Ibrahim al-Harbi dan Keridhaannya kepada Allah

Ibrahim al-Harbi berkata, “Saya tidak pernah mengadukan demam yang saya derita kepada ibu, saudari, istri ataupun anak-anak saya. Lelaki adalah orang yang mampu menyembunyikan kesusahannya dan tidak menyusahkan keluarganya.
Saya menderita pusing kepala sebelah ( migran ) selama empat puluh lima tahun dan saya tidak pernah memberitahukannya kepada seorang pun. Dan selama dua puluh tahun saya melihat dengan satu mata, dan saya tidak pernah memberitahukannya kepada orang lain. Dan selama tiga puluh tahun saya lewatkan dengan makan dua potong roti. Jika ibuku atau saudara perempuanku datang membawakannya, maka saya pun memakannya. Jika mereka tidak datang membawakannya, maka saya pun menahan lapar dan dahaga hingga esok malam.
Saya juga pernah menanggung kebutuhan orang lain, hingga akhirnya kami kehabisan makanan pokok. Maka istriku pun berkata, “Anggaplah kita berdua bisa bersabar, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan terhadap dua gadis kecil kita ini? Maka berikan padaku sebagian bukumu, lalu kita jual atau kita gadaikan”.
Namun saya merasa sayang untuk melakukannya. Maka saya katakan kepada istriku, “Kita cari hutangan saja untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua, dan berilah saya kesempatan hingga satu hari satu malam lagi”.
Ketika itu kami mempunyai rumah kecil di lorong rumah kami yang di dalamnya terdapat buku-buku saya. Di sanalah saya menyalin dari buku lain dan meneliti. Ketika saya sedang berada di dalam rumah kecil itu, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Lalu saya bertanya kepadanya, “Siapa itu?” Dia menjawab, “Salah seorang tetanggamu”.
Maka saya katakan kepadanya, “Masuklah”.
Dia berkata, “Matikanlah lampunya, maka saya akan masuk”.
Maka saya pun menutupi lampu yang ada di dalam rumah saya, lalu saya katakan kepadanya, “Masuklah”.
Lalu dia pun masuk dan meninggalkan sesuatu di samping saya dan langsung pergi. Lalu saya membuka penutup lampu. Ketika itu saya melihat sebuah selendang yang mahal yang di dalamnya terdapat bermacam-macam makanan dan lima ratus uang dirham. Maka saya pun segera memanggil istri saya, dan saya  katakan kepadanya, “Bangunkanlah anak-anak dan suruh mereka makan”. Keesokan harinya kami pun melunasi hutang kami dengan uang dirham tersebut. Dan hari-hari itu adalah saat-saat kedatangan orang-orang dari Khurasan untuk menunaikan haji. Ketika pada malam berikutnya, di saat saya sedang duduk di depan rumah, seseorang menuntun dua ekor onta yang membawa barang muatan di punggungnya. Orang itu bertanya-tanya tentang rumah al-Harbi. Ketika sampai kepada saya, saya katakan kepadanya, “Saya Ibrahim al-Harbi”. Lalu dia pun menurunkan muatan dari kedua onta tersebut dan berkata, “Barang-barang ini diberikan oleh seorang dari Khurasan untukmu”.
Maka saya pun bertanya kepadanya, “Siapakah dia?”
Dia menjawab, “Maaf, dia telah menyumpah saya untuk tidak mengatakan siapa dia”.
Saya ( penulis ) berkata, “Inilah buah dari keridhaan kepada Allah ta’ala. Maka barang siapa yang ridha dengan qadha Allah, maka Allah ridha kepadanya dan hamba-hamba Allah pun akan mencintainya. Dan barang siapa tidak terima dengan qadha Allah, maka Allah membencinya dan hamba-hamba-Nya pun juga benci kepadanya.
Dan Allah mempunyai kehendak tersendiri atas setiap makhluk-Nya.

0 comments:

Post a Comment