Sa

Abu Nu’aim meriwayatkan di dalam kitab Hilyatul Auliya` dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a., dia berkata, “Kerika di Mekkah, kami bersama Rasulullah saw. mengalami kesulitan yang sangat sulit. Ketika kami tertimpa bala`, kami pun ridha dan tunduk kepada ketentuan Allah. Oleh karena itu kami pun sudah terlatih dan kami dapat bersabar.
Pada suatu malam, saya keluar rumah berbarengan dengan Rasulullah saw. untuk kencing. Ketika saya kencing, saya mendengar suara gemeretak karena air kencing saya menimpa sesuatu. Ketika saya perhatikan, ternyata itu adalah kulit onta. Maka saya mengambilnya dan saya cuci kemudian saya membakarnya, lalu saya letakkan di antara dua batu. Kemudian saya memakannya dan saya minum setelahnya. Dan saya memakannya untuk  tiga hari”.
Sa’ad juga pernah berkata, “Kami pernah berperang bersama Rasulullah saw., sedangkan kami tidak mempunyai apa-apa kecuali daun Hublah –nama sebuah pohon— dan buah ini”.

Ibadah Ahmad bin Hanbal

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Ayahku adalah orang yang paling sabar dalam kesendirian. Tak seorang pun yang melihatnya, kecuali dia sedang di masjid atau menghadiri jenazah atau mengunjungi orang sakit. Dia tidak suka berjalan di pasar.”
Abdullah juga berkata, “Ayahku sering shalat setiap hari sebanyak tiga ratus rakaat. Ketika dia sakit akibat dicambuk (dalam fitnah khuluqul Qur`an, pent.) fisiknya menjadi lemah, sehingga dia hanya shalat setiap harinya seratus lima puluh rakaat, padahal usianya sudah mendekati delapan puluh tahun. Dia selalu membaca Al-Qur’an setiap hari dan menamatkannya setiap tujuh hari. Dia juga menamatkan Al-Qur’an dalam shalat malam setiap tujuh malam, selain shalat siang. Terkadang dia shalat isya kemudian tertidur sebentar lalu bangun kemudian  dia shalat dan berdoa sampai subuh.

Ayahku melaksanakan haji lima kali, tiga kali berjalan kaki, dan dua kali berkendaraan. Dalam beberapa hajinya, dia hanya membelanjakan sejumlah dua puluh dirham. Aku sering mendengar ayah membaca doa ini setiap selesai shalat, ‘Ya Allah, sebagaimana aku jaga wajahku dari sujud kepada selain-Mu, maka jagalah dia dari meminta-minta kepada selain-Mu.’ Di antara doanya juga, ‘Ya Allah, siapa yang dibelenggu oleh hawa nafsu atau logikanya sendiri dan dia mengira bahwa dia dalam kebenaran padahal sesungguhnya tidak, maka kembalikanlah dia pada kebenaran sehingga tiada satu pun dari umat ini yang tersesat. Ya Allah, jangan sibukkan hati kami dengan sesuatu yang telah Engkau jamin untuk kami. Jangan jadikan kami dalam menjemput rezeki-Mu budak bagi selain-Mu, jangan halangi kami dari kebaikan di sisi-Mu disebabkan oleh keburukan dari kami, jangan sampai kami ada di saat Engkau melarang kami dan jangan sampai kami tiada di saat Engkau menyuruh kami, muliakanlah kami dan jangan hinakan kami, muliakanlah kami dengan ketaatan dan jangan hinakan kami dengan kemaksiatan.’”
Demikian sekilas tentang ibadah dan kezuhudan Imam al-Faqih Ahmad bin Hanbal Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah rahimahullah.

Menangis karena Kasihan kepada Sang Pencuri

Ibnu Jauzi menceritakan dalam Shifatush Shafwah dari Shalih bin Abdul Karim, dia berkata, “Salah seorang sahabat Fudhail dari penduduk Khurasan datang menemui Fudhail di Masjidil Haram. Keduanya lalu terlibat dalam perbincangan. Setelah itu, sahabat tersebut bangkit untuk melakukan thawaf. Tiba-tiba uangnya dicuri sejumlah enam puluh atau tujuh puluh dinar. Sahabat dari Khurasan itu kembali menemui Fudhail sambil menangis. Fudhail bertanya, ‘Ada apa denganmu?’
‘Uangku dicuri,’ jawabnya.
‘Karena itukah kamu menangis?’
‘Tidak, tetapi aku teringat bagaimana nanti pencuri itu bersamaku dihadapkan kepada Allah di hari Kiamat nanti. Oleh karena itu, aku merasa kasihan dan menangis karena iba kepadanya.’”

Menangis karena Datang kepada Allah adalah Lebih Utama

Yahya bin Ayyub berkata, “Suatu hari aku pergi ke kuburan yang terletak di pintu Khurasan. Kemudian aku duduk di sebuah tempat di mana aku bisa melihat siapa yang masuk ke daerah kuburan tersebut.
Tiba-tiba, aku melihat seorang lelaki masuk ke daerah kuburan sambil menekur. Dia lalu berkeliling di sekitar kuburan tersebut. Setiap kali dia melihat ada kubur yang baru digali atau yang masih lunak, dia berdiri di sampingnya dan menangis.
Aku datang menghampirinya, moga-moga aku mendapat manfaat atau pelajaran darinya. Ketika sudah dekat, ternyata dia adalah Sa’d al-Majnun, dan dia sedang berdiri di kuburan Abdullah bin Malik. Aku bertanya kepadanya, “Apa yang kau lakukan, wahai Sa’d?”
Dia berkata, “Wahai Yahya, maukah kau duduk sejenak, kemudian kita tangisi tubuh-tubuh yang akan hancur ini, sebelum dia benar-benar hancur, lalu tidak seorang pun yang akan menangisinya?” Lalu dia berkata, “Wahai Yahya, menangis karena datang kepada Allah adalah lebih utama daripada menangisi kehancuran tubuh-tubuh ini.”
Selanjutnya dia berkata, “Wahai Yahya, apabila lembar-lembar (catatan amal) sudah ditebar....” Setelah itu, dia berteriak keras dan berkata, “Ya Allah tolonglah... apa yang nanti akan kutemui dalam lembaran catatan-catatan amalku....”
Yahya berkata, “Tiba-tiba aku jatuh pingsan. Setelah aku sadar dia sedang duduk sambil mengusap wajahku dengan ujung jubahnya. Dia berkata, “Wahai Yahya, siapa yang lebih mulia darimu seandainya kamu mati?”

