Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Keridhaannya Terhadap Qadha dan Qadar Allah

Allah berfirman,

"Dan Ibrahim berkata, "Sesungguhnya saya pergi menghadap kepada Tuhan saya, dan Dia akan memberi petunjuk kepada saya. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepada saya (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh." Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Hai anakku sesungguhnya saya melihat dalam mimpi bahwa saya menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu." Dia menjawab, "Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapati saya termasuk orang-orang yang sabar". (ash-Shaffaat: 99-102)
Ketika Nabi Ibrahim pergi meninggalkan negerinya dan memohon kepada Allah agar diberi anak yang saleh, Allah mengaruniakan seorang anak yang diberi nama Isma'il dari rahim seorang wanita Mesir yang bernama Hajar. Waktu itu usia Nabi Ibrahim sudah mnecapai delapan puluh tahun.
Kemudian ketika Nabi Isma'il tumbuh besar dan mampu bekerja membantu ayahnya, Nabi Ibrahim melihat dalam sebuah mimpinya bahwa Allah menyuruhnya untuk menyembelihnya. Dan mimpi para nabi adalah wahyu yang benar yang datang dari Allah, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits yang shahih. Perintah menyembelih tersebut merupakan ujian dari Allah untuk Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim pun ridha dengan apa yang telah menjadi qadha dan qadar Allah itu. Lalu dia menemui anaknya, Nabi Isma'il, untuk dimintai keridhaannya, sebelum melaksanakan perintah Allah itu. Dia menceritakan kepada anaknya bahwa dia bermimpi diperintah oleh Allah untuk menyembelihnya. Hal itu dia lakukan agar hatinya lebih tenang, juga agar terasa lebih ringan dalam melaksakan perintah Allah tersebut, daripada jika membawa anaknya itu dengan paksa dan langsung  menyembelihnya tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Nabi Ibrahim menjelaskan mimpinya pada anaknya dengan berkata, "Wahai anakku, sesungguhnya saya melihat dalam mimpi bahwa saya menyembelihmu, bagaimana  pendapatmu tentang hal itu?" Nabi Isma'il pun langsung menyatakan keridhaannya dengan berkata, " Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati saya termasuk orang-orang yang sabar".
Demikianlah gambaran keridhaan seorang ayah dan seorang anak terhadap ketentuan dan perintah Allah. Keridhaan yang didasari atas ketenangan hati dan keimanan yang tinggi. Allah menceritakan itu semua dalam bentuk kisah yang indah yang termaktub dalam Al-Qur'an.
Allah membukakan jalan keluar bagi Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Isma'il, karena keridhaan mereka terhadap qadha-Nya. Allah mengganti Nabi Isma'il dengan seekor sembelihan yang besar dari surga. Kemudian hal itu, yaitu menyembelih kurban, menjadi salah satu sunnah yang dilaksanakan kaum muslimin hingga hari kiamat. Segala puji bagi Allah.

18. Semoga Allah Mengayakan Hatimu dan Membuatmu Benci kepada Dunia

Abul Qasim Sulaiman bin Muhammad adh-Dharrab berkata, “Beberapa temanku bercerita bahwa suatu hari seorang wanita lewat di depan Sari as-Saqthi. Wanita itu membawa sebuah bejana yang berisi sesuatu. Tiba-tiba, bejana itu jatuh dari tangannya dan langsung pecah. Sari segera pergi ke kedainya dan mengambil sesuatu, lalu menyerahkannya kepada wanita tersebut sebagai ganti dari bejana itu.
Peristiwa itu dilihat oleh Ma’ruf al-Karkhi dan dia begitu kagum dengan apa yang dilakukan oleh Sari. Ma’ruf berkata, “Semoga Allah membuatmu benci pada dunia.” Ma’ruf terus mendoakan Sari dan dia berkata lagi, “Semoga Allah mengayakan hatimu.” Akhirnya, hati Sari menjadi suka pada kehidupan zuhud saat itu juga. Berkat doa itu, Sari as-Saqthi menjadi salah seorang ahli zuhud, ahli ibadah, dan ulama di masanya.

Sudah Kami Lakukan dan Kami Masih Ada Tambahan

Ja’far bin Muhammad, sahabat Bisyr al-Hafi berkata, “Suatu kali Bisyr al-Hafi sakit lalu dia dijenguk oleh Aminah ar-Ramliyah dari kota Ramlah. Dalam waktu yang sama Ahmad bin Hanbal juga datang menjenguknya. Ahmad bertanya, ‘Siapa wanita ini?’
Bisyr menjawab, ‘Aminah ar-Ramliyah, dia mendengar berita aku sakit lalu dia datang dari Ramlah untuk menjengukku.”
Ahmad bin Hanbal berkata, “Mintalah  dia untuk mendoakan kita.”
Aminah berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Bisyr bin Harits dan Ahmad bin Hanbal memohon kepada-Mu untuk melindungi mereka dari neraka, maka lindungilah mereka dari neraka.”
Ahmad bin Hanbal menceritakan, “Kemudian aku pulang. Pada malam harinya, ada sehelai kertas yang dilemparkan ke arahku dan di sana tertulis, ‘Sudah Kami lakukan dan Kami masih ada tambahan.’” 

