Hasan al-Basri Dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Qadhi at-Tanukhi menceritakan bahwa Hasan al-Basri rahimahullah datang menemui Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi; Gubernur Irak saat ia sedang berada di daerah Wasith (sebuah daerah di Irak). Ketika Hasan melihat bangunan tempat Hajjaj berada yang penuh dengan perhiasan dan kesenangan ia berkata: "Segala puji bagi Allah. Sesungguhnya mereka para penguasa melihat diri mereka dapat dijadikan contoh sementara kami melihat bahwa diri mereka juga dapat dijadikan pelajaran. Diantara mereka ada yang membangun istana lalu diperindahnya dan memiliki kasur-kasur empuk sementara lalat-lalat dan sudah berkumpul di sekitarnya. Sekarang lihatlah apa yang engkau lakukan (yang ia maksud adalah Hajjaj). Kami telah melihat apa yang engkau lakukan wahai musuh Allah, maka apa lagi yang akan engkau lakukan wahai manusia paling fasik dan durjana? Penduduk langit mengutukmu dan penduduk bumi membencimu."

Setelah itu Hasan pergi. Tiada tara murkanya Hajjaj setelah mendengar perkataan Hasan itu, sampai ia berkata: "Wahai masyarakat Syam, seorang budak penduduk Bashrah mencelaku di hadapanku dan tak seorangpun yang mencegahnya? Demi Allah aku akan membunuhnya."

Kemudian masyarakat Syam membawa Hasan al-Basri dan menghadapkannya pada Hajjaj. Di dalam perjalanan menuju Hajjaj, Hasan selalu menggerak-gerakkan kedua bibirnya sambil membaca sesuatu yang tidak jelas terdengar.
Ketika ia masuk menemui Hajjaj ia melihat pedang dan hamparan dari kulit (tempat seseorang dibunuh lalu darahnya dituangkan ke dalamnya) sudah disiapkan di depannya. Hajjaj tampak sangat murka. Ketika melihat Hasan, Hajjaj berbicara dengan cara yang sangat kasar, sementara Hasan tetap bersikap lemah lembut dan malah menasehatinya. Hajjaj memerintahkan agar pedang dan hamparan kulit itu didekatkan. Hasan masih tetap menasehati Hajjaj sampai kemudian tiba-tiba saja Hajjaj meminta dihidangkan makanan lalu mereka berdua makan. Kemudian ia minta disediakan air lalu ia berwudhuk dan wewangian lalu ia oleskan ke tubuhnya.

Ada yang bertanya pada Hasan: "Apa yang engkau baca saat engkau menggerak-gerakkan kedua bibirmu?"
     Hasan menjawab: "Aku berkata: "Wahai penolongku ketika aku berdoa, sandaranku dalam berbagai cobaan, wahai Tuhanku ketika aku sulit, wahai temanku ketika aku sempit, wahai kekasihku ketika aku dalam nikmat, wahai Tuhanku dan Tuhan Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'kub dan anak cucunya, tuhan Musa dan Isa, wahai Tuhan para nabi seluruhnya, wahai Tuhan kaf ha ya 'ain shad, Tuhan thaha, Tuhan yasin dan Tuhan Al-Qur`an yang mulia, wahai yang menolong Musa terhadap Fir'aun, menolong Muhammad terhadap golongan-golongan yang kafir, curahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya yang mulia dan suci, karuniakanlah padaku simpati dari hamba-Mu; Hajjaj, kebaikan dan kelembutannya, serta palingkan dariku siksa dan kejahatannya."
Begitulah Allah menyelamatkannya dari kesulitan dan kejahatan Hajjaj sehingga banyak pengikut Hasan yang berkata: "Setiap kami berdoa dengan doa itu dalam keadaan sulit Allah pasti melapangkan kami." 