MUHAMMAD AS-SAMIN DAN TOBAT DARI TAKUT SAAT BERTEMU MUSUH

Imam Junaid berkata, “Muhammad bin Samin berkata kepadaku, ‘Pada suatu saat aku sedang dalam keadaan syauq  hingga membuatku mendapatkan sesuatu yang membuatku lupa tentang hal yang lainnya. Kemudian aku pun keluar untuk berperang dan aku tetap dalam keadaan seperti itu. Orang-orang pun berperang dan aku ikut berperang bersama mereka. Namun, jumlah musuh sangat banyak daripada jumlah kaum Muslimin. Mereka sudah saling mendekat dan akhirnya mereka bertemu hingga orang-orang Islam dirundung ketakutan karena banyaknya jumlah tentara Romawi.
    Dia berkata, “Aku melihat diriku di tempat itu sedang diselimuti rasa takut   dan perasaan itu semakin menjadi-jadi, sehingga aku pun mencaci maki diriku sendiri. Aku mencelanya dan kukatakan padanya, ‘Bohong, kamu mengaku selalu dalam keadaan syauq. Namun, ketika kamu berada di tempat yang sangat dinanti-nanti bagimu untuk keluar, kamu malah terguncang dan berubah?’”
    Sambil aku mencaci maki dan mencelanya, aku pun turun ke sungai untuk mandi. Aku lepaskan pakaianku lantas aku masuk ke sungai, aku mandi dan segera keluar. Pada saat itu ‘azimahku timbul dengan sangat menggebu-gebu dan aku tidak tahu apa itu.
    Maka, akupun keluar dengan kekuatan azimah dan segera memakai pakaianku lantas aku ambil pedangku dan aku masuk ke barisan yang ada. Aku memobilisasi dengan kekuatan azimah itu dan aku tidak tahu bagaimana diriku.
    Aku menembus barisan kaum Muslimin dan barisan pasukan Romawi sehingga aku berada di belakang mereka, kemudian aku mengumandangkan takbir. Pasukan Romawi mendengar takbir yang aku kumandangkan dan menyangka bahwa pasukan yang sedang bersembunyi keluar melawan mereka dari belakang. Mereka pun berbalik sehingga kaum Muslimin dengan mudah memukul dan membunuh pasukan Romawi karena takbir yang aku kumandangkan itu ke tengah sekitar empat ribu pasukan. Sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan sebab kemenangan dan keberhasilan tersebut.

Berperang di Hari Pengantin

Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam adalah istri Ikrimah bin Abi Jahal.  dia masuk Islam pada saat pembebasan Mekah dan setelah itu suaminya Ikrimah juga masuk Islam. Ikrimah syahid dalam Perang Tabuk dan istrinya juga ikut ambil bagian dalam peristiwa penting itu.
Setelah Ikrimah wafat, dia menikah dengan Khalid bin Sa’id bin Ash. Dia belum sempat menggauli istrinya karena dia ikut dalam memerangi musuh di Maraj Shufr. Di tengah perjalanan, dia bermaksud untuk menggauli istrinya, tetapi istrinya berkata, “Andaikan kamu mau bersabar sampai Allah musnahkan musuh-musuh itu.”
Dia berkata, “Aku punya firasat bahwa aku akan terbunuh dalam perang ini.”
“Baiklah kalau begitu,” kata sang istri.      
Akhirnya, dia menggauli istrinya di daerah penyeberangan yang selanjutnya dikenal dengan namanya, yaitu “Penyeberangan Ummu Hakim.” Pagi harinya Khalid bin Sa’id mengadakan pesta pernikahan. Setelah mereka selesai makan, musuh pun datang menyerang dan pecahlah perang yang dinanti-nantikan. Khalid bin Sa’id syahid dalam perang itu. Ummu Hakim juga ikut berperang di hari pengantinnya di saat aroma parfum masih semerbak dari tubuhnya. Dia berpegang pada tonggak kemah tempat dia mengadakan pesta pernikahan dan dia berhasil membunuh tujuh orang tentara Romawi.

Keridhaan Abu Ubaidah terhadap Qadha dan Qadar Allah

Abu Ubaidah ibnul Jarrah, yang nama aslinya Amir bin Abdillah ibnil Jarrah al-Qurasyi, memeluk agama Islam di masa awal-awal Islam di Mekkah. Dia termasuk orang pertama yang masuk Islam. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai Amiin ( orang yang terpercaya ) bagi umat ini. Rasulullah saw. bersabda,

“Setiap umat mempunyai seorang amiin, dan amiin bagi umat ini adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah”.
    Dia adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang oleh Rasulullah saw. dijanjikan masuk surga.
    Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab mengirimkan empat ribu dirham atau empat ratus dinar kepadanya. Dan Umar berkata kepada utusan yang membawa uang tersebut, “Perhatikan apa yang diperbuat Abu Ubaidah terhadap harta ini”.
Ketika kembali, utusan Umar tersebut berkata kepada Umar, “Abu Ubaidah membagi-bagikannya”.
Umar juga mengirimkan uang yang jumlahnya sama kepada Mu’adz bin Jabal. Ketika kembali, utusan Umar berkata kepadanya, “Mu’adz bin Jabal membagi-bagikannya dan menyisakan sedikit untuk kebutuhan rumahnya. Karena istrinya berkata bahwa mereka membutuhkannya”.
Setelah kedua utusan tersebut memberitahukan hal itu kepadanya, Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan di dalam Islam orang yang melakukan semua itu”.
    Abu Ubaidah meninggal dalam keadaan ridha kepada qadha dan qadar Allah. Ketika itu dia menjadi gubernur Syam dan  di sana wabah tha’un Amwas sedang mengganas. Mendengar kondisi Syam yang demikian, Khalifah Umar Ibnul Khaththab mengirim surat kepadanya, “Sesungguhnya saya mempunyai keperluan denganmu dan saya tidak bisa memenuhinya tanpa kehadiranmu. Maka segeralah datang menemui saya”.
Sebenarnya Umar menginginkan agar Abu Ubaidah keluar dari negeri yang terjangkit wabah tha’un Amwas tersebut. Dan Abu Ubaidah memahami apa yang diinginkan Umar, maka dia berkata, “Saya tahu keinginan Amirul Mukminin. Sesungguhnya dia hanya ingin mengabadikan sesuatu yang tidak abadi”.
Lalu dia membalas surat Umar, “Sesungguhnya saya tahu apa keperluan Amirul Mukminin. Maka lepaskanlah saya dari ikatan keinginan Anda, karena sesungguhnya saya sedang berada di dalam salah satu barisan tentara muslim. Dan saya tidak mengutamakan diri saya dari mereka. Maka saya tidak ingin meninggalkan mereka hingga Allah menetapkan keputusan-Nya kepada saya dan mereka”.
Ketika membaca surat tersebut, Umar pun menangis. Lalu seseorang bertanya kepadanya, “Apakah Abu Ubaidah meninggal?” Umar menjawab, “Tidak, akan tetapi dia mendekati kematian”. 
    Nampak Umar terkejut dengan penolakan Abu Ubaidah untuk datang ke Madinah. Padahal Umar ingin menunjuk Abu Ubaidah menjadi khalifah setelahnya. Dan ketika orang-orang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah, Abu Bakar juga ingin menjadikannya sebagai khalifah.
Semoga Allah meridhainya.
Setelah kematiannya, wabah tha’un hilang dari Amwas.