BERTOBAT SETELAH 40 TAHUN BERBUAT MAKSIAT KEPADA ALLAH DAN ALLAH MENGAMPUNINYA

Diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa pada zaman Nabi Musa a.s., Bani Israil mengalami masa paceklik (kemarau panjang) maka keluarlah Nabi Musa beserta beberapa orang dari Bani Israil agar dia meminta hujan untuk mereka, dan berdoalah Nabi Musa a.s. memohon kepada Allah, “Ya Allah, ya Tuhanku, curahkanlah hujan kepada kami, dan limpahkanlah rahmat-Mu pada kami, sayangilah kami bersama bayi-bayi yang masih menyusu serta binatang-binatang yang masih digembala dan orang-orang tua yang renta.”
    Allah swt. mewahyukan kepadanya, “Sesungguhnya di antara kalian ada seorang hamba yang secara terang-terangan berbuat maksiat terhadap-Ku selama 40 tahun.”
    Nabi Musa berkata di hadapan kaumnya, “Wahai hamba yang berbuat maksiat terhadap Allah secara terang-terangan selama 40 tahun, keluarlah kamu, karena oleh sebab kamu Allah mencegah turunnya hujan atas kami.”
    Maka, hamba yang berbuat maksiat itu menoleh ke kiri dan ke kanan, dia pun tidak melihat seseorang yang keluar. Dia tahu bahwa dirinyalah yang dimaksud. Dia bergumam dalam dirinya, “Apabila aku keluar di antara khalayak ini, aku akan dipermalukan di tengah-tengah Bani Israil, tapi apabila aku tetap duduk bersama mereka tidak akan mendapatkan hujan karena aku, lalu dia memasukkan kepalanya ke dalam bajunya sambil menyesali perbuatannya dan bertekad akan berbuat taat.” Dia berkata, “Tuhanku, aku telah berbuat maksiat terhadap-Mu selama 40 tahun, namun Engkau tetap memberikanku kesempatan. Kini aku telah datang dengan tekad untuk berbuat taat, maka terimalah aku.”
    Belum lagi selesai dia berbicara, tiba-tiba awan putih meninggi lalu turunlah hujan bagaikan mata air yang mengalir. Kemudian Musa berkata,  “Tuhanku dengan apa Engkau menyirami kami, sedangkan tidak ada seorang pun yang keluar di antara kami.”
    Allah menjawab, “Wahai Musa, sesungguhnya aku telah menyirami kalian dengan orang yang mencegah turunnya hujan.”
    Musa berkata, “Tuhanku, perlihatkanlah hamba-Mu yang berbuat taat ini.”
    Allah berkata, “Wahai Musa, Aku tidak mau mempermalukannya ketika dia berbuat maksiat kepada-Ku, maka akankah aku mempermalukannya saat dia berbuat taat kepada-Ku!!”
    Kisah ini begitu masyhur di antara para ulama dan para da’i karena kisah ini sangat menarik orang-orang yang berbuat dosa untuk kembali ke jalan Allah meski bertahun-tahun dia telah berbuat maksiat. Sesungguhnya pintu tobat itu selalu terbuka siang dan malam. Dari situ kita dapat pelajaran bahwa seseorang itu diharamkan mendapat rezeki karena dosa yang dia lakukan, meski Allah memberi rezeki kepada siapa pun tanpa menghitungnya.
    Allah telah menutupi orang ini saat dia bertobat sebagaimana Allah menutupinya selama dia berbuat maksiat. Itulah rahmat Allah swt. yang mencakup seluruhnya sampai pada hamba-Nya yang berbuat maksiat.

Allah Menghadiahinya Syahid di Rumahnya


Seorang shahabiyah (sahabat wanita) dari kaum Anshar bernama Ummu Waraqah binti Naufal meminta kepada Rasulullah saw. untuk ikut bersama beliau dalam berbagai peperangan mudah-mudahan dia meraih syahadah. Dia berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, seandainya engkau izinkan aku untuk ikut berperang bersamamu, aku akan merawat tentara yang sakit dan mengobati yang terluka, semoga Allah mengaruniakan kepadaku kesyahidan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Ummu Waraqah, duduk saja di rumahmu, sesungguhnya Allah akan mengaruniakan kepadamu syahadah di rumahmu.”
Rasulullah saw. sering mengunjunginya. Dia kerap kali membaca Al-Qur’an, lalu dia memohon izin kepada Nabi untuk mengajak seorang muazin ke rumahnya dan Nabi mengizinkannya.
Di masa khalifah Umar ibnul Khaththab r.a. terbuktilah sabda Rasulullah saw. tentang Ummu Waraqah. Dua orang budak yang dijanjikan akan merdeka setelah kematiannya membunuh Ummu Waraqah di rumahnya dengan cara menggantungnya. Pada pagi harinya, Umar ibnul Khaththab tidak mendengar suara Ummu Waraqah membaca Al-Qur’an. Umar berkata, “Demi Allah, aku tidak mendengar bacaan bibiku Ummu Waraqah semalam.”
Dia lalu masuk ke dalam rumah dan tidak menemukan apa-apa. Ternyata, dia digantung dengan seutas tali di samping rumah. Umar berkata, “Mahabenar Allah dan Rasul-Nya.”
Kemudian Umar naik mimbar dan menyampaikan berita itu, lalu dia berkata, “Tangkap kedua orang budak itu!”
Akhirnya, kedua orang budak itu berhasil ditangkap dan keduanya mengaku telah membunuh Ummu Waraqah. Umar memerintahkan untuk menyalib keduanya, sehingga kedua orang ini menjadi orang pertama yang disalib di Madinah. 
Kisah ini adalah salah satu bukti kenabian Nabi Muhammad saw. dan juga pelajaran bagaimana seorang khalifah dan pemimpin kaum Muslimin memperhatikan rakyatnya secara langsung, menanyakan kondisi mereka, dan mencintai mereka sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw..

