TOBAT SEORANG PENGGALI KUBUR

    Abu Ishaq al-Ghazari berkata, “Ada seseorang yang sering duduk bersama kami yang sebagian mukanya tertutup. Aku bertanya kepadanya, ‘Kamu sering duduk bersama kami dan sebelah muka kamu tertutup, bisakah kamu memperlihatkan ini kepadaku?’”
    Orang itu berkata,  “Apakah kamu bisa memberi aku rasa aman?”
    Aku berkata,  “Ya.”
    Dia bercerita,  “Dahulu aku adalah seorang penggali kubur, dan aku pernah memakamkan seorang wanita, maka aku pun mendatangi kuburnya, dan aku menggali hingga mencapai tanah kemudian aku angkat tanah itu. Lantas tanganku memegang kain kafan dan kutarik lipatan kafan itu. Aku bentangkan tangan mayit wanita itu seraya berkata,  ‘Apakah kamu mau melawanku?’
    Kemudian aku membungkukkan lutut dan mengulurkan tanganku. Aku angkat tangannya namun tiba-tiba dia mencakarku. Orang itu segera membuka penutup mukanya dan terlihat bekas cakaran lima jari di mukanya.
Aku bertanya kepadanya,  “Kemudian apa lagi?”
    Dia bercerita, “Kemudian aku tutup lagi dengan kain kafannya rapat-ratap, lantas aku timbun lagi dia dengan tanah. Aku bertekad pada diriku bahwa aku tidak ingin lagi menggali kubur selama aku hidup.”

Kisah Keridhaan Mu

Ibnul Jauzi menyebutkan dalam Shifatush Shafwah dari Tsabit al-Bunnani, dia berkata, “Pada suatu ketika Shilah bin Usyaim berada di Sebuah Peperangan bersama dengan anaknya.
Lalu dia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, majulah dan berperanglah hingga saya mengikhlaskanmu”.
Maka anaknya pun segera maju ke medan perang hingga terbunuh.
Kemudian sang ayah pun maju dan berperang, kemudian terbunuh juga.
Esok harinya para wanita berdatangan di rumah ibunya, Mu’adzah binti Adawiyyah. Lalu dia berkata kepada para wanita tersebut, “Selamat datang. Jika kalian datang untuk mengucapkan selamat kepada saya, maka saya menyambut kalian dengan hati gembira. Akan tetapi jika kalian datang untuk berbela sungkawa, maka kembalilah ke rumah kalian”.
Saya ( penulis ) katakan, “Mu’adzah bintu Adawiyah, seorang wanita ahli ibadah tersebut ridha dengan qadha dan qadar Allah ketika anak dan suaminya meninggal dunia. Dia ingin mendapatkan pahala yang besar dari Allah dengan bersabar terhadap cobaan yang menimpanya dan ridha dengan qadha Allah.
Segala puji dan kenikmatan adalah milik Allah semata”.

Cinta Fitnah, Membenci yang Hak, dan Shalat Tanpa Wudhu


Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab bertemu dengan sahabat Hudzaifah bin Yaman. Umar bertanya kepadanya, “Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai Hudzaifah?”
Hudzaifah menjawab, “Kabarku pagi ini, aku cinta pada fitnah, benci pada yang hak, shalat tanpa wudhu, dan aku memiliki sesuatu di bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit.”
Umar ibnul Khaththab r.a. sangat marah mendengar perkataan Hudzaifah tersebut. Tak berapa lama setelah itu datanglah Ali bin Abi Thalib r.a. menemui Umar. Dia berkata, “Di wajahmu tampak amarah.” Umar lalu menceritakan pada Ali tentang perkataan Hudzaifah. Ali berkata, “Dia benar wahai Umar. Dia mencintai fitnah, yang dia maksudkan adalah harta dan anak-anak karena Allah swt. berfirman,

KHAT

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)....” (at-Taghaabun: 15)

Ia membenci yang hak maksudnya adalah kematian, dan dia shalat tanpa wudhu maksudnya dia shalat (bershalawat) kepada Rasulullah saw. tanpa wudhu di setiap waktu dan dia memiliki sesuatu di bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit, maksudnya dia mempunyai istri dan anak sementara Allah tidak.”

Akhirnya, Umar berkata, “Engkau benar wahai Abul Hasan (gelar Ali), kamu telah menghilangkan kemarahanku terhadap Huzaifah.”