71. Bermimpi Bertemu Sari as-Saqthi

Abu Ubaid bin Jarbuyah menceritakan, “Aku turut menghadiri jenazah Sari as-Saqthi. Aku merasa gembira dapat menghadiri jenazahnya. Setelah itu ada seseorang berkata bahwa dia juga ikut menghadiri jenazah Sari as-Saqthi. Pada malam harinya dia bermimpi bertemu dengan Sari as-Saqthi. Dia bertanya pada Sari, ‘Apa yang dilakukan Allah padamu?’
‘Dia mengampuniku dan juga semua orang yang ikut menghadiri jenazahku dan menyalatkanku.’
Aku (laki-laki itu) berkata, ‘Aku termasuk orang yang menghadiri jenazahmu dan menshalatkanmu.’
Kemudian  dia (Sari) mengeluarkan sebuah catatan dan dia lihat di dalamnya, tetapi dia tidak melihat namaku di sana. Aku berkata meyakinkan, ‘Benar, aku ikut hadir.’
Dia melihat lagi. Ternyata namaku ada di catatan pinggir.
Semoga Allah merahmati dan meridhainya.”

Keridhaan Abu Bashir Terhadap Ketentuan Allah

Ketika Rasulullah saw. kembali ke Madinah setelah membuat kesepakatan damai dengan Quraisy di Hudaibiyah, datang padanya Abu Bashir Utbah bin Asid setelah keislamannya. Dia adalah salah seorang dari orang-orang muslim yang tertindas. Dia dipenjarakan di Mekah supaya tidak dapat hijrah ke Madinah.
    Kemudian ketika dia berhasil melarikan diri dari orang-orang Quraisy Mekah dan datang kepada Rasulullah saw. di Madinah, keluarganya menulis surat kepada Rasulullah saw.  minta agar beliau mengembalikan Abu Bashir kepada mereka. Mereka berdalih bahwa permintaan tersebut sesuai dengan isi kesepakatan yang telah ditetapkan bersama antara kaum Quraisy dan Nabi saw.. Kemudian setelah itu, datanglah ke Madinah seorang laki-laki utusan dari Bani Amir bin Lu'ai. Dia datang bersama budaknya untuk menjemput Abu Bashir pulang kembali ke Mekah. Untuk itu Rasulullah berkata pada Abu Bashir, "Wahai Abu Bashir kami mempunyai perjanjian dengan mereka sebagaimana kamu ketahui. Dan tidak dibenarkan dalam agama kami melanggar perjanjian yang telah disepakati. Sesungguhnya Allah akan membukakan jalan keluar bagimu dan bagi mereka yang bersamamu dari kaum muslim yang tertindas. Maka kembalilah pada kaummu".
Lalu Abu Bashir berkata, "Wahai Rasulullah apakah engkau akan menyerahkan saya pada orang-orang  musyrik itu. Sedangkan mereka akan berusaha merusak agama saya". Maka untuk menabahkan hati Abu Bashir, sekali lagi Rasulullah saw. bersabda, "Wahai Abu Bashir  pergilah kembali bersama mereka. Sesungguhnya Allah akan membukakan pintu kemudahan bagimu dan bagi orang-orang muslim yang tertindas yang ada bersamamu".
    Berangkatlah Abu Bashir untuk kembali ke Mekah bersama dua orang utusan yang menjemputnya. Dia ridha dengan apa yang telah menjadi ketetapan Allah itu. ketika sampai di Dzul Hulaifah, mereka berhenti untuk beristirahat. Abu Bashir mengambil posisi duduk di dekat sebuah tembok, demikian juga kedua teman perjalanannya, mereka ikut duduk bersamanya. Kemudian Abu Bashir bertanya pada salah seorang dari mereka, "Apa benar pedangmu ini tajam wahai saudara dari Bani Amir?" Temannya yang ditanya itu menjawab, "Tentu saja". Lalu Abu Bashir berkata, "Bolehkah saya melihatnya". Temannya itu menjawab, "Lihat saja sesuka kamu". Kemudian Abu Bashir menghunus pedang tersebut, lalu menebaskannya ke arah pemilik pedang itu dan membunuhnya. Ketika melihat kejadian itu, orang musyrik yang satunya menjadi ketakutan dan lari menuju ke tempat Rasulullah saw. lalu melaporkan hal itu pada beliau dengan berkata, "Sahabatmu telah membunuh teman saya”. Kemudian Abu Bashir mengejar orang musyrik itu dengan membawa pedang di tangannya, hingga sampai di hadapan Rasulullah saw.. Lalu dia berkata pada beliau, "Wahai Rasulullah,  janjimu telah terpenuhi. Allahlah yang telah memenuhinya untukmu. Engkau menyerahkan saya pada mereka, dan saya telah berusaha menjaga agama saya agar tidak dirusak dan dipermainkan oleh mereka". Kemudian Rasulullah saw. berkata padanya, "Bagus, kamu telah berani mengobarkan api perang, coba seandainya ada banyak orang yang membantumu".
    Kemudian Abu Bashir  pergi meninggalkan Rasulullah saw. dan akhirnya sampai di al-Ish dari arah Dzul Marwah, sebuah tempat di tepian laut. Tidak berselang lama, banyak orang-orang muslim yang bergabung dengannya. Mereka datang dari Mekah setelah berhasil melarikan diri dari penjara orang-orang Quraisy. Mereka yang bergabung dengan Abu Bashir itu berjumlah tujuh puluh orang. Mereka, Abu Bashir dan kelompoknya, tidak membiarkan begitu saja jika ada kafilah Quraisy yang melewati daerah persembunyian mereka. Tidak satu pun onta milik orang-orang Quraisy yang melewati tempat tersebut kecuali dirampas oleh mereka beserta barang-barang bawaannya. Hal itu terus berkelanjutan hingga akhirnya orang-orang Quraisy mengirim surat kepada Rasulullah saw. yang isinya agar beliau mau melindungi sanak saudara mereka dari gangguan orang-orang kelompok Abu Bashir. Rasulullah saw. pun memenuhi permintaan mereka. Maka orang-orang kelompok Abu Bashir tidak lagi mengganggu mereka. Kemudian setelah kesepakatan damai Hudaibiyah dihapuskan, dan Abu Bashir beserta kelompoknya pun pergi berhijrah ke Madinah untuk berkumpul bersama Rasulullah saw..

Setiap Orang Tergantung Niatnya

Diceritakan bahwa ada dua orang bersaudara, yang seorang ahli ibadah dan sangat taat sementara yang seorang lagi suka bermaksiat.
Kemudian timbul bisikan dalam hati sang ahli ibadah untuk sedikit mengikuti syahwatnya guna menghibur dirinya yang selama ini telah digunakannya untuk beribadah, kemudian nanti dia akan bertobat kepada Allah karena dia tahu bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ahli ibadah ini berkata dalam hati, andaikan aku pergi ke dekat saudaraku untuk menemaninya dalam hawa nafsu dan kelezatan dunia, kemudian setelah itu aku akan bertobat dan beribadah kepada Allah dalam umurku yang masih tersisa. Akhirnya, dia pergi dengan niat ini.
Sebaliknya, saudaranya yang ahli maksiat berkata, “Aku telah habiskan umurku dalam maksiat, sementara saudaraku yang ahli ibadah akan masuk surga dan aku akan masuk neraka. Demi Allah, aku akan bertobat dan akan pergi menemui saudaraku, lalu aku akan menemaninya beribadah dalam usiaku yang masih tersisa, semoga Allah mengampuniku.”
Setelah itu, dia pergi menemui saudaranya dengan niat untuk bertobat, sementara saudaranya yang ahli ibadah juga pergi menemuinya dengan niat bermaksiat. Tiba-tiba kakinya tergelincir dan dia jatuh bergulingan dan menimpa saudaranya, sehingga keduanya meninggal dalam waktu bersamaan. Akhirnya, sang ahli ibadah dikumpulkan berdasarkan niat maksiat dan saudaranya yang ahli maksiat dikumpulkan berdasarkan niat tobat.
Maka, yang menjadi ukuran adalah akhir dari setiap amalan. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh tertipu dengan amal apa pun yang sekarang dilakukannya.