Apa yang di Sisi Allah Itu Lebih Baik Bagimu

Hisyam bin Hassan menceritakan, “Hazil putra Hafshah binti Sirin bekerja mengumpulkan kayu bakar di musim panas. Kayu itu kemudian dikulitinya lalu dia ambil ampasnya dan dia membelahnya. Hafshah berkata, ‘Aku sering merasa kedinginan ketika melakukan qiyamullail di musim dingin. Jika datang musim dingin, putraku Hazil datang membawa perapian dan diletakkannya di belakangku. Dia meletakkan api itu di belakangku agar aku bisa memanaskan badan. Dia tetap berada di dekatku sampai penghujung malam.’
Hafshah melanjutkan, ‘Ketika putraku wafat, Allah mengaruniakan kesabaran kepadaku untuk berpisah dengannya, tetapi aku tetap merasakan kepedihan dan kehilangan berpisah dengannya, sesuatu yang sulit untuk terobati.’
Suatu malam, ketika aku sedang shalat di tempat ibadahku dan aku membaca surah an-Nahl, aku sampai pada ayat berikut.
KHAT
‘...sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.’ (an-Nahl: 95—96)

Aku terus ulang-ulang ayat tersebut, dan akhirnya Allah menghilangkan perasaan sedih yang menghimpit batinku.” 
Hafshah binti Sirin sering menyalakan pelita di malam hari untuk melaksanakan qiyamullail di mushalla pribadinya. Kerap kali terjadi lampu pelitanya padam, tetapi rumahnya tetap bercahaya sampai pagi. Apabila dia sudah masuk ke ruang tempat shalatnya, dia tidak akan keluar kecuali karena suatu kebutuhan yang sangat mendesak.

Jangan Makan kecuali yang Halal

Abu Abdirrahman as-Salmi menceritakan, “Mu’adzah al-‘Adawiyah rahimahallah adalah seorang ahli ibadah. Dia yang menyusui Ummul Aswad binti Zaid al-‘Adawiyah. Ummul Aswad menceritakan, ‘Mu’adzah al-‘Adawiyah berkata kepadaku, ‘Jangan rusak susuku dengan makanan haram karena aku sudah bersusah payah menyusuimu dan aku tidak memakan kecuali yang halal, maka berusahalah untuk tidak memakan, kecuali yang halal. Semoga kamu diberi taufik untuk menghambakan diri kepada Tuhanmu dan ridha dengan ketentuan-Nya.’’”
Ummul Aswad berkata, “Tidaklah aku memakan sesuatu yang syubhat melainkan aku akan kehilangan satu ibadah fardhu atau satu wirid zikir harian.”  Maksudnya, jika dia memakan makanan yang mengandung syubhat (yang berbau haram), maka dia akan kehilangan satu ibadah fardhu atau zikir kepada Allah. Hal itu telah dia jadikan sebagai wirid harian sebagai suatu ganjaran dari Allah.

DAHULU AKU DIJAUHI ALLAH DAN SEKARANG AKU TELAH DISELAMATKAN

Basyar ibnul Harits al-Hafi berkata, “Aku pernah mencegat ‘Ukbar al-Kurdi—salah seorang ahli ibadah—dan aku tanyakan kepadanya, ‘Bagaimana awal dahulu kamu kembali ke jalan Allah swt.?’”
    Dia menjawabnya, “Dahulu aku sering menyamun di beberapa jalan, di jalan itu ada tiga pohon kurma, satu di antaranya tidak berbuah. Ternyata ada seekor burung yang sering mengambil buah dari pohon yang berbuah dan membawanya ke pohon yang tidak berbuah. Aku pun terus memperhatikannya puluhan kali sampai akhirnya terbetik dalam hatiku, pergi dan perhatikan sana.” Aku melihatnya lebih dekat dan ternyata di ujung pohon kurma yang tidak berbuah itu ada seekor ular yang buta dan burung itu meletakkan kurma-kurma tadi ke dalam mulut sang ular.
    Aku langsung menangis seraya berkata, “Wahai Tuhanku, seekor ular ini telah Engkau perintahkan Nabi-Mu untuk membunuhnya dan telah Engkau jadikan dia buta tapi Engkau jadikan burung itu untuk mengurusnya. Sementara aku ini adalah hamba-Mu, aku telah menyatakan bahwa Engkau adalah Tuhan Yang Esa, Engkau jadikan aku sebagai seorang penyamun dan sering menimbulkan keresahan di jalan.”
    Tiba-tiba masuk dalam hatiku kata-kata, ”Wahai ‘Ukbar, pintu-Ku selalu terbuka.”
    Langsung saja aku mematahkan pedangku kemudian aku letakkan tanah di atas kepalaku. Aku berteriak, “Ampunan, ampunan.” Tiba-tiba ada suara yang menjawab dengan mengatakan, “Kami telah mengampuni kamu, kami telah mengampuni kamu.”
    Para sahabatku tercengang seraya mereka bertanya, “Ada apa denganmu? Kamu telah mengganggu kami.”
    Aku menjawab, “Dahulu aku dijauhi dan sekarang aku telah diselamatkan.”
    Mereka berkata, “Kami juga dahulu dijauhi dan sekarang kami telah diselamatkan.”
    Lantas kami membuang pakaian kami dan langsung kami semua berihram. Kami terus dalam keadaan seperti itu selama tiga hari. Kami berteriak dan menangis sampai kami linglung. Pada hari ketiga kami sampai ke sebuah kampung dan di sana ada seorang wanita yang kedua matanya buta sedang duduk di gerbang masuk kampung itu seraya dia berkata, “Adakah dari kalian yang bernama ‘Ukbar al-Kurdi?”
    Salah seorang dari kami menjawab, “Ya, apakah kamu ada perlu dengannya?”
    Wanita itu berkata, “Ya, selama tiga malam aku bermimpi bertemu Nabi saw. dalam tidurku dan beliau berkata, ‘Berikah ‘Ukbar al-Kurdi apa yang ditinggalkan oleh anakmu.’”
    Wanita itu memberi kami enam puluh bahan kain panjang yang sebagiannya kami jadikan kain dan kami teruskan perjalanan kami memasuki perkampungan sehingga akhirnya kami sampai ke Baitul Haram di Makkah al-Mukarramah.
Penulis berpendapat bahwa inilah dia tobat yang telah dilakukan oleh mereka yang bertobat kepada Allah, yang membuat hubungan antara mereka dengan Tuhan mereka semakin kuat. Pintu hubungan ini tidak pernah tertutup dan Allah ad-Dayyan tidak akan mati. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat kepada yang telah diutus sebagai rahmat bagi semesta alam.

