Ibnul Harits, dia berkata, “Alqamah ditanya, “Mengapa engkau tidak keluar dari rumah, lalu engkau sampaikan hadits Rasulullah saw. kepada orang-orang?”
Dia menjawab, “Jika saya keluar orang-orang akan mengikuti saya, lalu mereka berkata, “Ini Alqamah”.
Orang-orang berkata kepadanya, “Apakah engkau tidak mendatangi penguasa lalu mendapatkan manfaat dari mereka?”
Dia menjawab, “Saya tidak mendapatkan dunia mereka kecuali sesuai apa yang mereka peroleh dari agamaku”.
Ibnul Jauzi berkata, “Alqamah meriwayatkan dari Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abi Musa, Khabbab Ibnul Art, Salman, Abu Mas’ud dan Aisyah.
Al-Qamah meninggal dunia di Kufah pada usia sembilan puluh tahun. Rahimahullah.