Abu Bakar ash-Shiddiq dan Keridhaannya kepada Allah

Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. masuk Islam setelah Khadijah bintu Khuwailid, istri Nabi saw., Zaid bin Haritsah, anak-anak Nabi saw. dan Ali bin Abi Thalib k.w.. Abu Bakar, sebagaimana sahabat-sahabat lainnya, menanggung penderitaan karena kejahatan orang-orang Quraisy. Meskipun keluarga dan kerabatnya mencoba membelanya, akan tetapi kejahatan orang-orang Quraisy kepada Abu Bakar semakin menjadi-jadi, hingga dia memutuskan untuk hijrah dari Mekkah. Lalu dia minta izin kepada Nabi saw. untuk berhijrah ke Ethiopia dan beliau pun mengizinkannya.
    Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. pergi meninggalkan Mekkah dengan membawa bekalnya dengan niat berhijrah menuju Habasyah ( Ethiopia ). Ketika dalam perjalanan, dia bertemu dengan Ibnu Daghinah yang masih musyrik; memeluk agama orang-orang Quraisy. Ibnu Daghinah juga termasuk pembesar orang-orang Quraisy.
Ibnu Daghinah bertanya kepada Abu Bakar, “Abu Bakar, mau kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab, “Kaumku mengusirku dan menyakitiku. Mereka mempersulit kehidupanku. Maka saya ingin pergi dan menyembah Tuhanku”.
Ibnu Daghinah pun berkata, “Mengapa begitu? Sesungguhnya orang sepertimu tidak sepantasnya keluar dan diusir dari negerimu. Demi Allah, sesungguhnya engkau membuat baik nama keluargamu, membantu orang-orang yang terkena musibah, membantu orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, menyambung silaturahmi dengan kerabat, menanggung penderitaan orang lain, membela orang yang lemah dan melakukan kebaikan. Kembalilah, engkau dalam jaminanku. Lalu sembahlah Tuhanmu di negerimu”.
Maka Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. pun kembali ke Mekkah bersama Ibnu Daghinah. Ketika sampai di Mekkah, Ibnu Daghinah berkeliling menemui para pembesar Quraisy dan berkata kepada mereka, “Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya saya menjamin Ibnu Abi Qahafah. Maka hendaknya setiap orang bersikap baik kepadanya”.
Maka orang-orang Quraisy pun menerima jaminan Ibnu Daghinan bagi Abu Bakar dan mereka pun tidak menyakitinya lagi. Namun mereka memberi syarat dan berkata, “Suruhlah dia menyembah Tuhannya di dalam rumahnya. Dia harus sembahyang dan membaca apa yang dia kehendaki di dalamnya, jangan sampai dia mengganggu kami dengan semua itu. Juga jangan sampai hal itu terlihat oleh orang-orang”.
Ibnu Daghinah pun menyampaikan apa yang dikatakan para pembesar Quraisy tersebut kepada Abu Bakar r.a.. Kemudian Abu Bakar membangun masjid di halaman rumahnya. Dia melakukan shalat dan membaca Al-Qur’an di dalamnya. Namun di luar rumahnya, para wanita dan anak-anak orang Quraisy berdesakan mendengarkan Al-Qur`an yang dia baca. Mereka terkagum-kagum. Dan Abu Bakar sendiri ketika membaca Al-Qur’an sangat lembut, membuat orang-orang yang di dekatnya ikut menangis.
    Maka orang-orang musyrik pun merasa khawatir terhadap istri-istri dan anak-anak mereka karena bacaan Abu Bakar, juga tangisan dan kekhusyu’annya. Lalu mereka mengutus seseorang menemui Ibnu Daghinah untuk melaporkan kepadanya apa yang dilakukan Abu Bakar, tentang masjid yang dibangunnya dan tergodanya para istri serta anak-anak mereka ketika mendengar bacaannya. Dan mereka meminta kepada Ibnu Daghinah untuk menyuruh Abu Bakar melakukan shalat hanya di dalam rumahnya, sehingga bacaannya tidak didengar oleh orang lain. Jika Abu Bakar tidak mau melakukannya, maka Ibnu Daghinah diminta mencabut jaminannya terhadap Abu Bakar.
    Lalu Ibnu Daghinah mendatangi Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Engkau sudah tahu apa yang telah saya sepakati dengan orang-orang Quraisy perihal dirimu. Maka terserah dirimu, apakah engkau akan melakukan kesepakatan itu atau engkau kembalikan jaminanku itu. Karena saya tidak ingin orang-orang Arab mendengar bahwa saya mengkhianati orang yang saya jamin”.
Maka Abu Bakar berkata, “Saya kembalikan jaminanmu dan saya ridha dengan jaminan Allah ‘azza wajalla”.
Abu Bakar ash-Shiddiq ridha dengan qadha dan jaminan Allah. Dia terus beribadah kepada Allah dan pada saat yang sama orang-orang Quraisy terus menyakitinya. Abu Bakar tetap menanggung semua itu demi memperoleh keridhaan Allah ‘azza wajalla.

Tetap Teguh Saat Ajal Menjemput

Ibnul Jauzi dan Ibnu Rajab al-Hambali, “Ada seorang pemuda syahid di peperangan, lalu orang-orang datang bertakziyah kepada ayahnya.
Kemudian ayahnya, seorang lelaki yang takwa dan saleh, menangis seraya berkata, “Saya tidaklah menangis karena kematiannya. Akan tetapi saya menangis karena memikirkan bagaimana keridhaannya kepada Allah ketika pedang-pedang musuh membunuhnya?”.
Saya ( penulis ) katakan, “Sang ayah, seorang ahli ibadah dan seorang fakih, tidak merasa congkak karena anaknya terbunuh di medan perang di tangan para musuh dan orang-orang berkata bahwa dia adalah syahid. Akan tetapi dia ingin tahu bagaimana kondisi anaknya ketika terbunuh; apakah dia ridha kepada qadha dan qadar Allah? Dan itulah keridhaan Allah kepada hamba-Nya dan keridhaan seorang hamba kepada Allah.
Semoga Allah meridhai mereka semua”.