TOBAT SEORANG PENGGALI KUBUR

    Abu Ishaq al-Ghazari berkata, “Ada seseorang yang sering duduk bersama kami yang sebagian mukanya tertutup. Aku bertanya kepadanya, ‘Kamu sering duduk bersama kami dan sebelah muka kamu tertutup, bisakah kamu memperlihatkan ini kepadaku?’”
    Orang itu berkata,  “Apakah kamu bisa memberi aku rasa aman?”
    Aku berkata,  “Ya.”
    Dia bercerita,  “Dahulu aku adalah seorang penggali kubur, dan aku pernah memakamkan seorang wanita, maka aku pun mendatangi kuburnya, dan aku menggali hingga mencapai tanah kemudian aku angkat tanah itu. Lantas tanganku memegang kain kafan dan kutarik lipatan kafan itu. Aku bentangkan tangan mayit wanita itu seraya berkata,  ‘Apakah kamu mau melawanku?’
    Kemudian aku membungkukkan lutut dan mengulurkan tanganku. Aku angkat tangannya namun tiba-tiba dia mencakarku. Orang itu segera membuka penutup mukanya dan terlihat bekas cakaran lima jari di mukanya.
Aku bertanya kepadanya,  “Kemudian apa lagi?”
    Dia bercerita, “Kemudian aku tutup lagi dengan kain kafannya rapat-ratap, lantas aku timbun lagi dia dengan tanah. Aku bertekad pada diriku bahwa aku tidak ingin lagi menggali kubur selama aku hidup.”

Kisah Keridhaan Mu

Ibnul Jauzi menyebutkan dalam Shifatush Shafwah dari Tsabit al-Bunnani, dia berkata, “Pada suatu ketika Shilah bin Usyaim berada di Sebuah Peperangan bersama dengan anaknya.
Lalu dia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, majulah dan berperanglah hingga saya mengikhlaskanmu”.
Maka anaknya pun segera maju ke medan perang hingga terbunuh.
Kemudian sang ayah pun maju dan berperang, kemudian terbunuh juga.
Esok harinya para wanita berdatangan di rumah ibunya, Mu’adzah binti Adawiyyah. Lalu dia berkata kepada para wanita tersebut, “Selamat datang. Jika kalian datang untuk mengucapkan selamat kepada saya, maka saya menyambut kalian dengan hati gembira. Akan tetapi jika kalian datang untuk berbela sungkawa, maka kembalilah ke rumah kalian”.
Saya ( penulis ) katakan, “Mu’adzah bintu Adawiyah, seorang wanita ahli ibadah tersebut ridha dengan qadha dan qadar Allah ketika anak dan suaminya meninggal dunia. Dia ingin mendapatkan pahala yang besar dari Allah dengan bersabar terhadap cobaan yang menimpanya dan ridha dengan qadha Allah.
Segala puji dan kenikmatan adalah milik Allah semata”.

Cinta Fitnah, Membenci yang Hak, dan Shalat Tanpa Wudhu


Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab bertemu dengan sahabat Hudzaifah bin Yaman. Umar bertanya kepadanya, “Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai Hudzaifah?”
Hudzaifah menjawab, “Kabarku pagi ini, aku cinta pada fitnah, benci pada yang hak, shalat tanpa wudhu, dan aku memiliki sesuatu di bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit.”
Umar ibnul Khaththab r.a. sangat marah mendengar perkataan Hudzaifah tersebut. Tak berapa lama setelah itu datanglah Ali bin Abi Thalib r.a. menemui Umar. Dia berkata, “Di wajahmu tampak amarah.” Umar lalu menceritakan pada Ali tentang perkataan Hudzaifah. Ali berkata, “Dia benar wahai Umar. Dia mencintai fitnah, yang dia maksudkan adalah harta dan anak-anak karena Allah swt. berfirman,

KHAT

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)....” (at-Taghaabun: 15)

Ia membenci yang hak maksudnya adalah kematian, dan dia shalat tanpa wudhu maksudnya dia shalat (bershalawat) kepada Rasulullah saw. tanpa wudhu di setiap waktu dan dia memiliki sesuatu di bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit, maksudnya dia mempunyai istri dan anak sementara Allah tidak.”

Akhirnya, Umar berkata, “Engkau benar wahai Abul Hasan (gelar Ali), kamu telah menghilangkan kemarahanku terhadap Huzaifah.”

Seorang Wanita yang Ridha kepada Qada Allah dan Allah Mengabulkan Do'anya

Penulis kitab al-Farj Ba'dasy Syiddah menyebutkan sebuah riwayat dari Ahmad bin Ja'far al-Barqi. Dia berkata, "Saya pernah menyaksikan seorang wanita yang tabah di sebuah pedalaman. Waktu itu, udara di sana sangat dingin, dan itu menyebabkan rusaknya tanaman yang terdapat di ladang wanita tersebut. Karena musibah itu, banyak orang yang datang untuk menghiburnya. Adapun wanita itu sendiri, dia mengangkat tangannya ke langit bedo'a kepada Allah, "Ya Allah, Engkaulah satu-satunya pengharapan untuk datangnya sebuah ganti yang lebih baik. Karena hanya Engkaulah yang mampu mengganti sesuatu yang telah musnah. Maka karuniakanlah kepada kami kebaikan yang merupakan milik-Mu. Sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa atas rizki kami, dan kepada-Mu lah kami menggantungkan harapan".
Demikianlah, wanita itu tiada hentinya berdo'a, sampai akhirnya datang kepadanya seorang hartawan daerah tersebut. Kemudian diceritakan kepada sang hartawan tentang apa yang telah menimpa wanita itu. Setelah mengetahui ceritanya, sang hartawan tersebut memberikan kepada wanita itu lima ratus dinar.

Al-Hasan al-Bannan Dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Di masa pemerintahan penguasa Mesir; Ahmad bin Thulun, datanglah Syekh al-Hasan al-Bannan menasehatinya dan menyuruhnya berbuat yang ma'ruf serta melarangnya dari perbuatan yang mungkar. Hal itu karena Ahmad bin Thulun telah menampakkan kezalimannya dan suka membunuh masyarakat. Bahkan ada yang menghitung jumlah masyarakat tak berdosa yang dibunuhnya sampai berjumlah delapan belas ribu orang.