Wanita Salehah di Malam Pengantin

Suatu hari Sya’bi rahimahullah duduk bersama Syuraih al-Qadhi. Sya’bi bertanya kepadanya tentang kondisinya di rumahnya. Syuraih menjawab, “Sejak dua puluh tahun aku tak pernah melihat apa pun dari keluargaku yang membuatku marah.”
“Bagaimana bisa seperti itu?” tanya Sya’bi.
Syuraih menjawab, “Sejak malam pertama, aku melihat wajah istriku yang sangat cantik dan jelita. Aku berkata dalam hati aku akan bersuci dan shalat dua rakaat sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah aku salam, aku lihat istriku juga shalat dan sama-sama selesai denganku.
Ketika orang-orang sudah pergi, aku melangkah ke dekatnya untuk melakukan hubungan suami istri. Tiba-tiba dia berkata kepadaku, ‘Tunggu dulu wahai Abu Umayyah (gelar Syuraih), tetap di posisimu!’
Kemudian dia berkata, ‘Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan mohon pertolongan kepada-Nya serta shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Sesungguhnya aku masih asing bagimu, aku belum mengenal pribadimu, maka jelaskanlah kepadaku apa saja yang kamu sukai untuk aku lakukan dan apa yang kamu benci untuk aku tinggalkan.’ Kemudian dia melanjutkan, ‘Sesungguhnya dalam kaummu masih banyak wanita yang bisa kamu nikahi dan dalam kaumku juga ada laki-laki yang cocok denganku, tetapi apabila Allah sudah menetapkan sesuatu pasti akan terlaksana. Sekarang aku sudah menjadi milikmu, maka lakukanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, tetap mempertahankanku sebagai istrimu dengan cara yang baik atau kamu lepaskan (ceraikan) dengan cara yang baik pula. Ini saja yang aku sampaikan dan aku mohon ampun kepada Allah untukku dan untukmu.’”
Syuraih berkata, “Demi Allah wahai Sya’bi, dia telah membuatku perlu menyampaikan khotbah pendek di saat itu, maka aku pun berkata, ‘Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan mohon pertolongan kepada-Nya serta aku bershalawat kepada Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Amma ba’du, sesungguhnya kamu telah menyampaikan sebuah perkataan yang jika kamu konsisten dengan hal itu, maka itulah keberuntunganmu, namun jika kamu tinggalkan, maka itu akan menjadi kebinasaan bagimu sendiri.’”
Kemudian Syuraih melanjutkan, “Sesungguhnya aku menyukai ini dan itu serta membenci ini dan itu. Apa pun kebaikan yang kamu lihat, maka tebarkanlah dan apa pun keburukan yang kamu lihat, maka tutupilah.”
Dia berkata, “Bagaimana menurutmu dengan kunjungan keluargaku?”
“Aku tidak ingin dibenci oleh kerabatku.”
“Siapa di antara tetanggamu yang kamu izinkan untuk masuk ke rumahmu dan siapa yang tidak kamu izinkan?”
“Bani fulan dan bani fulan adalah orang baik-baik, maka izinkanlah bagi mereka sementara bani fulan dan bani fulan adalah orang-orang tidak baik, maka jangan izinkan dia masuk.”
Syuraih melanjutkan, “Kemudian aku melewati malam itu bersamanya dengan penuh bahagia. Aku hidup bersamanya selama setahun penuh dan aku tidak pernah menjumpai, kecuali apa yang aku sukai dan inginkan.
Di penghujung tahun baru aku pulang dari tugasku sebagai qadhi. Tiba-tiba aku melihat ada seorang wanita di rumahku. Aku bertanya, ‘Siapa wanita ini?’
Istriku menjawab, ‘Salah seorang kerabatmu.’
Wanita itu menoleh kepadaku dan bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?’
‘Dia istri terbaik,’ jawabku.
Wanita itu berkata, ‘Wahai Abu Umayyah, sesungguhnya seorang wanita tidak menjadi lebih buruk kecuali dalam dua kondisi, yaitu apabila melahirkan anak dan mendapatkan perlakuan kurang baik dari suaminya. Demi Allah, tidaklah para lelaki mendapatkan sesuatu yang lebih buruk di rumah mereka daripada istri yang sangat manja. Maka, ajarilah istrimu dengan cara yang kamu kehendaki dan bimbinglah dia menurut caramu.’”
Syuraih berkata, “Aku tinggal bersama istriku selama dua puluh tahun dan tidak pernah aku mencelanya sedikit pun, kecuali satu kali saat aku khilaf. Semoga Allah merahmatinya.”

Tiga Orang Sahabat

Al-Waqidi menceritakan, “Aku mempunyai dua orang sahabat, salah seorangnya dari Bani Hasyim dan kami sudah seperti satu tubuh. Suatu kali aku ditimpa kesulitan yang cukup berat. Kemudian datanglah hari raya. Istriku berkata, ‘Kita bisa bersabar menahan derita dan kesempitan ini, tapi anak-anak kita.... Aku merasa kasihan kepada mereka karena mereka melihat anak-anak tetangga memakai pakaian baru dan indah di hari raya, sementara mereka hanya memakai pakaian yang usang. Andaikan kamu bisa mengusahakan sesuatu untuk membelikan mereka pakaian.’”
Kemudian aku menulis surat kepada temanku dari Bani Hasyim tersebut untuk meminta bantuannya. Dia mengirimkan kepadaku bungkusan yang diberi cap dan tertulis di luarnya seribu dirham. Akan tetapi belum beberapa saat, datanglah surat dari temanku yang satu lagi mengeluhkan seperti yang aku keluhkan. Akhirnya, aku kirimkan bungkusan itu seperti adanya, kemudian aku pergi ke masjid. Aku tetap di masjid semalam itu karena malu kepada istriku. Namun, ketika aku pulang, dia tetap menyambutku dan tidak menyesalkan apa yang aku lakukan.
Tiba-tiba datanglah sahabatku dari Bani Hasyim sambil membawa bungkusan uang tadi sebagaimana kondisinya semula. Dia berkata, “Jujurlah kepadaku, apa yang kau lakukan pada uang yang aku kirimkan kepadamu ini?”
Aku lalu menceritakan semuanya. Dia berkata, “Sebenarnya waktu kamu mengirim surat kepadaku, aku tak punya apa-apa selain uang yang aku kirim kepadamu. Kemudian aku mengirim surat kepada sahabat kita, memohon bantuan kepadanya. Lalu dia mengirimkan bungkusan ini kepadaku.”
Jadi, bungkusan tersebut telah berputar di antara mereka. Ketika Khalifah Makmun mengetahui kisah mereka, dia memanggil al-Waqidi untuk memberi mereka uang tujuh ribu dinar, masing-masing memperoleh dua ribu dinar dan untuk sang istri seribu dinar.