TOBAT DAN ISLAMNYA AMRU IBNUL ASH

Amru ibnul Ash terus menjadi seorang yang memusuhi dan memerangi Islam bersama dengan kaumnya dari orang-orang musyrik Quraisy. Dia pun ikut dan turut serta dalam Perang Badar, Uhud, Khandaq, sampai pada saat terjadi apa yang telah terjadi dalam perdamaian Hudaibiyah, yakni ketika Quraisy mengadakan perjanjian damai dengan Muhammad saw. dan perang antara kedua belah pihak dihentikan.
    Amru ibnul Ash berkata, “Muhammad dengan para sahabatnya telah datang menghadap Quraisy, maka Mekah tidak lagi nyaman menjadi tempat tinggal, begitu juga Thaif. Tidak ada jalan lain kecuali harus pergi dan keluar dari Mekah ini dan setelah jauh dari Islam. Aku melihat bahwa seandainya semua orang Quraisy masuk Islam, aku tidak akan masuk Islam.
    Amru ibnul Ash pun bertekad untuk pergi ke Najasyi, Raja Habasyah, dan dia membawa banyak hadiah berupa kulit binatang untuknya. Di sana dia mendapatkan Amru bin Umayyah adh-Dhamiri yang telah diutus oleh Rasulullah saw, untuk berangkat menemui Najasyi agar dia menikah dengan Ummu Hubaibah binti Abu Shofyan r.a..
    Amru ibnul Ash berkata kepada teman yang ikut dengannya dalam perjalanan itu, “Amru bin Umayyah, jika aku telah sampai ke Najasyi nanti, dan aku meminta kepadanya untuk menyerahkannya, akan aku penggal lehernya. Jika aku bisa melakukan itu, orang-orang Quraisy akan senang dan aku pun akan mendapat hadiah karena aku bisa membunuh utusan Muhammad.”
    Kemudian Amru bin Ash pun mendatangi Najasyi dan sang raja itu menyambut kedatangannya. Amru menyerahkan hadiahnya untuk sang raja, dan ketika dia melihat sang raja yang dalam keadaan penuh ceria dia berkata kepadanya, “Wahai raja, sesungguhnya aku telah melihat ada seseorang yang telah keluar dari ruangmu ini, orang itu adalah utusan musuh kami, dia telah memanahi kami dan membunah para pemimpin dan elite kami, serahkanlah orang itu kepadaku untuk aku bunuh!”
    Dan Najasyi pun murka sejadi-jadinya. Dia mengangkat tangannya kemudian memukul hidung Amru sampai keluar darah, dan Amru pun mengelap dan membersikannya dengan bajunya. Dia takut akan dirinya dari kemarahan sang raja, kemudian dia berkata kepadanya, “Wahai Raja, jika aku tahu kalau engga benci dengan apa yang aku katakan itu, aku tidak akan meminta kamu.”
    Najasyi berkata kepadanya, “Wahai Amru, kamu meminta kepadaku untuk menyerahkan seorang utusan dari seorang Nabi yang telah diturunkan kepadanya Jibril a.s. sebagaimana dahulu datang kepada Musa dan juga datang kepada Isa, dan kamu ingin membunuh utusan itu?”
    Amru berkata, “Allah mengubah apa yang ada dalam hatiku dan aku berkata kepada diriku sendiri. Dia telah mengenal kebenaran itu, begitu juga bangsa Arab dan bangsa asing telah mengetahuinya, sementara kamu malah mengingkarinya!”
    Kemudian aku bertanya, “Apakah kamu telah mengucap syahadat akan hal ini, wahai raja?”
    Dia menjawab, “Ya, aku telah mengucap syahadah di hadapan Allah wahai Amru, ikutilah aku untuk mengikutinya. Demi Allah, sesungguhnya dia memang benar, dan pasti akan terlihat atas orang-orang yang mengingkarinya sebagaimana terlihat kebenaran Musa atas Fir’aun dan balatentaranya.”
    Aku berkata, “Apakah kamu mau membaiat aku atas Islam?”
    Raja menjawab, “Ya.”
    Amru bercerita, “Raja itu mengulurkan tangannya dan segera membaiatku atas Islam, kemudian dia meminta dibawakan bejana air dan mencuci darah itu dan memberiku baju karena memang bajuku telah penuh dengan darah.”
    Setelah itu Amru ibnul Ash pergi meninggalkan tanah Habasyah menuju ke Madinah al-Munawwarah untuk membaiat Rasulullah saw.. Di tengah perjalanan hijrahnya itu dia bertemu dengan Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah yang keduanya juga sama-sama menuju ke Madinah untuk membaiat Rasulullah saw.. Mereka pun bertemu dalam perjalanan iman dan Islam.
Rasulullah saw. sangat gembira dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam. Begitu juga kaum Muslimin yang berada di sekitar beliau turut gembira dengan keislaman mereka. Semoga Allah meridhai mereka semua.

Nabi Ibrahim dan Keridhaannya Ketika Dilemparkan Ke dalam Api

Kaum Nabi Ibrahim memutuskan untuk menyelamatkan tuhan-tuhan mereka. Oleh dari itu, mereka akan membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup, karena telah berani menghancurkan patung-patung yang menjadi tuhan-tuhan mereka itu. Hal tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur'an.
Mereka mulai mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Nabi Ibrahim. Mengumpulkan kayu bakar tersebut berlangsung hingga beberapa lama. Semua orang ikut andil melakukannya, hingga ada seorang wanita yang jika sedang sakit, dia bernazar seandainya sembuh waktu itu juga, dia akan langsung ikut mengangkut kayu bakar yang dipersiapkan untuk membakar Nabi Ibrahim tersebut.   
Kemudian mereka membuat sebuah galian yang berukuran besar dan meletakkan kayu-kayu tersebut di dalamnya. Setelah itu, mereka membakarnya, hingga nampak nyala api yang berkobar-kobar dengan percikan-percikannya yang dahsyat. Sebuah pemandangan yang tidak pernah dijumpai sebelumnya.
Kemudian Nabi Ibrahim diletakkan di atas manjaniq ( sebuah alat pelempar batu dalam peperangan ) dalam keadaan terikat. Dalam kondisi yang demikian itu, Nabi Ibrahim bermunajat kepada Allah dengan berkata, "Ya Allah, tiada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Bagi-Mu segala puji dan Kepunyaan-Mu lah seluruh kerajaan. Tiada sekutu bagi-Mu". Lalu pada saat Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam api dengan menggunakan manjaniq, dia berkata, "Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung".
Ibn Abbas berkata, "Perkatan, cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung, diucapkan oleh Nabi Ibrahim tatkala dia dilemparkan ke dalam api. Dan perkataan yang sama, juga diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. tatkala dikatakan kepada beliau –sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an—,

“Sesungguhnya orang-orang telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka." Maka perkataan itu malah menambah keimanan mereka (yaitu orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya) dan mereka menjawab, "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung." Maka mereka kembali dengan ni'mat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa". (Ali Imran: 173-174).
Maka karena munajatnya memohon pertolongan dari Allah, Allah segera menurunkan pertolongan kepada hamba-Nya, Rasul-Nya dan juga kekasih-Nya, Ibrahim, yang selalu ridha dengan qadha dan qadar-Nya.  Hal itu sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur'an,

"Kami berfirman, "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim." (al-Anbiyaa`: 69).
Kemudian Nabi Ibrahim pun keluar dari kobaran api dalam keadaan selamat, tidak tersentuh sedikit pun oleh bara api. Segala puji hanya bagi Allah.