Penguasa yang zalim ini sangat murka mendengar nasehat yang disampaikan Syekh yang alim dan ahli ibadah ini, yang tidak takut pada kekuasaan penguasa yang zalim. Menyampaikan yang hak di depan penguasa yang zalim adalah suatu bentuk taqarrub kepada Allah yang sangat agung. Penguasa Mesir ini sangat marah dan kemudian memerintahkan para pembantunya untuk memenjarakan Syekh lalu memasukkan seekor singa ke dalam penjaranya untuk menerkam Syekh tersebut.

Berita ini tersebar ke seluruh pelosok dan manusia datang berbondong-bondong dari berbagai daerah untuk menyaksikan akhir kehidupan Syekh yang ahli ibadah ini di tangan seorang penguasa yang zalim.

Syekh Abu Ja'far ad-Dinawari menceritakan: "Aku termasuk yang hadir di hari itu. Kemudian digiringlah seekor singa dari istana Khamaruyah; putra Ahmad bin Thulun. Putranya ini sangat gemar berburu. Setiap kali ia mendengar ada singa buas di sebuah hutan atau lembah ia akan segera ke sana bersama para pembantunya sambil mengenakan Labud (pakaian yang melindungi tubuh dari cakaran singa) kemudian mereka akan berhadapan dengan singa itu dan menangkapnya dari hutan dengan tangan kosong secara paksa dalam keadaan normal (tanpa cedera). Lalu mereka jebloskan singa itu ke dalam kerangkeng kayu seukuran singa dalam keadaan berdiri.

Singa yang mereka pilih untuk menerkam Syekh adalah singa yang paling buas. Tubuhnya kekar, taringnya tajam, ototnya berisi dan kelihatan sangat ganas. Mulutnya sangat besar dan lebar, seakan mulut itu adalah lubang kubur dan rongganya adalah kuburan bagi setiap mangsanya.

Mereka menempatkan Syekh di sebuah ruang. Orang-orang menunggu untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Tak berapa lama kemudian mereka buka kerangkeng singa itu dari arah atas. Tutup kerangkeng itu ditarik dan sang singa segera meloncat. Mereka mendorong singa itu untuk maju dan memangsa Syekh. Sang singa meraung sekeras-kerasnya yang memekakkan telinga dan menggetarkan dada. Setiap orang yang mendengar raungannya merasa seolah-olah raungan itu bagaikan petir yang diikuti oleh suara guntur.                         

Sementara itu, Syekh duduk dengan tenang tak bergeming. Ia tidak menoleh kepada singa tersebut sama sekali dan tidak pula merasa gentar. Padahal semua orang yang memandang singa itu merasa takut dan ngeri sekaligus kasihan terhadap Syekh.

Tapi aneh sekali, ketika singa itu dimasukkan ke dalam ruangan dimana Syekh berada, ia hanya duduk dengan tenang sambil menyelonjorkan kedua lengannya. Tak berapa lama setelah itu singa tersebut bangkit dan melangkah dengan tenang menuju Syekh dengan langkah tegap yang tampak dari derap kakinya yang berat. Lalu ia mendekati Syekh kemudian menyentuhkan badannya ke tubuh Syekh dan menciumnya persis seperti yang dilakukan oleh seekor anjing yang bermain dan bermanja bersama majikannya. Seolah sang singa ingin mengumumkan bahwa ini bukanlah pertarungan antara seorang laki-laki bertakwa dan seekor singa melainkan pertarungan antara kehendak Ibnu Thalun dan kehendak Allah. Sang singa melihat di depannya seorang laki-laki yang takut kepada Allah maka iapun takut pada laki-laki itu.

Ad-Dinawari melanjutkan: "Setelah menyaksikan singa itu kami melihat wajah Syekh. Ternyata ia tengah tenggelam dalam berpikir. Setelah itu mereka mengeluarkan sang singa dari ruangan tersebut. Masing-masing kami mempunyai anggapan yang bermacam-macam tentang apa yang dipikirkan oleh Syekh. Ada yang mengatakan bahwa rasa takut telah membuat Syekh melupakan dirinya. Ada yang mengatakan bahwa ia sibuk memikirkan tentang kematian. Ada lagi yang mengatakan bahwa ketenangan berpikir membuat tubuh tidak bergerak dan tidak berguncang. Bahkan ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa itu adalah satu kondisi 'tenggelam jiwa' yang mampu menyihir sang singa. Banyak lagi yang kami duga dan kami reka-reka sampai akhirnya Ibnu Thulun sendiri yang bertanya: "Apa yang berkecamuk dalam pikiranmu dan yang engkau pikirkan tadi?"

Syekh menjawab: "Tidak ada apa-apa, aku hanya berpikir tentang ludah singa apakah suci atau najis?" 

Sungguh hebat. Dalam sebuah hadits disebutkan, sesungguhnya orang yang takut kepada Allah maka segala sesuatu akan takut kepadanya, tapi siapa yang tidak takut kepada Allah maka Allah akan jadikan ia takut pada apa saja. Siapa yang hatinya terpaut dengan Allah niscaya tak akan ada rasa resah ataupun takut pada apa saja dalam dirinya.

Apakah Kita Selalu Dipantau

Abu ‘Anbas menceritakan, “Suatu kali aku berdiri bersama Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah di Masjid Baitul Maqdis. Tiba-tiba, datanglah seorang pemuda. Dia memberi salam kepada Khalid dan Khalid menyambutnya dengan gembira. Pemuda itu bertanya kepada Khalid, ‘Apakah kita selalu dikontrol?’
Sebelum Khalid berkata apa-apa, aku langsung saja menjawab, ‘Ya, kamu selalu dipantau oleh Allah dengan pandangan yang tajam.’
Mata anak muda berkaca-kaca lalu dia menarik tangannya dari tangan Khalid dan segera berpaling. Aku bertanya kepada Khalid, ‘Siapa anak muda itu?’
‘Tidakkah Kamu mengenalnya? Dia adalah Umar bin Abdul Aziz, putra saudara Amirul Mukminin. Seandainya umurmu panjang dan umurnya panjang kamu akan melihatnya menjadi imamul huda (pemimpin yang memberi petunjuk).’” 