Urwah bin Zubair dan Keridhaannya kepada Qadha Allah

Dia adalah Urwah bin Zubair, putera salah seorang sahabat setia Rasulullah saw.. Ibunya adalah Asma` bintu Abu Bakar, Dzaatun Nithaaqain ( pemilik dua ikat pinggang ), radhiyallahu ‘anhum. Dia dilahirkan pada tahun 23 H. Dia adalah seorang imam dan ulama Madinah, serta salah seorang fuqahaa` Sab’ah ( tujuh ahli fikih ).  Dan di siang hari dia membaca seperempat Al-Qur’an langsung dari mushhaf, lalu pada malam harinya dia menunaikan shalat dengan bacaannya tadi.
    Anaknya, Hisyam, meriwayatkan bahwa pada suatu hari ayahnya pergi mendatangi al-Walid bin Abdil Malik. Ketika sampai di Wadil Qura, dia merasakan rasa nyeri di kakinya. Ketika dia perhatikan, dia melihat ada luka bernanah di sana. Kemudian rasa sakit terus menjalar ke atas, sehingga dia melanjtukan perjalanan ke tempat Walid dengan ditandu. Setelah sampai, Walid pun menyambutnya. Ketika melihat sakit di kakinya terus menjalar, Walid pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah boleh kakimu dipotong?”
Dia menjawab, “Lakukanlah”.
Lalu Walid memanggil seorang dokter. Ketika akan memotong kakinya, sang dokter berkata kepada Urwah, “Minumlah obat penidur ini”. Namun Urwah tidak mau meminumnya.
Lalu sang dokter memotong kakinya dari pertengahan betis, dan Urwah hanya mendesis, “Hissi, hissi”.
Al-Walid bin Abdil Malik berkata, “Saya tidak pernah melihat orang tua sekuat dia dalam menahan rasa sakit”.
Dalam perjalanan tersebut, anaknya, Muhammad, jatuh sakit, lalu meninggal dunia. Dan Urwah hanya membaca firman Allah,

“Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. ( al-Kahf: 62 ).
Dan dia berkata, “Ya Allah, dulu saya mempunyai tujuh orang anak lalu Engkau mengambil satu orang dan menyisakan enam orang anak. Dan dulu saya mempunyai empat anggota tubuh ( 2 kaki dan 2 tangan ), lalu Engkau mengambil salah satunya dan menyisakan tiga. Jika Engkau telah mengujiku, maka Engkau telah memberi kesehatan kepada saya. Dan jika Engkau telah mengambil dari saya, Engkau pun tetap menyisakannya untuk saya”.
Lalu orang-orang memperlihatkan kepadanya kakinya yang telah dipotong di dalam baskom. Lalu dia berkata kepada kakinya tersebut, “Sesungguhnya Allah tahu, bahwa saya tidak pernah menggunakanmu untuk berjalan menuju kemaksiatan. Dan saya pun tahu akan hal itu”.
Dan Urwah meninggal pada tahun 93 H, ketika sedang berpuasa.

Umar Ibnul Khatab dan Pertanyaanya Tentang Fitnah

Khalifah kedua, Umar ibnul Khatab r.a. senantiasa merasa takut kepada Allah Swt dalam setiap perbuatan dan ucapannya. Dia  sangat menginginkan dapat menghadap Allah dalam keadaan seperti ketika Rasulullah saw. meninggalkannya. Dia selalu bertanya pada sekretaris Rasulullah saw., Hudzaifah ibnul Yaman tentang fitnah.
Pada suatu hari, Umar bertanya kepada sekelompok sahabat yang ketika itu Hudzaifah bersama mereka, “Siapa diantara kalian yang hafal sabda Rasulullah saw. tentang fitnah?”
Khudzaifah  menjawab, “Saya”.
Umar berkata, “Kamu sungguh berani”.
Lalu Hudzaifah menjawab pertanyaan Umar, “Fitnah bagi seseorang pada istri, anak dan tetangganya dapat dicegah dengan selalu menjalankan shalat, bersedekah dan menyeru kepada kebaikan serta melarang perbuatan mungkar”.
 Umar memperjelas maksud pertanyaannya, “Bukan itu yang saya inginkan, akan tetapi fitnah yang datang menerjang seperti gelombang air laut”.
Setelah menangkap maksud pertanyaan Umar, Hudzaifah berkata, “Janganlah engkau merisaukan hal itu wahai Amirul Mu’minin. Sesungguhnya terdapat pintu penghalang antara engkau dan fitnah itu”.
Lalu Umar bertanya lagi, “Akankah pintu tersebut hancur atau terbuka”.
Hudzaifah  menjawab, “Ia akan hancur”.
Umar berkata, “Jadi ia tidak selamanya tertutup”.
Masruq –salah seorang tabi’in yang meriwayatkan kisah ini– berkata, “Kami bertanya pada Hudzaifah, “Apakah Umar tahu tentang pintu itu?”
Hudzaifah  menjawab, “Ya, sebagaimana dia tahu bahwa akan datang malam setelah siang”.
Dan Masruq bertanya lagi, “Siapakah yang dimaksud dengan pintu itu?” Khudzaifah  menjawab, “Umar.”
Sesungguhnya Umar ibnul Khatab telah mengetahui bahwa pintu penghalang terjadinya fitnah yang dimaksud tidak lain adalah dirinya. Apabila pintu tersebut telah hancur, yaitu dengan terbunuhnya Umar, maka ia tidak bisa ditutup kembali. Dan hal itu benar-benar terjadi setelah terbunuhnya Umar ibnul Khatab. Fitnah mulai datang menerpa sejak zaman Usman bin Affan r.a. dan belum berakhir hingga sekarang.
Pada suatu ketika Umar berdo’a kepada Allah, “Ya Allah saya telah menjadi lemah lagi tua, sedangkan rakyatku telah luas menyebar. Ya Allah panggillah saya untuk menghadapmu dalam keadaan yang tidak sia–sia dan tidak lalai”.  Doa itu terucap di penghujung hidupnya. Sekitar sebulan setelah itu dia terbunuh sebagaimana yang tertulis dalam tinta sejarah. Hafshah bintu Umar, istri Rasulullah saw., mengatakan bahwa dia mendengar ayahnya, Umar ibnul Khatab, berdo’a, “Ya Allah karuniakanlah padaku syahadah di jalan-Mu dan meninggal dunia di negeri Nabi-Mu”. Kemudian Hafsah bertanya pada ayahnya, “Bagaimanakah itu akan terjadi”. Umar menjawab, “Sesungguhnya ketentuan Allah akan terjadi sebagaimana yang Dia kehendaki”.
Pertanyaan Hafshah tersebut menandakan bahwa dia merasa heran dengan apa yang diucapkan ayahnya dalam doanya itu. Karena pada saat itu, tidak seorang pun dari orang-orang musyrik yang timggal di Madinah. Dan ayahnya tidak pernah lagi keluar dari Madinah. Bagaimana dia menginginkan mati syahid di jalan Allah dan dimakamkan di Madinah, sedangkan hal itu tidak mungkin didapatkan oleh seorang muslim kecuali terbunuh di tangan orang kafir? Dan terbunuh dengan cara seperti itu adalah derajat yang paling tinggi dalam kesyahidan.
Akan tetapi ketentuan Allah-lah yang berbicara. Dia mengabulkan doa Umar, karena apa yang diinginkan umar dalam doanya sejalan dengan qadha dan qadar-Nya. Bermula dari kedatangan Mughirah bin Syu’bah, ketika memberitahu Umar bahwa seorang budak kepunyaannya bernama Abu Lu`lu`ah, seorang Majusi, memiliki ketrampilan yang bisa dimanfaatkan oleh kaum muslim. Maka Umar ibnul Khatab pun tertarik dan menginginkan agar kaum muslim dapat mengambil manfaat dari ketrampilannya. Untuk itu, dia mengizinkan budak Majusi itu tinggal di Madinah. Tidak selang lama, niat jahat majusi ini pun muncul. Dia mengatur siasat untuk membunuh Khalifah Umar ibnul Khatab r.a.. Pada suatu pagi, datang kesempatan padanya, yaitu ketika Khalifah sedang khusyu’ menjalankan shalat subuh di masjid. Maka dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dan menikam Umar di saat dia sedang dalam posisi sujud. Doa khalifah Umar ibnul Khatab pun terkabulkan. Dia menuai syahadah di jalan-Nya dan dimakamkan di sisi Rasulullah saw. dan sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq.