Barang Siapa Menjaga Kehormatan Dirinya, Maka Allah akan Menjaga Kehormatannya

Buku-buku biografi dan sejarah para tokoh menyebutkan bahwa pada suatu hari Hilal bin Hasan al-Bashri datang ke Madinah, lalu singgah di rumah Abu Sa’id al-Khudri r.a.. Kemudian Hilal mendengar Abu Sa’id bercerita bahwa di suatu pagi pada masa Nabi saw., dia tidak memiliki makanan sama sekali sehingga dia mengikatkan batu di perutnya untuk menahan lapar.
Lalu istrinya berkata kepadanya, “Datanglah kepada Nabi saw. dan mintalah kepada beliau”.
Abu Sa’id lalu mendatangi majelis Nabi saw. di masjid, dan ketika itu Nabi saw. sedang berceramah dan bersabda,

“Barang siapa menjaga kehormatan dirinya ( tidak meminta-minta ) maka Allah menjaga kehormatannya. Dan barang siapa merasa cukup, maka Allah memberi kecukupan kepada dirinya. Dan barang siapa meminta sesuatu kepada saya, lalu kami mempunyai apa yang dimintanya, maka kami akan memberinya dan kami akan menghiburnya. Dan barang siapa tidak meminta kepada kami dan dia merasa cukup, maka dia lebih kami senangi dari pada orang yang meminta kepada kami”.
    Abu Sa’id berkata, “Lalu saya kembali ke rumah dan saya tidak meminta sesuatu pun kepada beliau. Kemudian Allah ta’ala memberi kami rizki hingga saya tidak tahu ada sebuah rumah milik orang Anshar yang mempunyai harta lebih banyak dari kami”.
Saya katakan, “Demikianlah keutamaan bagi orang ridha kepada qadha Allah, serta keutamaan mendengar nasehat Rasulullah saw.. Dan demikianlah kondisi para sahabat ridhwaanullahi ‘alaihim.

TOBAT SEORANG LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN KEMUDIAN KEDUANYA MENIKAH

Disebutkan bahwa ada seorang pria dan wanita, keduanya saling jatuh cinta. Pada saat keduanya bertemu, sang wanita mencumbui si pria. Kemudian pria itu berkata kepadanya, “Sesungguhnya ajalku bukanlah ada di tanganku, dan ajalmu bukan di tanganmu, bisa saja ajal kita datang menghampiri kita dan kita mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah.”
    Wanita itu menjawab, “Engkau benar.”
    Kedua orang itu pun bertobat dan kelakuan keduanya menjadi baik hingga akhirnya wanita itu menikahi pria tersebut.50
    Tidak dimungkiri lagi bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan kebaikan. Pria ini takut kepada Allah dan tidak mau melakukan perbuatan keji bersama wanita itu. Allah pun menggantinya dengan dia bertobat dan kelakuannya menjadi baik. Tobat wanita itu mendapat ganjaran. Kemudian dia menikah dan mendapatkan yang halal. Tentunya lagi dia telah mendapat pahala dari Tuhannya swt. sebagai ganti dari melakukan perbuatan maksiat yang bisa menjerumuskan dia ke dalam kehancuran di dunia dan akhirat.

Sikap Mengutamakan Orang Lain atas Diri sendiri

"Dan mereka (orang-orang Anshar) itu mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu) ." (al-Hasyr: 9).
Ada yang mengatakan bahwa turunnya ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki dari kaum Anshar, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hasan al-Bashri. Dia menceritakan bahwa ada seorang laki-laki pada zaman Rasulullah saw. yang berpuasa ketika datang waktu pagi. Lalu pada sore harinya, tatkala waktu buka telah tiba, dia tidak mendapatkan sepotong makanan pun kecuali air. Sehingga dia hanya berbuka dengan air tersebut. Hal itu dijalaninya sampai tiga hari. Pada hari yang ketiga, ada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang mengetahui kondisinya itu. Maka laki-laki Anshar tersebut mengajaknya kerumahnya. Ketika sampai di rumahnya dia berkata pada istrinya, "Malam ini kita telah kedatangan tamu, apakah masih ada persediaan makanan?" Lalu istrinya menjawab, "Kita hanya punya satu porsi makanan". Padahal di rumah itu selain tamunya, ada mereka berdua yang juga baru mengerjakan puasa serta anak mereka yang masih kecil. Kemudian dengan bijak laki-laki Anshar tersebut berkata pada istrinya, "Kita akan memberikan makanan itu kepada tamu kita. Oleh karenanya, kita harus bersabar untuk tidak makan malam ini. Adapun anak kita, usahakan agar dia tidur sebelum waktu makan malam tiba. Lalu jika makanan telah siap untuk dihidangkan, matikanlah lampu supaya tamu kita itu melihat seakan-akan kita juga ikut makan bersamanya, hingga dia leluasa makan sampai kenyang".
Setelah itu, istrinya pun langsung melaksanakan apa yang dikatakan suaminya. Dia datang dengan membawa tsaridah—nama makanan sejenis bubur daging— untuk disajikan kepada sang tamu. Kemudian dia mendekati tempat lampu seakan-akan ingin memperbaikinya, lalu mematikan lampu tersebut. Adapun suaminya, meskipun tidak makan, dia pura-pura meletakkan tangannya di atas nampan makanan, agar dikira ikut makan bersama tamunya. Sedangkan tamunya, dia dipersilahkan makan sampai kenyang.
Kemudian ketika waktu subuh tiba, laki-laki Anshar tersebut mejalankan shalat subuh berjamaah bersama Rasulullah saw.. Setelah selesai shalat, Rasulullah saw. menemuinya dan berkata kepadanya, "Allah telah berfirman,

"Dan mereka (orang-orang Anshar) itu mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)". (al-Hasyr: 9). Maksud dari firman Allah ini adalah bahwa orang-orang Anshar itu, rela memberikan apa yang mereka miliki, semisal makanan, kepada orang lain. Meskipun sebenarnya mereka juga dalam keadaan lapar. Allah juga berfirman,

"Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung". (al-Hasyr: 9).