Wanita Lemah yang Rindu pada Rumah Tuhannya

Dzun Nun al-Mishri rahimahullah berkata, “Ummu Da`ab adalah salah seorang wanita salehah dan ahli ibadah ternama, bahkan sampai dia berusia sembilan puluh tahun. Setiap tahun dia melaksanakan ibadah haji dari Madinah ke Mekah dengan berjalan kaki. Suatu ketika matanya buta. Tatkala datang musim haji, banyak wanita yang menjenguknya dan merasa iba melihat kondisinya yang tidak lagi bisa melihat. Dia menangis dan mengangkat kepalanya ke langit dan berdoa, ‘Wahai Tuhanku, demi kemuliaan-Mu, meskipun aku kehilangan cahaya mataku di hadapan-Mu, tetapi jangan sampai aku kehilangan cahaya kerinduanku kepada-Mu.’
Kemudian dia melakukan ihram dan mengumandangkan, ‘Labbaik allahumma labbaik....’
Lalu  dia berjalan bersama teman-temannya, ternyata dia lebih dahulu dari mereka. Dzun Nun berkata, ‘Aku merasa heran melihat kondisinya. Tiba-tiba aku mendengar sebuah seruan, ‘Wahai Dzun Nun, apakah kamu merasa heran melihat seorang wanita lemah yang rindu pada rumah Tuhannya kemudian Tuhannya membawanya dengan kemahalembutan-Nya dan menguatkannya?’”

Keridhaan Ibrahim bin Adham terhadap Qadha Allah

Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata, “Pada suatu hari saya merasakan sebuah ketenangan, sehingga hatiku merasa bahagia terhadap anugerah Allah terhadap saya. Maka saya pun berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah memberikan sesuatu kepada salah seorang pencinta-Mu yang membuat hatinya tenang sebelum berjumpa dengan-Mu. Maka berikanlah hal itu juga kepada saya, karena perasaan gelisah telah menggangguku”.
    Ibrahim bin Adham berkata, “Lalu saya bermimpi melihat Allah ta’ala. Lalu Dia memberdirikan saya di hadapan-Nya dan bertanya kepada saya, “Wahai Ibrahim, apakah engkau tidak malu kepada-Ku? Kau meminta-Ku sesuatu yang membuat hatimu tenang sebelum bertemu dengan-Ku. Apakah hati orang yang rindu bisa terobati dengan selain yang dirindukannya? Apakah orang yang mencintai menjadi tenang dengan selain yang dirindukannya?”
Maka saya katakan kepada-Nya, “Wahai Tuhanku, saya tersesat dalam cinta-Mu, maka saya tidak tahu apa yang saya katakan”.

Kenapa Kamu Tidak Tertawa?

Abu Ubaid al-‘Asqalani menceritakan, “Aku tidak pernah melihat Abu Ubaidah as-Sahili (yang dia maksudkan Abu Ubaidah al-Khawwas) tertawa selama empat puluh tahun.
Ada yang bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tidak pernah tertawa?”
Dia menjawab, “Bagaimana aku tertawa sementara masih ada orang muslim yang tertawan di tangan kaum musyrikin?”
Dia pernah mengirim surat kepada teman-temannya untuk menasihati mereka, isinya, “Sesungguhnya kalian berada di masa yang sudah lemah wara’nya dan jarang ditemui kekhusyuan, ilmu banyak berada pada orang-orang yang suka berbuat kerusakan dan mereka ingin dikenal sebagai orang yang berilmu serta tidak ingin diketahui sebagai orang yang menyia-nyiakan amal. Mereka berkata dengan hawa nafsu untuk menghiasi bahaya yang mereka timbulkan. Dosa mereka adalah dosa yang sulit terampuni dan kelalaian mereka sulit dimaafkan. Mereka mencintai dunia, tetapi mereka tidak senang dengan posisi yang diperoleh ahli dunia. Mereka mengikuti ahli dunia dalam berbagai gaya hidup dan mereka berbasa-basi dengan perkataan yang manis.”

Orang Zuhud, Sabar, dan Berharap

Ibnu Samak—salah seorang ahli ibadah dan zuhud—datang menemui Muhammad bin Sulaiman, gubernur Bashrah. Sang gubernur berkata, “Berilah aku nasihat!”
Ibnu Samak berkata, “Nasihat yang bagaimana? Semoga Allah memperbaiki dirimu. Sesungguhnya manusia itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu orang yang zuhud, sabar, dan berharap. Adapun orang zuhud, segala bentuk kegembiraan dan kesedihan telah keluar dari hatinya. Dia tak akan putus asa dengan masa lalu dan tidak akan gembira dengan pemberian manusia. Jiwanya sudah kaya. Sementara orang yang sabar, hatinya menginginkan hal itu (kesenangan dunia). Tetapi ketika disebutkan aib dan keburukan dunia, dia akan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Andaikan kau tahu apa isi hatinya, niscaya kau akan melihat sesuatu yang sangat agung sekali. Adapun orang yang berharap, dia tidak peduli dari mana datangnya dunia itu, apakah akan merusak agamanya atau harga dirinya. Sekarang dari kelompok manakah engkau?”
Sang gubernur berkata, “Dari kelompok orang-orang yang berharap!”
Ibnu Samak berkata, “Celakalah dirimu dan para pembantumu.” Kemudian  dia pergi meninggalkan sang gubernur.

TOBAT SEORANG KAKEK TUA DI TANGAN RASULULLAH SAW.