Imran bin Khushshain dan Keridhaannya di Saat Sakit

Diriwayatkan oleh Ibn Abid Dunya dari Hasan al-Bashri, dia berkata, "Suatu ketika Imran bin Khushshain jatuh sakit. Lalu saya datang menjenguknya. Akan tetapi kedatangan saya itu dianggapnya agak terlambat. Maka saya berkata kepadanya, "Wahai Abu Nujaid, sebenarnya yang menghalangi saya segera menjengukmu adalah karena saya merasa tidak tega melihatmu menahan rasa sakit". Kemudian Imran berkata pada saya, "Janganlah engkau merasa tidak tega. Demi Allah sesungguhnya apa yang saya sukai adalah apa yang disukai oleh Allah, maka janganlah engkau bersedih karena melihat saya sedang menahan rasa sakit. Sesungguhnya engkau tidak akan merasa sedih jika kamu tahu bahwa apa yang engkau lihat pada diri saya saat ini adalah penebus bagi dosa-dosa saya. Oleh karena itu saya ikhlas dengan sakit saya ini, dan saya mengharap pengampunan dari Allah atas dosa-dosa saya yang masih tersisa. Sesungguhnya Allah telah berfirman,

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (asy-Syuura: 30).

TOBAT ABDURRAHMAN BIN YAZID BIN MU`AWIYAH


    Abdurrahman bin Yazid bin Jabir berkata, “Abdurrahman bin Yazid bin Mu’awiyah adalah seorang teman dekat dan pendamping Abdul Malik bin Marwan—Khalifah Umawiyah—dan ketika Abdul Malik meninggal dunia dan orang-orang bubar dari prosesi pemakamannya, Abdurrahman berdiri di atas makamnya seraya berkata, ‘Kamu Abdul Malik yang dahulu setiap kali kamu janjikan aku sesuatu maka aku pun mengharap darimu. Setiap kali kamu mengancamku, aku pun takut padamu. Saat ini engkau menjadi orang yang tidak memiliki apa-apa kecuali dua helai kain kafanmu. Kamu tidak memiliki tempat kecuali empat hasta tanah dengan lebar dua hasta!!’”
    Kemudian dia pulang dan kembali ke keluarganya. Selanjutnya dia sangat tekun beribadah sampai dia seakan telah menjadi sesuatu yang basah. Lantas, ada sebagian keluarganya yang mendatanginya dan mencela dirinya dan ketekunannya dengan berkata kepadanya, “Aku bertanya padamu tentang sesuatu, apakah kamu jujur tentang hal itu?”
    Orang itu menjawab, “Benar.”
    Dia bertanya, “Katakan padaku tentang keadaan kamu saat ini, apakah dengan seperti ini kami ridha untuk mati?”
    Orang itu menjawab, “Demi Allah tidak.”
    Dia bertanya, “Apakah kamu tetap teguh hati untuk pindah darinya ke yang lainnya?”
    Orang itu menjawab, “Aku belum melihat bagaimana pandangan pendapatku dalam hal itu.”
    Dia bertanya, “Apakah kamu merasa aman ketika datang ajal kematianmu dan kamu dalam keadaan seperti sekarang ini?”
    Orang itu menjawab, “Demi Allah tidak.”
    Abdurrahman berkata, “Orang itu pun menyadari dan menghayati dalam-dalam apa yang telah dikatakan kepadanya. Kemudian dia segera masuk ke tempat shalatnya.”76
    Dahulu para sahabat khalifah dan raja menyadari benar bahwa mereka adalah manusia biasa yang nantinya akan kembali dan menghadap Tuhan mereka. Mereka sangat menyadari kematian ini, sehingga mereka pun mengambil nasihat dari peristiwa kematian itu dan membuat mereka segera kembali ke jalan Allah swt. dan mendekatkan diri kepada-Nya.
    Cukup kematian itu sebagai nasihat. Barangsiapa yang tidak bisa dinasihati dengan kematian, orang itu lebih pantas untuk dimasukkan ke neraka. Hendaklah masing-masing kita melihat kondisi dirinya atau berintrospeksi diri karena dia lebih tahu akan hal itu dari orang lain. Kemudian tanyakan pada diri sendiri, apakah kamu mau didatangi kematian sementara kamu dalam keadaan seperti itu?