TOBAT ANAK SEORANG RAJA

Bakar bin Abdullah al-Muzni berkata bahwa ada seseorang dari raja Bani Israil yang telah diberi panjang umur, banyak harta, dan banyak anak. Dan setiap kali anak-anak mereka besar, anak itu memakai baju bulu dan pergi ke gunung, memakan tumbuh-tumbuhan, dan melanglang negeri sampai datang ajalnya.
    Kemudian orang itu mendapat anak yang belum besar, maka dia memanggil kaumnya dan berkata kepada mereka, “Sesungguhnya aku telah mendapat anak yang belum besar dan kalian tahu bagaimana kekhawatiranku pada kalian. Aku takut jika anak ini nantinya akan mengikuti tindakan para kakak-kakaknya terdahulu, dan aku takut pada kalian jika tidak ada seorang dari anakku nanti setelah aku kalian akan binasa. Sebab itu, bawalah anakku ini semasa dia masih kecil, dan jadikan dia senang dengan dunia, semoga setelah aku nanti akan ada yang tersisa dari anakku yang tinggal bersama kalian.”
    Merekapun membangun tembok yang panjang baginya dan di dalamnya dia menghabiskan hari-harinya. Bakar bin Abdullah berkata, “Ketika anak itu besar, dia berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya aku menilai bahwa tembok ini mewariskan manusia dan alam yang lain, keluarkanlah aku dari sini agar aku bisa menambah ilmu dan bertemu dengan manusia.’”
    Hal itu disampaikan kepada ayahnya. Sang ayah pun terkejut dan khawatir kalau dia akan mengikuti jejak kakak-kakaknya. Kemudian dia berkata kepada mereka, “Kumpulkan dan sediakan untuknya semua alat permainan.”
    Mereka lalu melaksanakan perintah itu dan pada tahun berikutnya sang anak berkata kepada mereka, “Aku harus keluar.”
    Mereka pun memberitahukan hal itu kepada ayahnya, dan sang ayah berkata, “Keluarkan dia.”
    Kemudian mereka mengeluarkannya di atas sebuah kereta kuda yang dihiasi dengan batu-batu permata dan emas serta dikawal dengan dua barisan rombongan manusia yang ada di sekitarnya. Ketika dia berjalan, dia melihat seseorang yang terkena musibah seraya berkata, “Apa ini?”
    Mereka menjawab, “Seseorang yang terkena musibah.”
    Dia bertanya, “Apakah satu orang manusia terkena musibah ini tanpa orang lain atau semua takut untuknya?”
    Mereka menjawab, “Semua takut untuknya.“
    Dia berkata, “Dan juga aku yang aku mempunyai kekuasaan?”
    Mereka menjawab, “Ya.”
    Anak itu berkata, “Kehidupan kalian ini, ini adalah hidup yang kotor.”
    Kemudian dia pun pulang dengan perasaan gundah dan sedih, dan dia segera menceritakan kepada ayahnya. Sang ayah lalu berkata, “Kumpulkan untuknya semua alat-alat permainan dan hura-hura sampai rasa sedih dan gundah ini hilang dari hatinya.” Maka, dia pun di situ untuk beberapa saat, kemudian dia berkata, “Keluarkan aku.”
    Mereka mengeluarkannya seperti pada kesempatan pertama. Ketika dia berjalan, tiba-tiba dia melihat orang yang sudah tua sekali dan air liur si kakek tua itu mengalir dari mulutnya.
    Dia berkata, “Apa ini?”
    Mereka berkata, “Seseorang yang lanjut usia.”
    Dia berkata, “Ini menimpa seseorang tanpa orang lain atau semua takut kepadanya jika dia dipanjangkan umur?”
    Mereka menjawab, “Semua takut kepadanya.”
    Dia berkata, “Ih… kehidupan kalian ini, ini adalah kehidupan yang tidak membuat kerasan seseorang.”
    Mereka pun menceritakan hal itu kepada ayahnya, kemudian sang ayah berkata, “Kumpulkan semua alat mainan dan hura-hura untuknya.”
    Mereka pun melaksanakan perintah dan sang anak pun tinggal beberapa lama, kemudian dia pergi dan keluar seperti sebelumnya. Dalam perjalanannya dia melihat sebuah tempat tidur yang sedang dibawa di atas punggung beberapa orang seraya dia bertanya, “Apa ini?“
    Mereka menjawab, “Seseorang yang sudah mati.”
    Dia bertanya kepada mereka, “Apa itu mati? Bawa dia padaku.”
    Mereka pun membawakannya orang yang sudah mati itu.
    Dia berkata, “Dudukkan orang ini.”
    Mereka menjawab, “Dia tidak bisa duduk.”
    Dia bertanya, ”Ajak dia bicara.”
    Mereka menjawab, “Dia tidak bisa bicara.”
    Dia bertanya, “Mau dibawa ke mana orang ini?”
    Mereka menjawab, “Kami akan menguburkannya di tanah.”
    Dia bertanya, “Apa yang akan dia alami setelah itu?”
    Mereka menjawab, “Al-Hasyr, kebangkitan.”   
    Dia bertanya, “Apa itu kebangkitan?”
    Mereka menjawab, “Yaitu suatu hari yang pada hari itu  manusia akan menghadap Tuhan semesta alam, dan masing-masing manusia akan diberi balasan sesuai dengan kebaikan atau kejahatan yang telah dilakukan.”
    Dia bertanya, “Jadi kalian mempunyai negeri selain negeri kalian ini dan akan menuju ke sana?”
    Mereka menjawab, “Ya, betul.”
    Maka, anak muda itu melemparkan dirinya dari atas kuda. Dia lantas menyungkurkan mukanya ke tanah seraya berkata kepada mereka, “Ini yang aku khawatirkan. Ini hampir saja datang kepadaku sementara aku tidak mengetahuinya. Demi Tuhan Yang selalu memberi dan akan membangkitkan serta akan memberi balasan, sesungguhnya ini menjadi akhir kebersamaan antara aku dan kalian. Setelah ini kalian tidak akan lagi mencampuri urusanku.”
    Mereka berusaha untuk mengembalikannya kepada dunia mereka namun dia tetap menolak hal itu. Dia pun segera meninggalkan mereka dan mereka mengembalikannya kepada ayahnya seraya sang ayah berkata kepadanya,  “Wahai anakku, apa yang membuat perasaan cemas ini?”
    Dia menjawab, “Rasa cemasku hari ini adalah dengan suatu hari nanti ketika manusia yang kecil dan besar akan mendapatkan balasannya dari apa yang telah diperbuatnya, entah itu kebaikan ataupun kejahatan.”
    Dia segera meminta baju dan pakaiannya kemudian memakainya seraya berkata, “Aku bertekad akan keluar di malam hari.”
    Dan benar di tengah malam dia keluar dari istananya, ketika dia keluar dari pintu istana dia berkata, “Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu sebuah perkara yang aku tidak memiliki sedikit atau banyak, takdir-Mu telah menentukan itu lebih dahulu. Ya Allah ya Tuhanku, aku tahu bahwa air itu bersama air dan tanah itu dalam tanah, aku belum pernah melihat dunia ini dengan mataku satu pandangan saja.”33
    Anak muda itu akhirnya menjadi orang yang zuhud dan meninggalkan kemewahan ayahnya serta kerajaannya. Dia tekun beribadah dengan bergabung dengan para kakak-kakaknya. Hal itu terjadi setelah dia tahu akan hakikat yang selalu diupayakan untuk ditutup-tutupi oleh ayahnya.