Tobat itu tidak mengenal umur dan tidak pula waktu tertentu. Allah swt. selalu menerima tobat para hamba-Nya dan memaafkan segala kesalahan mereka, kapan pun Anda mengatakan, “Wahai Tuhanku.” Allah pasti menjawab, “Aku datang memenuhi panggilanmu, wahai hamba-Ku.”
    Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Makhul berkata, “Datang seorang kakek tua yang sudah uzur. Kedua alis matanya telah turun ke kedua matanya. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang pengkhianat dan jahat, tidak pernah membiarkan hajat dan tidak pula keinginan kecuali dia menyambarnya dengan kanannya. Jika kesalahannya dibagi-bagikan kepada penduduk bumi ini, maka itu bisa menghancurkan mereka. Masih adakah jalan baginya untuk bertobat?’
    Rasulullah saw. berkata, ‘Apakah kamu telah masuk Islam?’
    Dia menjawab, ‘Adapun aku, sesungguhnya aku telah bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.’
    Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah Maha Pengampun pengkhianatanmu, kejahatanmu, dan akan mengganti kejelekanmu dengan kebaikan jika mau melakukan itu.’
    Orang itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, semua pengkhianatan dan kejahatanku?’
    Beliau kemudian berkata, ‘Semua pengkhianatan dan kejahatanmu.’
    Orang itu pun berpaling sambil dia bertakbir dan bertahlil dengan mengatakan Allahu Akbar dan Lailaha Illallah.”30

Keridhaan Utsman bin Affan Ketika Menghadapi Ujian

Utsman bin Affan, Khalifah ketiga Khulafa`ur Rasyidin, dalam akhir masa kekhilafahannya dihadapkan dengan fitnah dan ujian yang besar, yang pada akhirnya menyebabkannya terbunuh.
Utsman sebenarnya telah mengetahui tentang ujian yang akan dihadapinya itu. Dia mengetahuinya dari Rasulullah saw. ketika beliau masih hidup. Rasulullah saw. telah mengabarkan kepadanya bahwa dia akan masuk surga karena kesabarannya mengahadapi ujian tersebut dan keridhaannya terhadap qadha dan qadar Allah. Rasulullah saw. bersabda padanya, "Wahai Utsman, sesungguhnya kelak Allah akan memakaikan sebuah baju untukmu. Lalu apabila orang-orang menginginkan engkau melepaskannya, maka jangan kamu turuti mereka".  Baju yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah kekhilafahan. Orang-orang yang menentangnya, menginginkan agar dia melepaskan baju kekhilafahannya tersebut. Akan tetapi dia menolaknya  karena mentaati perintah Rasulullah saw. tersebut. Di sisi lain, dia juga tidak mau memerangi orang-orang yang menentangnya itu, meskipun sebenarnya dia mampu untuk memerangi mereka, sebagaimana layaknya para penguasa, jika ada salah seorang rakyatnya yang membelot, maka akan diperanginya seberat apapun hal itu.
Utsman melarang membunuh siapapun dari kaum muslimin hanya karena menentangnya. Dan para sahabat yang lain, sebenarnya juga mampu untuk mengusir para penyebar fitnah tersebut, jika hal itu memang diperintahkan kepada mereka. Akan tetapi Utsman lebih memilih bersabar dalam mengahadapi semuaitu. Dan dia senantiasa ridha dengan qadha dan qadar Allah.
Abu Musa al-Asy'ari berkata, "Pada saat saya bersama Rasulullah saw. di sebuah kebun di Madinah, datang seseorang minta dibukakan pintu pagar kebun untuk masuk. Lalu Rasulullah saw. berkata, "Bukakanlah pintunya, dan beritahu dia bahwa kelak dia akan masuk surga". Maka saya buka pintu kebun tersebut, dan ternyata Abu Bakar yang berada di balik pintu. Lalu saya sampaikan kabar gembira dari Rasulullah saw. tersebut kepadanya. Maka dia langsung bersukur dan memuji Allah. Kemudian setelah itu, datang lagi seseorang yang mengetuk pintu kebun. Maka Rasulullah saw. memerintahkan untuk membukakannya dengan bersabda, "Bukakanlah pintu untuknya, dan sampaikan padanya bahwa kelak dia akan masuk surga”. Lalu saya buka pintu kebun tersebut, dan ternyata Umarlah yang datang. Lalu saya sampaikan padanya kabar gembira dari Rasulullah saw. tersebut, maka dia langsung mengucapkan tahmid. Kemudian datang lagi seseorang mengetuk pintu kebun minta dibukakan. Maka Rasulullah saw. sekali lagi bersabda, "Bukakanlah pintu untuknya. Dan beritahu padanya, dia kelak akan masuk surga, meskipun harus dengan melewati ujian berat”. Dan ketika pintu saya buka, ternyata Utsman yang datang, dan saya sampaikan padanya apa yang dikatakan Rasulullah saw. tersebut. Maka seketika itu pula dia langsung bertahmid, lalu berkata, "Dialah Allah, tempat meminta pertolongan dan kepada-Nyalah segala urusan diserahkan".
Dalam riwayat lain dikatakan, “Maka Utsman memasuki kebun seraya bertahmid dan berkata, "Ya Allah berilah saya kesabaran".
Demikianlah keridhaan Utsman terhadap ketetapan Allah. Dan ketika musibah serta cobaan datang menghampirinya, dia senantiasa bersabar. Ketika para sahabat menginginkan agar dia memerangi para pembangkang yang menzaliminya itu, dia menolaknya dan berkata pada mereka, "Jangan diperangi, sesungguhnya Rasulullah saw. telah berpesan pada saya agar saya bersabar menghadapi mereka. Oleh karena itu saya akan bersabar terhadap apa yang mereka lakukan terhadap saya”.