Sabar Ketika Sakit

Ibnu Atsir berkata, “Beberapa orang sahabat Nabi menjenguk Khabab. Mereka berkata, ‘Bergembiralah wahai Abu Abdillah, karena kau akan bertemu dengan saudara-saudaramu di haudh (kolam di surga).’”
Khabab berkata, “Kalian mengingatkanku pada kawan-kawan yang telah mendahului kita, dan mereka belum mendapatkan balasan perjuangan mereka sedikit pun (berupa kemenangan dan kesenangan dunia), sementara kita masih berada di dunia setelah mereka, dan kita telah mendapatkan dunia yang kita khawatirkan akan menjadi balasan dari segala amalan tersebut.”
Sakit Khabab semakin parah, sehingga dia terpaksa diobati dengan menggunakan besi panas sebanyak tujuh kali.  Dia berkata, “Kalau bukan karena Rasulullah telah melarang kita berdoa meminta kematian, niscaya aku sudah berdoa untuk mati.” Hal itu karena parah dan pedihnya sakit yang dirasakannya.
Khabab tinggal di Kufah.  Dia hidup di sana dan dimakamkan di sana.  Dia menjadi sahabat pertama yang dimakamkan di Kufah.
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. berkata tentang Khabab saat dia lewat di kuburannya ketika kembali dari Perang Shiffin, “Semoga Allah merahmati Khabab.” Dia masuk agama Islam dengan hati suka, hijrah dengan penuh taat, hidup sebagai seorang mujahid, diberi cobaan pada tubuhnya, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat amal kebaikan.” Semoga Allah swt. meridhainya dan seluruh sahabat.
Khabab bersabar menanggung berbagai siksaan kaum musyrikin dan berbagai penderitaan di jalan Allah. Khabab berkata kepada Umar ibnul Khaththab, ketika dia bertanya tentang apa siksaan yang dia terima dari kaum musyrikin, “Wahai Amirul Mukminin, lihat punggungku ini.”
Umar melihat punggungnya, lalu berkata, “Aku tidak pernah melihat punggung seseorang seperti yang kulihat hari ini.”
Khabab berkata, “Dinyalakan api sampai berasap, dan api itu dipadamkan di dalam daging punggungku.”
Dia juga bersabar terhadap parahnya sakit yang dia derita di akhir-akhir kehidupannya, sampai dia menemui Allah swt. dalam  keadaan ridha dan diridhai.
Sungguh beruntung kau, wahai Khabab. Semoga Allah swt. meridhaimu dan menempatkanmu di surga Firdaus yang tertinggi, serta mempertemukan kami denganmu dalam kondisi yang paling baik.
Dia termasuk di antara orang yang pertama masuk Islam, dia menanggung segala penderitaan dan tetap bersabar. Dia disiksa dengan api dan tetap sabar, bahkan dalam kondisi sakit yang akhirnya mengantarkannya pada kematian. Sakitnya semakin parah, dan dia tetap bersabar, sehingga dia memperoleh balasan sebagaimana halnya orang-orang sabar terdahulu.

Keridhaan Yusuf bin Ya'qub A.s. Terhadap Qadha Allah

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya az-Zuhd dari Abu Abdullah, muazzin kota Tha'if, dia berkata, "Malaikat Jibril datang kepada Nabi Yusuf dan berkata padanya, "Wahai Yusuf, apakah penjara membuatmu susah?" "Ya", jawab Nabi Yusuf singkat. Lalu malaikat Jibril berkata, "Kalau begitu, katakanlah, "Ya Allah, karuniailah saya kemudahan dan kelonggaran pada setiap urusan yang memberatkan saya, baik itu urusan dunia, maupun urusan akhirat. Berilah saya rizki dengan jalan yang tidak saya duga, ampunilah dosa saya, kuatkanlah harapan saya, dan jadikanlah harapan saya tersebut hanya kepada-Mu".
Lalu Nabi Yusuf pun mengucapkan do'a tersebut, dan dia telah ridha dengan qadha dan qadar Allah. Maka Allah pun membukakan jalan kemudahan baginya. Dia dikeluarkan dari penjara, lalu diangkat menjadi menteri Mesir, yang dengan itu dia menjadi seorang yang mempunyai kedudukan penting di Mesir.