Seorang Ahli Ibadah dari Kufah dan Keridhaannya kepada Qadha Allah

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Seorang ahli ibadah dari Kufah yang berasal dari daerah Hamdan berkata, “Saya tidak mengharapkan kematian kecuali karena mengingat perjumpaan dengan Allah. Saya menginginkan kematian karena mengharap barakah dan kebahagiaan dari perjumpaan dengan Allah ‘azza wajalla itu”.
Sufyan berkata, “Orang-orang berkata bahwa orang itu pernah berkata, “Jika saya ingat pertemuanku dengan Allah, maka saya lebih menginginkan kematian dari pada keinginan orang yang sangat kehausan di hari yang amat panas kepada minuman yang sangat dingin”. 

Putri Nu

Umar Kahalah dalam kitabnya A’lamun Nisa` menyebutkan sebuah kisah tentang Hindun binti Nu’man bin Basyir r.a. dengan penguasa zalim yang terkenal, Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi pada masa kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan (seorang Khalifah Bani Umayyah).
Ada yang menceritakan kepada Hajjaj ats-Tsaqafi tentang kecantikan dan kemolekan Hindun binti Nu’man bin Basyir r.a. Maka, Hajjaj berniat untuk meminangnya. Dia kirimkan harta dan perhiasan yang banyak dan dia janjikan uang sejumlah dua ratus ribu dirham untuknya sebagai mahar. Hindun menyetujuinya karena takut akan kezaliman dan kekerasannya. Akhirnya, Hajjaj menikahinya.
Suatu kali Hajjaj masuk ke kamar istrinya. Hindun tidak menyadari kedatangan Hajjaj karena dia sedang berkaca. Dia melantunkan syair-syair berikut ini.

Hindun tak lain hanyalah seorang wanita Arab yang dibeli oleh mahar
Ibarat kuda yang kawin dengan keledai
Kalau  dia melahirkan kuda itulah karunia Allah
Tetapi jika  dia melahirkan keledai, itu karena  dia dari keledai

Ketika Hajjaj mendengar ucapannya itu dia segera keluar tanpa sepengetahuan istrinya. Hajjaj telah bertekad untuk menceraikannya. Dia utus Abdullah bin Thahir bersama uang sejumlah dua ratus ribu dirham sebagai maharnya yang dibayar belakangan. Hajjaj berpesan kepadanya, “Ceraikan  dia dengan dua kalimat saja dan jangan lebih.”

Ibnu Thahir datang menemuinya di balik hijab dan berkata kepadanya, “Abu Muhammad (maksudnya Hajjaj) berpesan kepadamu, ‘Kunti Fabinti’  dan ini uang dua ratus ribu dirham yang sudah menjadi hakmu.”
Hindun berkata, “Ketahuilah wahai Ibnu Thahir, benar bahwa kami sebelumya adalah istrinya, tetapi kami tidak mensyukuri hal itu dan sekarang kami diceraikan dan kami tidak menyesalinya. Adapun uang dua ratus ribu dirham ini ambillah olehmu sebagai tanda gembira dan syukur atas terbebasnya diriku dari Hajjaj.”
Ketika berita itu sampai kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan diceritakan juga kepadanya kecantikan Hindun, Khalifah mengutus orang untuk meminangnya. Hindun membalasnya dengan sepucuk surat yang isinya, “Ketahuilah wahai Amirul Mukminin bahwa bejana telah dijilat oleh anjing.”
Ketika Khalifah membaca surat itu, dia tertawa dan menulis balasannya, “Kalau bejana kalian dijilat anjing, maka cucilah sebanyak tujuh kali salah satunya dengan tanah. Cucilah bejana itu agar halal untuk digunakan.”

Ketika Hindun membaca balasan suratnya, dia tidak mungkin melawan perintah Khalifah, sehingga dia akhirnya menulis surat balasan yang isinya, “Wahai Amirul Mukminin, demi Allah aku tidak akan melakukan akad,  kecuali dengan satu syarat. Kalau kau tanya apa syaratnya aku katakan, ‘Hajjaj yang harus menggiring untaku dari Ma’arrah (sebuah daerah di Syam) sampai ke istanamu. Dia harus berjalan kaki dan tidak mengenakan satu perhiasan apapun sebagaimana biasanya.’”
Setelah membaca surat itu Khalifah tertawa dan dia memerintahkan Hajjaj untuk melakukan hal itu dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Hindun binti Nu’man.
Hindun bersiap-siap untuk berangkat. Dia segera menaiki untanya dalam sebuah kafilah pengantin yang besar. Hajjaj ats-Tsaqafi segera memegang kekang unta itu dan berjalan di tengah padang pasir dari kampungnya, Ma’arrah. Di tengah perjalanan Hindun melemparkan sebuah dinar ke tanah lalu dia berteriak, “Wahai kusir unta (maksudnya adalah Hajjaj ats-Tsaqafi yang bertugas menggiring untanya), dirham kami terjatuh ke tanah, tolong ambilkan!”
Hajjaj melihat ke tanah dan yang dia lihat hanya dinar. Dia berkata, “Itu dinar!”
Hindun berkata, “Tidak, yang jatuh tadi dirham.”
“Dinar,” bantah Hajjaj.

Akhirnya Hindun berkata, “Segala puji bagi Allah, yang jatuh dirham, tetapi digantinya dengan dinar.”
Hajjaj baru mengerti maksudnya. Dia menjadi sangat malu. Dia terus diam dan tak ingin menjawab ucapan Hindun. Akhirnya, Hindun sampai ke istana Khalifah dan menikah dengannya.

TOBAT SEORANG PENCURI YANG MATI SYAHID

Malik bin Raib adalah seorang dari Mazin Tamim. Pekerjaannya adalah merampok di jalan dan mencuri harta milik orang lain. Yang dilakukannya tidak lain hanyalah menjegal rombongan kafilah di jalan Persia. Ketika Sa’id bin Utsman bin Affan menjabat sebagai amir di Khurasan, suatu hari dia menemui Malik bin Raib yang sedang berada di tengah teman-teman gerombolannya. Dia adalah orang Arab paling tampan dan paling fasih dalam berbicara hingga penguasa baru itu berkata kepadanya,    “Kurang ajar kamu, wahai Malik. Apa yang membuatmu melakukan permusuhan dan merampok di jalan seperti yang selama ini aku dengar?”
    Malik menjawab, “Semoga Allah memperbaiki urusanmu. Itu kulakukan karena ketidakmampuan untuk memberi imbalan kepada para teman-temanku.”
    Sa’id berkata, “Jika aku memberi kamu harta dan menjadikanmu sebagai temanku, apakah kamu akan berhenti dari apa yang selama ini kamu kerjakan dan kamu mau bertobat kepada Allah dengan taubatan nasuha serta kamu mau mengikutiku?”
    Malik berkata, “Ya, semoga Allah memperbaiki urusan amir.”
    Kemudian amir itu pun memberinya lima ratus dinar setiap bulan, menyertakannya dalam beberapa peperangan dan berjihad di jalan Allah. Hingga, Malik bin Raib berjuang dengan semangat dan gigih sehingga Allah swt. memuliakannya dengan mati syahid di jalan-Nya. Mahasuci Allah Yang Mahaagung, Yang Mahakuasa membalikkan hati hingga menjadikan pencuri itu sebagai syahid di jalan-Nya.