Abu Utsman Sa

Muhammad bin Nu’aim berkata, “Saya mendengar ibuku berkata, “Saya mendengar Maryam, isteri Utsman berkata, “Pada suatu hari, secara kebetulan saya mendapati kesempatan bicara kepada Abu Utsman. Maka saya gunakan untuk bertanya kepadanya, “Wahai Abu Utsman, amal apakah yang telah engkau lakukan yang paling engkau harapkan pahalanya?”
Dia menjawab, “Wahai Maryam, ketika saya tumbuh dewasa dan di saat kepemudaanku tumbuh sempurna, keluargaku memintaku untuk menikah, namun saya menolak. Lalu seorang wanita mendatangiku dan berkata, “Wahai Abu Utsman, saya sangat mencintaimu. Cintaku kepadamu membuatku tidak bisa tidur dan selalu gelisah. Aku memohon kepadamu dengan sepenuh hati, agar engkau sudi menikahiku”.
Maka saya katakan kepadanya, “Apakah ayahmu masih hidup?”
Dia menjawab, “Ya. Dia adalah tukang jahit yang tinggal di tempat ini”.
Lalu saya mengutus seseorang untuk menemui ayahnya dan menikahkan anaknya dengan saya. Maka ayahnya merasa sangat bahagia. Kemudian saya menghadirkan beberapa saksi, dan saya pun menikahinya.
Ketika saya memasuki kamar pengantin, saya melihat matanya buta sebelah, kakinya pincang dan rupanya buruk. Maka saya berucap, “Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas apa yang Engkau tetapkan untukku”.
Melihat hal itu, keluargaku pun mencibirku. Namun saya semakin melayani isteriku dengan baik dan memuliakannya, sehingga dia tidak membiarkan saya keluar dari rumah. Maka saya tidak dapat menghadiri berbagai pertemuan yang diadakan, karena lebih mendahulukan keridhaan isteri saya dan untuk menjaga perasaan hatinya.
Saya hidup bersamanya selama lima belas tahun. Terkadang, saya merasa bagaikan berada di atas bara api, akan tetapi saya tidak menampakkan hal itu hingga dia meninggal dunia.
Maka tidak ada amal saya yang lebih saya harapkan pahalanya dari apa yang saya lakukan untuk menjaga perasaan hatinya terhadap saya”.

108. Seorang Ahli Ibadah di Tepi Pantai

Said bin Tsa’labah al-Warraq menceritakan, “Suatu malam aku bersama seorang ahli ibadah berada di sebuah pantai di daerah Sayraf. Laki-laki itu tiba-tiba menangis. Dia terus menangis sampai terbitnya fajar dan dia tidak berbicara sepatah kata pun. Tiba-tiba dia berkata, ‘Dosaku besar dan kemaafan-Mu banyak, maka kumpulkanlah antara dosaku dan kemaafan-Mu wahai Yang Maha Pemurah.’ Akhirnya, semua orang yang ada di dekatnya ikut menangis.
Boleh jadi ahli ibadah ini merasakan bahwa menangis lebih baik daripada berbicara, sehingga dia memilih untuk mengungkapkan tobat dan kembalinya kepada Allah dengan tangisan dan Allah menerima tobatnya, sehingga tangisannya menyentuh hati semua manusia di sekitarnya. Mereka dapat merasakan gemanya di dalam diri mereka, maka terjadilah sebuah keserasian yang menakjubkan dan itu lebih ampuh daripada bicara.

Kesabaran dan Keridhaan Nabi Isma'il Terhadap Ketetapan Allah

Diriwayatkan oleh Ibn Abid Dunya dalam kitab ar-Ridha, bahwasannya ketika Nabi Ibrahim merebahkan Nabi Isma'il untuk menyembalihnya, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam mimipinya, Isma'il, anaknya yang taat kepada perintah Allah dan ridha terhadap qadha-Nya itu berkata, "Wahai ayah, kencangkanlah ikatanku. Saya khawatir tatkala engkau akan menyembelih saya, engkau melihat saya dan engkau tidak tega melakukannya. Sehingga engkau melanggar perintah Allah itu. Saya juga khawatir, tatkala engkau akan menyembelih saya, saya melihat wajahmu, karenanya saya menghalangimu untuk menjalankan perintah Allah tersebut".
Kemudian Nabi Ibrahim membalik tubuh anaknya agar tidak melihat wajahnya. Hal itu sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah dalam Al-Qur'an melalui firman-Nya yang berbunyi,

"Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis( nya ), ( nyatalah kesabaran keduanya )”. ( ash-Shaffaat: 103 )
Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan berkata, "Maksudnya adalah dia merebahkan anaknya dengan menutup mukanya. Kemudian setelah Ibrahim membaca basmalah, lalu bertakbir, dan anaknya telah bersyahadat untuk menghadapi kematiannya, Ibrahim mulai menggoreskan pisau ke lehernya. Akan tetapi pisau tersebut tidak mampu menggores lehernya. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena Allah telah meletakkan sebuah lempengan tembaga antara pisau dan leher anaknya itu. Wallahu a'lam.            

Hati yang Sempit Artinya Dunia yang Sempit

Ibrahim al-Khawash datang menemui saudarinya, Maimunah. Dia adalah saudari seibunya. Ibrahim berkata kepada saudarinya, “Hari ini aku merasakan dadaku sempit.”
Saudarinya berkata, “Siapa yang hatinya sempit, maka dunia akan terasa sempit baginya dengan segala isinya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah swt. telah berfirman, ‘Hingga apabila bumi itu terasa sempit bagi  mereka dengan segala isinya dan sempit pula jiwa mereka....’”
Saudarinya melanjutkan, “Sesungguhnya bumi ini masih lapang bagi mereka, tetapi ketika jiwa mereka sempit, maka sempit pula terasa bumi bagi mereka.” 
Wanita ini telah menjelaskan penyakit dan obatnya dalam saat yang sama. Sempitnya dunia bagi manusia berawal dari sempitnya dada dan jiwa mereka, dan tiada jalan keluar dari itu semua, kecuali dengan berzikir kepada Allah dan kembali kepada-Nya, karena Dialah yang menghilangkan seluruh perasaan resah dan gelisah. “Ketahuilah dengan mengingat Allah hati akan menjadi tentram.”