Kelapangan Setelah Kesempitan Di Masa Kekhilafahan Umar

Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Dalail an-Nubuwwah dari Imam Malik, ia berkata: "Pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab r.a, kaum muslimin menderita kekeringan dan paceklik. Ada seorang lelaki yang datang ke kuburan Nabi saw. dan berkata: "Wahai Rasulullah, mohonkanlah pada Allah untuk menurunkan hujan pada umatmu karena mereka hampir binasa akibat kekeringan ini." Rasulullah saw. datang pada laki-laki tersebut dalam mimpinya dan bersabda: "Temuilah Umar dan sampaikan salamku padanya. Katakan padanya bahwa rakyatmu akan dikaruniakan hujan, lalu katakan juga padanya: "Engkau mesti cerdas dan sabar (menyikapi semua ini)."
Laki-laki tersebut datang menemui Umar dan menceritakan hal itu padanya. Mendengar hal itu Umar menangis dan berkata: "Wahai Tuhanku, aku tidak akan berpaling karena hal itu justru akan membuatku lemah." 

Ibnu Abi Dunya dan Ibnu 'Asakir meriwayatkan dari Khawwat bin Jubair r.a, ia berkata: "Rakyat ditimpa paceklik yang sangat berat di masa Umar bin Khattab r.a. Kemudian Umar melakukan shalat istisqa` dua rakaat bersama kaum muslimin. Ia silangkan kedua sisi sorbannya, ia jadikan yang kanan di sebelah kiri dan yang kiri di sebelah kanan, kemudian ia bentangkan kedua tangannya, lalu ia berdoa: "Ya Allah, kami mohon ampun pada-Mu. Ya Allah, kami mohon hujan pada-Mu."

Belum sempat Umar beranjak dari tempatya turunlah hujan yang lebat. Di saat yang bersamaan datanglah orang-orang Arab badui. Mereka segera menemui Umar. Mereka berkata: "Wahai Amirul Mukminin, di saat kami berada di kampung pada hari itu dan waktu itu, tiba-tiba datanglah awan tebal. Kemudian kami mendengar sebuah suara: "Bantuan telah datang padamu wahai Abu Hafsh (gelar Umar), bantuan telah datang padamu wahai Abu Hafsh." 

Zuhud Seorang Wanita Berkat Jasa Abu Syu

Junaid bin Muhammad berkata, “Abu Syu’aib al-Buratsi adalah orang pertama yang tinggal di daerah Buratsi dalam sebuah gua tempat dia beribadah. Suatu hari, seorang wanita putri para pembesar yang besar di istana para raja lewat di gua itu. Ketika melihat Abu Syuaib, dia merasa senang melihat penampilan dan pribadinya. Wanita itu tertawan dengan Abu Syu’aib, sehingga dia bertekad untuk meninggalkan dunia dan dekat dengannya.
Dia datang dan berkata kepada Abu Syu’aib, “Aku ingin menjadi pelayanmu.”
Abu Syu’aib menjawab, “Kalau itu yang kamu inginkan, maka ubahlah penampilanmu dan tinggalkan semua kemewahanmu sehingga kamu layak untuk tugas yang kamu inginkan.”
Wanita itu pun meninggalkan semua yang dia miliki dan dia memakai pakaian para ahli ibadah lalu dia datang kepada Abu Syu’aib. Abu Syu’aib kemudian menikahinya. Ketika dia masuk ke dalam gua, dia melihat sebuah sajadah yang bersih di tempat Abu Syu’aib. Dia berkata, “Aku tidak akan tinggal di sini sampai kamu membuang apa yang di bawahmu itu, karena aku pernah mendengarmu berkata, ‘Sesungguhnya bumi berkata, ‘Wahai anak Adam, kamu jadikan hari ini ada pembatas antaraku denganmu sementara esok kamu akan berada dalam perutku?’ Aku tidak akan membuat pembatas apa-apa antara aku dan dia.’”
Abu Syu’aib mengambil sajadah itu dan membuangnya. Wanita itu tinggal bersama Abu Syuaib selama bertahun-tahun dan beribadah dengan ibadah terbaik. Keduanya wafat dalam kondisi itu saling membantu dalam ketaatan kepada Allah.

Ada Kesepakatan Antaranya dan Allah untuk Mengetahui Makanan Haram

Al-Junaid menceritakan, “Al-Harits al-Muhasibi adalah seorang yang bermuka pucat. Suatu hari dia lewat di depanku saat aku duduk di depan pintu rumah. Aku lihat wajahnya semakin pucat karena lapar. Aku berkata kepadanya, ‘Wahai paman, maukah Kamu masuk ke rumah kami untuk makan sedikit makanan?’
Aku segera pergi ke rumah pamanku yang lebih luas dari rumah kami. Di sana selalu ada makanan-makanan mewah yang tidak ada di rumah kami. Aku datang membawa beberapa jenis makanan. Aku letakkan di depannya. Lalu dia bentangkan tangannya dan dia masukkan makanan itu ke dalam mulutnya. Aku lihat dia mengunyah makanan itu, tetapi tidak jadi dia menelannya. Dia lalu melompat dan berlalu tanpa menoleh kepadaku.
Keesokan harinya aku berjumpa dengannya. Aku bertanya, ‘Wahai paman, ada hal yang kamu rahasiakan dan tutupi dariku kemarin.’
Dia berkata, ‘Wahai anakku, kelaparan memang sudah sangat menyiksaku. Dan aku berusaha untuk menyantap makanan yang kamu hidangkan kepadaku. Akan tetapi, antara aku dan Allah ada kesepakatan (bahwa Allah akan memberinya tanda jika sebuah makanan tidak halal, pent.) seandainya makanan itu tidak diridhai-Nya, yaitu datanglah bau busuk ke hidungku sehingga diriku tidak menerimanya. Makanya aku buang makanan itu di selokan lalu aku pergi.”

