Syahid yang Dimakan Burung

Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan dari Abu Qudamah asy-Syami rahimahullah, Dia berkata, “Di salah satu peperangan, aku pernah menjadi pemimpin salah satu pasukan Muslimin. Aku datang ke sebuah kota lalu aku ajak manusia untuk berperang dan aku dorong mereka untuk jihad fi sabilillah serta pahala yang besar dan kenikmatan abadi yang Allah sediakan untuk para mujahidin. Setelah mendengar ajakanku, orang-orang itu bubar.
Aku lalu menunggangi kudaku dan pulang menuju rumahku. Tiba-tiba aku melihat seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan sambil berteriak, ‘Wahai Abu Qudamah... wahai Abu Qudamah....’
Aku berkata dalam hati, ini adalah tipu daya setan untuk memfitnahku. Maka, aku pun terus melangkah tanpa menoleh sama sekali padanya. Wanita itu berkata, ‘Tidak begini seharusnya seorang yang saleh.’
Saat mendengar ucapannya itu, aku segera berhenti. Dia melangkah menujuku dan mengacungkan sehelai surat dan sebuah bungkusan yang diikat, lalu dia melangkah pergi sambil menangis. Aku lihat surat itu, ternyata isinya, ‘Sesungguhnya kamu telah menyeru kami untuk berjihad dan mendorong kami untuk mengejar pahala. Sementara, aku hanyalah seorang wanita yang tidak mampu untuk keluar langsung. Maka, aku potong sesuatu yang paling berharga pada tubuhku, yaitu kedua jalinan rambutku. Aku berikan kepadamu untuk kamu jadikan tali kekang kuda para mujahid fi sabilillah, semoga Allah melihat rambutku menjadi tali kekang kuda di jalan-Nya, sehingga Dia mau mengampuniku.’
Pada pagi hari peperangan, aku melihat seorang remaja di dalam barisan pasukan berperang dengan penuh keberanian dan tangguh. Aku mendekatinya dan berkata kepadanya, ‘Wahai anak muda, kamu masih terlalu muda dan berperang dengan berjalan kaki tanpa kuda, dan aku merasa khawatir kamu akan terinjak oleh kuda-kuda pasukan, maka sebaiknya mundurlah dari sini.’
Dia berkata, ‘Apakah kamu menyuruhku untuk mundur sementara Allah swt. telah berfirman,
KHAT
“Wahai orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu berbalik membelakangi mereka (mundur). Dan barangsiapa mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahanam, dan seburuk-buruk tempat kembali.” (al-Anfaal: 15—16)

Aku merasa kagum melihat keberanian dan ketegarannya, lalu aku menaikkannya ke atas untaku. Dia berkata, ‘Wahai Abu Qudamah, pinjamkanlah kepadaku tiga buah panah.’
Aku berkata, ‘Apakah ini dipinjamkan?’
Dia terus mendesakku hingga akhirnya aku menerima juga permintaannya. Aku berkata kepadanya, ‘Dengan syarat seandainya Allah mengaruniakan syahadah pada kita, aku berada dalam syafaatmu di hari Kiamat nanti.’
‘Baik,’ katanya.
Lalu aku memberikannya tiga buah panah. Dia letakkan satu panah di busurnya lalu dia berkata, ‘Salam untukmu wahai Abu Qudamah.’
Panah itu dilepaskannya dan dapat membunuh seorang pasukan Romawi. Kemudian dia ambil satu lagi dan dia berkata, ‘Salam untukmu, wahai Abu Qudamah.’ Panah itu pun dapat membunuh seorang musuh lagi. Lalu, dia ambil yang terakhir dan dia berkata, ‘Salam untukmu wahai Abu Qudamah, salam perpisahan.’
Tiba-tiba, sebuah panah melesat ke arahnya dan mengenai tepat di antara kedua matanya. Dia lalu meletakkan kepalanya di atas buntalan bekalnya. Aku melangkah ke dekatnya dan berkata kepadanya, ‘Jangan lupa yang tadi.’
Dalam keadaan bercucuran darah dia berkata, ‘Baik, tetapi aku minta tolong kepadamu, jika kamu sudah sampai di Madinah temuilah ibuku dan berikan barang-barang milikku ini kepadanya, lalu ceritakanlah kepadanya kisahku.’
Abu Qudamah berkata, ‘Tetapi, beritahukan dulu kepadaku siapa ibumu, dan bagaimana caranya aku untuk mengetahuinya di antara sekian banyak wanita di Madinah?’
Dia berkata, ‘Ibuku adalah yang telah memberikan kepadamu rambutnya untuk dijadikan tali kekang kuda fi sabilillah. Sampaikanlah salam kepadanya, karena di tahun sebelumnya dia diuji dengan kematian ayahku dalam jihad dan di tahun ini dia diuji lagi dengan kematianku.’
Kemudian dia wafat. Setelah perang usai, aku gali kuburan untuknya. Ketika kami hendak melangkah tiba-tiba jasadnya dilemparkan oleh bumi. Sahabat-sahabatku berkata, ‘Dia masih sangat muda, barangkali dia pergi tanpa izin ibunya sehingga bumi menolaknya dan tidak menerimanya.’
Aku berkata, ‘Sesungguhnya bumi menerima jasad yang lebih buruk lagi.’
Kami tidak tahu apa yang mesti kami lakukan. Tiba-tiba datanglah sekelompok burung putih lalu memakan jasad anak itu. Kami hanya bisa melihat terpaku, tak ada seorang pun di antara kami yang berani mendekat.
Sesampai di Madinah aku segera pergi menuju rumah ibunya. Setelah aku ketuk pintu, keluarlah saudari anak itu. Ketika melihatku, dia kembali masuk dan memanggil ibunya, ‘Ibu, ini Abu Qudamah datang, tetapi tidak bersama saudaraku.’
Ibunya keluar dan dia berkata, ‘Apakah kamu datang untuk berbelasungkawa atau untuk menyampaikan ucapan selamat?’
‘Maksudnya apa?’ tanyaku keheranan.
‘Kalau anakku mati hiburlah aku, tetapi kalau dia syahid maka berilah aku ucapan selamat.’
‘Anakmu sudah syahid.’
‘Dia mempunyai bukti, apakah kamu melihatnya?’ tanyanya.
‘Ya, jasadnya tidak diterima bumi, kemudian datanglah sekelompok burung lalu memakan dagingnya dan membiarkan tulangnya, maka aku hanya dapat menguburkan tulang-tulangnya saja.’
Ibu itu berkata, ‘Alhamdulillah.’

Kemudian dia melanjutkan, ‘Setiap malam, anakku selalu berada di mihrab melaksanakan shalat, dia bermunajat dan bermunajat dengan penuh khusyu. Dia berdoa dalam munajatnya, ‘Ya Allah, bangkitkanlah aku nanti dari dalam perut burung.’ Segala puji bagi Allah yang telah mengabulkan doanya.’ 
Demikianlah, wanita itu memperoleh apa yang dia angankan berupa pahala, dan anaknya juga telah memperoleh apa yang diinginkan ketika Allah memperkenankan doanya. Itulah ciri orang-orang yang saleh.”

0 comments:

Post a Comment