TOBAT SEORANG ARAB BADUI PADA HARI ARAFAH

Yahya bin Kamil al-Qurasyi berkata, “Sufyan ats-Tsauri menceritakan kepadaku dan dia berkata, ‘Aku mendengar seorang Arab badui sedang wukuf di Arafah. Dia berkata, ‘Ya Allah ya Tuhanku, tidak ada orang yang paling pantas untuk tergelincir dan lalai dari aku karena Engkau telah ciptakan aku dalam keadaan lemah. Tidak ada yang lebih memaafkan dari Engkau karena Engkau Mahatahu tentang diriku dan apa yang aku lakukan.’
    Aku taat kepada Engkau dengan izin-Mu dan karunia itu milik-Mu untuk-ku. Jika aku bermaksiat kepada-Mu, itu pun Engkau mengetahuinya dan akan menjadi hujjah bagi-Mu. Aku memohon kepada-Mu pastinya hujjah-Mu dan terputusnya hujjah-ku. Dengan segala harapanku kepada-Mu dan tidak ada nilainya diriku bagi-Mu, aku mohon agar Engkau mengampuni dan merahmatiku.
    Ya Allah ya Tuhanku, aku tidak bisa melakukan kebaikan kecuali jika Engkau beri aku kekuatan, dan aku tidak melakukan kejelekan kecuali memang itu semua sudah engaku takdirkan atasku.
    Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya kami taat kepada-Mu dengan nikmat dan karunia-Mu dalam amal yang paling Engkau cintai, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan kami pun belum pernah bermaksiat dalam perbuatan yang sangat Engkau benci dan murkai, yaitu syirik kepada-Mu. Ampunilah aku dalam amal antara keduanya.
    Ya Allah ya Tuhanku, tidak ada rahasia bagiku di hadapan-Mu dan aku selalu mengadukan diriku kepada-Mu. Jika kesendirianku membuatku rindu, aku menghiburnya dengar zikir kepada-Mu. Jika aku dirundung susah, aku akan segera datang kepada-Mu memohon pahala dari-Mu. Aku tahu bahwa segala perkara semuanya ada di tangan-Mu dan Engkaulah sumbernya dari qadha-
Mu.

TOBAT SEORANG PENDETA DAN KISAH KEISLAMANNYA

    Ketika penulis duduk di Masjidil Haram setelah shalat zuhur, penulis berkenalan dengan seorang yang terlihat pada dirinya sosok orang yang bertakwa dan saleh. Tangannya memegang sebuah mushaf Al-Qur’an. Kami pun larut dalam obrolan, sehingga penulis tahu bahwa dia adalah orang Mesir yang tinggal di Sudan sejak beberapa tahun silam. Kemudian dia menceritakan kepada penulis kisah perjalanan hidupnya.
    “Sesungguhnya aku dari keluarga Kristen yang taat di Mesir. Ayahku seorang yang punya jabatan tinggi dan begitu juga saudara-saudaraku. Keluargaku adalah keluarga kaya. Setelah aku lulus di sekolah menengah atas, aku masuk ke fakultas kedokteran, namun ayahku memaksa aku dan memasukkanku ke gereja untuk mempelajari teologi Kristen dan kepasturan agar aku bisa menjadi seorang pendeta. Hingga akhirnya aku benar-benar belajar kepasturan sampai aku mendapat gelar magister, kemudian aku menjadi seorang pastur seperti yang diinginkan oleh ayahku.
    Pada saat aku mempelajari teologi Kristen, di sana ada berbagai hal yang tidak bisa diterima dan tidak masuk dalam akalku seperti tabiat al-Masih dan penyatuan zat manusia pada trinitas. Aku pernah bertanya kepada para dosen seniorku tentang hal itu, namun aku tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Mereka selalu berkata pahamilah seperti adanya dan ajarkan kepada manusia!
    Setelah beberapa tahun aku menjalankan tugasku sebagai pastur di salah satu gereja, aku pun pergi ke London. Dengan izin dan kehendak Allah, duduk di sampingku seorang syekh ulama terkenal yang juga sama denganku akan berangkat ke London. Aku pun berbicara panjang lebar dengannya, sehingga timbul persahabatan di antara kami. Seorang syekh dan seorang pendeta. Aku pun banyak bertanya kepadanya tentang hal-hal yang menyangkut dengan agama Islam dan agama Kristen. Darinya aku mendapat jawaban yang sangat memuaskan dan bisa diterima.
    Selama satu tahun dari persahabatan itu, aku pun telah mengenal dan mengetahui hakikat kebenaran, yaitu bahwa aku adalah salah dan sesat. Syekh ini pun mengirimkan aku buku-buku fiqih Islam dan akidah dan aku belajar banyak dari buku-buku tersebut. Yang tersisa di hadapanku hanyalah mengumumkan keislamanku, akan tetapi aku merasa takut pada keluargaku dan mereka akan menyerangku dengan kekerasan. Setelah keraguan yang tidak begitu panjang, aku segera pergi ke instansi keamanan yang berwenang dan segera aku kumandangkan keislamanku. Lantas aku menanggalkan seragam kepasturanku untuk selamanya.
    Itulah awal mula aku masuk Islam. Sudah bisa ditebak sebelumnya, keluargaku semua memerangiku dan mereka telah menghalalkan darahku untuk dibunuh, sampai akhirnya sebagian menasihatiku untuk pergi ke luar Mesir karena takut atas nyawaku, hingga aku pun pergi ke Sudan. Melalui jalur Organisasi Pekerja Islam, aku berangkat menuju imam salah satu masjid di sana.
    Dia menerimaku sebagai tamunya selama tiga hari, kemudian dia menawarkan agar aku menikah dengan salah satu putrinya hingga aku pun jadi menikahi salah seorang putrinya. Di sana aku bekerja sebagai tenaga pengajar selama enam belas tahun, dan Allah mengaruniai aku dua orang anak. Aku pun masih menjalin hubungan dengan keluargaku melalui telepon dan aku merasa tidak ada harapan untuk mengajak mereka masuk Islam dan itu telah aku lakukan tanpa hasil.
    Kemudian kondisi ekonomi pada saat itu mengalami krisis, hingga Rabithah ‘Alam Islami di Sudan mengirimku ke Saudi agar aku bisa mendapat pekerjaan di sana. Saat ini aku sudah di sini sejak dua bulan tinggal di Masjidil Haram, namun aku belum bisa bertemu dengan ketuanya karena dia masih dalam perjalan ke luar negeri, sampai-sampai uangku habis. Aku tidak pernah putus asa dari rahmat Allah karena aku telah banyak mengambil manfaat dari keberadaanku di Masjidil Haram ini dengan melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt..”
    Setelah dua hari dari pertemuan ini, penulis datang ke Masjidil Haram untuk menemuinya di tempat yang biasa dia duduk. Aku pun menjumpainya dalam keadaan senang dan penuh keceriaan, dan memberitahukanku bahwa Rabhithah ‘Alam Islami telah memberinya pekerjaan di perguruan tinggi di Mekah dan memberikannya uang untuk kebutuhannya agar dia bisa mencari tempat tinggal dan memulai kehidupan barunya. Dia juga mengirim uang itu untuk istri dan anak-anaknya. Hanya untuk Allah segala pujian.