TOBAT TUKANG POTONG HEWAN DAN KEKASIHNYA


    Bakar bin Abdullah al-Muzni berkata, “Ada seorang pemotong hewan jatuh cinta pada seorang budak wanita salah seorang tetangganya. Keluarga budak itu menyuruhnya pergi ke kampung sebelah untuk keperluan mereka. Lalu, si tukang potong hewan itu mengikutinya hingga dia menggoda wanita itu. Wanita itu berkata, ‘Jangan kamu lakukan itu, sesungguhnya aku sangat cinta kepadamu ketimbang kamu kepadaku dan sesungguhnya aku takut kepada Allah.’”
    Orang itu berkata, “Kamu takut kepada-Nya dan aku tidak takut kepada-Nya.”
    Kemudian si tukang potong hewan itu menyesali perbuatannya dan segera bertobat kepada Allah.
    Hingga pada suatu hari, si tukang potong hewan ini keluar bersama salah seorang nabi Bani Israil dan mereka mengalami kehausan. Nabi itu berkata kepadanya, “Kemarilah, kita akan berdoa kepada Allah supaya Allah melindungi kita dengan awan sehingga kita bisa sampai ke kampung itu.”
    Si tukang potong hewan itu berkata, “Aku tidak mempunyai amal saleh, berdoalah kamu dan aku akan mengamininya.” Kemudian nabi itu pun berdoa dan dia mengamininya. Mereka diteduhi oleh awan sampai akhirnya mereka tiba di kampung yang dituju. Si tukang potong hewan itu pergi ke tempatnya dan awan tadi pun mengikuti di belakangnya. Nabi Bani Israil itu berkata,  “Kamu mengklaim bahwa kamu tidak mempunyai amal saleh sama sekali, dan aku yang berdoa sementara kamu yang mengamininya. Ceritakan kepadaku apa sebetulnya yang terjadi pada dirimu.”
    Dia segera menceritakan kisahnya bersama seorang budak wanita. Nabi itu berkata, “Orang yang bertobat kepada Allah berada di sebuah tempat yang tidak bisa digapai oleh orang lain.”
    Penulis berkata, sesungguhnya orang yang bertobat menjadi kekasih Allah, dan orang yang bertobat dari dosa sama seperti orang yang tidak mempunyai dosa sama sekali, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw..

TOBAT MUSA A.S.

Musa bin Imran a.s. adalah seorang nabi utusan Allah dan rasul-Nya yang diutus kepada Fir’aun Mesir dan kaumnya dan kepada Bani Israil.
    “Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah Musa di dalam Kitab (Al-Qur’an). Dia benar-benar orang yang terpilih, seorang rasul dan nabi.” (Maryam: 51)
    Dengan takdir Allah, Musa tumbuh besar dan diasuh di tengah istana Fir’aun, walaupun saat itu Fir’aun selalu membunuh setiap bayi yang terlahir dari Bani Israil, oleh karena takut keluar dari mereka orang yang akan menghancurkan kerajaannya. Akan tetapi, kehendak Allah menentukan kelahiran Musa justru di tahun ketika Fir’aun sedang membunuh bayi-bayi Bani Israil. Kemudian bocah kecil itu dididik dan diasuh di depan mata, telinga, dan asuhan Fir’aun sendiri.
    Ketika Musa mulai beranjak dewasa dan telah menjadi seorang pemuda yang balig, Allah memberinya ilmu dan hikmah. Hingga, suatu ketika Musa yang sedang berjalan-jalan di tengah kota melihat seseorang dari warga Fir’aun dan seseorang lagi dari warga keturunannya Bani Israil sedang bertengkar. Orang Israil itu meminta tolong atas orang Mesir tersebut. Musa pun datang dan menolong orang yang dari golongannya itu melawan orang yang dari musuhnya itu. Dia memukulnya dengan tangan sehingga orang Mesir itu jatuh terkapar.
    Allah swt. berfirman, “Dan setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akal-nya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan dia (Musa) masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka dia mendapati di dalam kota itu dua orang laki-laki sedang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang (lagi) dari pihak musuhnya (kaum Fir‘aun). Orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk (mengalahkan) orang yang dari pihak musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Dia (Musa) berkata, ‘lni adalah perbuatan setan. Sungguh, dia (setan itu) adalah musuh yang jelas menyesatkan.” Dia (Musa) berdoa, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.’ Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun,
Maha Penyayang. Dia (Musa) berkata, ‘Ya Tuhanku! Demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, maka aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.’” (al-Qashash: 14-17)
    Musa a.s. menyadari bahwa dengan membunuh orang ini, berarti dia telah melakukan dosa dan bahwa perbuatan ini adalah termasuk perbuatan setan. Dia pun segera memohon ampun dan bertobat kepada Allah swt. dari apa yang telah dia perbuat. Tuhannya pun langsung menerima permohonan ampunnya. “Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
    Kisahnya itu tidak hanya habis sampai di situ saja. Berikutnya ketika Musa sedang berjalan di tengah kota dengan rasa takut sambil dia mencari berita tentang terbunuh orang yang dari golongan Fir’aun, saat itu dia melihat orang yang dari keturunan Bani Israil sedang bertengkar dengan orang lain dari kelompok Fir’aun. Orang Israil itu meminta tolong kepada Musa seperti kemarin dia meminta tolong kepadanya. Musa pun berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat.”
    Pada saat itu orang Israil tersebut menyebarluaskan rahasia pembunuhan orang Mesir kelompok Fir’aun yang terjadi kemarin ketika dia melihat Musa mendatangi dirinya dan orang yang sedang bertengkar dengannya, dia mengira bahwa dia datang mau membunuhnya seraya dia berkata, “Wahai Musa, apakah kamu mau membunuh aku sebagaimana kemarin kamu telah membunuh orang, sesungguhnya kamu hanya mau menjadi orang keras dan sombong di dunia ini dan kamu tidak mau menjadi orang yang berlaku saleh.”
    Musa pun pergi meninggalkan keduanya dan meneruskan perjalanannya. Namun, berita tentang Musa telah membunuh seseorang dari kelompok Fir’aun telah menyebar di kota itu. Fir’aun pun mengeluarkan perintahnya untuk menangkap Musa. Ada seseorang dari warga Mesir mendatanginya dan menasihatinya untuk keluar dan pergi dari Mesir karena Fir’aun dan kaumnya sedang mencarinya untuk membunuhnya. Musa pun mendengar nasihatnya dan dia keluar dari Mesir dengan penuh rasa takut, sehingga dia pun sampai ke negeri Madyan seperti yang telah diketahui dalam kisah Musa a.s..  
    “Maka keluarlah dia (Musa) dari kota itu dengan rasa takut, waspada (kalau ada yang menyusul atau menangkapnya), dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.’” (al-Qashash: 21)