Penduduk Mekkah Menangisi Kepergian al-Harits bin Hisyam

Ibnul Mubarak meriwayatkan dari al-Aswad bin Syaiban dari Abu Naufal bin Abu Aqrab, dia berkata, “Ketika al-Harits bin Hisyam r.a. akan pergi meninggalkan Mekkah, orang-orang Mekkah sangat bersedih. Sehingga tidak seorang pun, walaupun sedang makan, yang tertinggal untuk mengantarkannya. Ketika di daerah tinggi Mekkah atau di tempat yang diketahui oleh Allah Swt, dia berhenti. Orang-orang juga berhenti di sekitarnya sembari menangis. Ketika melihat kesedihan mereka dia berkata, “Wahai orang-orang, demi Allah saya meninggalkan Mekkah bukan karena lebih mementingkan diri saya atas kalian. Juga bukan karena lebih memilih negeri lain dari negeri Mekkah. Akan tetapi saya pergi karena dulu orang-orang Quraisy yang bukan para pembesarnya dan bukan para pemilik rumah-rumah mewahnya, berangkat demi agama ini. Sehingga, demi Allah, seandainya gunung-gunung di Mekkah adalah emas, niscaya mereka menyedekahkannya fi sabilillah. Sedangkan kita tidak mendapati masa mereka sama sekali. Demi Allah, jika mereka mendahului kita dengan keutamaan itu di dunia, maka kita berusaha untuk menyertai mereka di akhirat, maka hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah”.
Lalu al-Harits bin Hisyam pergi menuju Syam, lalu dia berperang hingga mati syahid. Semoga Allah meridhainya.
Saya ( penulis ) katakan, “Al-Harits bin Hisyam ingin mendapatkan apa yang terlewatkan olehnya sebelum dia masuk Islam, karena keislamannya agak belakangan, yaitu ketika Fathu Makkah. Sedangkan sebelumnya, dia memerangi Islam, yaitu sejak Rasulullah saw. diangkat menjadi seorang Nabi. Maka ketika Allah memberinya petunjuk, dia ingin menggantikan apa yang telah terlewatkan olehnya dan mendapatkan ridha Allah ‘azza wajalla. Dan dia tidak menemukan jalan lain untuk itu kecuali berjihad fi sabilillah. Maka dia pun berangkat dengan jiwa dan hartanya, menyusul para mujahidin di Syam, hingga memperoleh apa yang dia angan-angankan dan apa yang dia inginkan dari Allah.

Aku Takut Kamu Akan Menjadi Syahid

Dalam sebuah kisah disebutkan, ada seorang lelaki yang selalu mengutuk iblis setiap hari sebanyak seribu kali. Suatu kali saat dia tidur datanglah seseorang yang membangunkannya. Orang itu berkata, “Bangunlah, dinding rumah ini hampir runtuh menimpamu.”
Lelaki itu bertanya, “Siapa kau yang telah sangat baik kepadaku?”
Dia menjawab, “Aku iblis.”
Lelaki itu heran dan bertanya, “Kenapa kamu selamatkan aku, padahal aku selalu mengutukmu seribu kali setiap hari?”
Iblis menjawab, “Hal itu karena aku tahu tingginya posisi syuhada` di sisi Allah, maka aku takut kalau kamu dikumpulkan bersama mereka dan kamu memperoleh seperti apa yang mereka peroleh.”

Begitulah iblis, selalu tidak pernah berbuat kebaikan. Meskipun dia berbuat sesuatu yang secara lahirnya adalah kebaikan, tetapi pada hakikatnya hal itu adalah keburukan. Bahkan, dia akan membuka tujuh puluh pintu kebaikan untuk seorang mukmin supaya dia terjatuh dalam satu pintu keburukan. Itulah Iblis yang dilaknat Allah sampai hari Kiamat.