6. Ya Allah, Bantulah Khabab!

Khabab bin Arats r.a. telah masuk Islam sejak awal Islam di Mekah bersama Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., Shuhaib, Ammar dan ibunya, Sumayyah r.a. serta ayahnya, Yasir.  Dia termasuk yang banyak disiksa dalam perjuangan di jalan Allah. Ketika berbagai siksaan terhadap orang-orang lemah semakin menjadi-jadi, Khabab datang menghadap Nabi saw. yang saat itu sedang istirahat di dekat Ka’bah. Rasulullah saw. berkata kepada Khabab, “Sesungguhnya orang-orang sebelum Kalian ada yang dibenamkan ke dalam tanah lalu digergaji tubuhnya dari atas kepalanya, tetapi hal itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya, dan ada juga yang dagingnya dikuliti dari tulangnya dengan besi panas tetapi tidak membuatnya berpaling dari agamanya. Sesungguhnya Allah swt. akan menyempurnakan agama ini hingga seorang musafir dari Shan’a ke Hadhramaut tidak akan takut kecuali kepada Allah swt. atau kepada singa terhadap kambing-kambingnya, akan tetapi Kalian terlalu terburu-buru.”
Sya’bi berkata, “Sesungguhnya Khabab senantiasa sabar, dan  dia tak pernah rela memberikan pada orang-orang kafir apa yang mereka mau. Mereka membakar punggungnya dengan batu panas sampai daging punggungnya hancur. Majikannya, Ummu Anmar, sering menyiksanya dan meletakkan besi panas, dan menggosokkannya ke kepalanya tetapi dia tetap sabar, dan imannya tetap kokoh. Ketika dia disiksa, Rasulullah saw. mendoakannya, “Ya Allah, bantulah Khabab!” Setelah itu, majikan Khabab, Ummu Anmar, ditimpa penyakit. Dia melolong seperti seekor anjing. Obat satu-satunya adalah kepalanya mesti digosok dengan api. Akhirnya, Khabab mengambil besi panas lalu digosokkannya ke kepala majikannya. Mahasuci Allah yang Mahabesar. Cukuplah Allah swt. bagi kita, dan Dialah sebaik-baik pelindung. Khabab mengikuti seluruh peperangan bersama Rasulullah saw. dan dia wafat di Kufah tahun 37 H.

TOBAT SESEORANG YANG BERMIMPI MELIHAT NABI SAW.

Ada seseorang salah satu tetangga Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah terjerumus dalam kemaksiatan. Suatu hari dia datang ke tempat pengajian Imam Ahmad bin Hanbal dengan mengucapkan salam. Imam Ahmad pun menjawab salamnya dengan dingin dan tidak ada sambutan hangat, orang itu berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdullah, kenapa kamu bersikap dingin kepadaku? Sesungguhnya aku telah beralih dari apa yang dahulu kamu telah janjikan dengan sebuah mimpi yang telah aku mimpikan.”
    Imam Ahmad berkata,  “Apa yang telah kamu mimpikan?”
    Orang itu berkata, “Aku bermimpi melihat Nabi saw. di tempat yang tinggi dan orang-orang banyak sekali duduk di bawah beliau.”
    Orang itu bercerita, “Satu demi satu dari mereka bangun dan mendatangi beliau seraya berkata, ‘Doakan aku.’ Beliau pun mendoakannya sampai akhirnya tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali aku sendiri. Aku ingin bangun tapi aku malu oleh kerena jeleknya perbuatanku selama ini. Beliau berkata kepadaku,  ‘Wahai fulan, kenapa kamu tidak datang kepadaku dan memohon agar aku mendoakanmu?’”
    Aku menjawab,  “Wahai Rasulullah, rasa malu yang menahanku karena jeleknya amal perbuatanku selama ini?”
    Beliau berkata, “Jika rasa malu yang menahanmu, bangunlah dan mintalah agar aku mendoakan kamu, dan sesungguhnya kamu tidak akan mencaci maki seseorang dari para sahabatku.”
    Orang itu bercerita, “Aku pun berdiri dan beliau mendoakanku lantas aku terbangun dan langsung saja Allah telah menjadikan diriku benci kepada apa yang selama ini aku lakukan.”