Gagak Dua Putera Nabi Adam

"Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?"
(Surat Al-Maidah: 31)

Semua yang ada di atas bumi akan memutih dan berubah kecuali bulu burung gagak. Siapa yang melihat apa yang kami lihat dan dapat menanggungnya niscaya ia tak akan berubah walau apapun yang ia lihat setelah itu.
Sebagai makhluk, akulah saksi satu-satunya dalam kasus pembunuhan pertama yang terjadi di muka bumi. Aku telah menyaksikan darah manusia pertama yang ditumpahkan secara zalim dan aku tahu Allah Maha Mendengar, Melihat dan Menyaksikan.

Hari itu betul-betul mencekam. Aku tahu syetanlah penyebab segalanya. Alangkah anehnya perbuatan syetan itu dan alangkah mudahnya anak-anak Adam tunduk padanya. Manusia mencintai Allah tapi juga mendurhakaiNya. Mereka membenci syetan tapi juga mematuhinya. Alangkah anehnya makhluk bernama manusia ini dan alangkah jelasnya tolak belakang tabiatnya. Namun demikian alangkah agungnya santun dan kasih Allah padanya... Aku sedikit emosi jadi mohon maaf...

Manusia berkata tentang hari-hari kelam yang mereka alami: "Hari-hari yang kelam, lebih kelam dari bulu gagak..." Aku tahu warna burung gagak yang hitam kurang disukai manusia meskipun sebenarnya bulu gagak yang paling hitam sekalipun tidak akan lebih hitam dari hati manusia yang hitam dan kelam. Aku tahu manusia memperolok-olok gaya jalan gagak yang berjalan berjingkat-jingkat seperti orang gila yang berjalan di atas bara, melompat-lompat dan tidak tenang langkahnya.
Kita anggap saja gaya jalan kami memang aneh. Anggaplah kami melompat-lompat dan berjingkat-jingkat, tapi bukankah hal ini sesuatu yang normal setelah kami menyaksikan kezaliman manusia pada saudaranya sendiri?

Sebelum manusia diciptakan, kami berjalan bagai raja di muka bumi dengan warna kami yang hitam dan gaya jalan kami yang melompat-lompat. Kemudian kami saksikan seorang saudara membunuh saudaranya sendiri, sehingga gaya jalan kami berubah karena dahsyatnya peristiwa yang kami saksikan, akhirnya anak cucu kami mewarisi cacat ini selama-lamanya. Itu sudah menjadi sebuah ketetapan...

Manusia meyakini bahwa suara gagak sangat jelek. Jika ada gagak yang berteriak di atas pohon, manusia segera menjauh dan berfirasat buruk. Boleh jadi suara kami memang kurang indah dibanding suara burung bul-bul, tapi suara kami tak ada hubungannya dengan kesialan dan firasat buruk. Firasat buruk adalah kata-kata manusia yang memang sejalan dengan perangai mereka sendiri.
Sering terjadi, ada manusia berperangai buruk dan aneh, ketika ia mendengar seekor gagak bersuara di atas pohon, ia akan segera lupa pada perangainya dan hanya ingat pada suara gagak tersebut lalu ia akan berfirasat buruk... Sebuah siasat kuno yang sering digunakan anak Adam, dan tak ada makhluk seperti mereka yang bisa menipu dirinya sendiri sedemikian rupa.

Bangsa manusia menuduh bangsa gagak sebagai makhluk pencuri, perampas dan durhaka pada orang tua serta keluarga. Manusia berkata tentang kami bahwa kami mencuri celak mata dan sabun dari atap rumah mereka, padahal kami tidak pernah tahu sama sekali apa celak itu dan kami juga tidak menggunakan sabun ketika mandi. Kami tak butuh semua itu. Badan dan pikiran kami dalam keadaan sangat kotor pun tidak butuh semua itu. Aku mohon maaf dengan gaya bahasaku yang sedikit pedas. Siapa yang merasakan seperti yang kurasakan sangat wajar kehilangan sikap tenang.

Aku adalah hakim dalam dunia gagak dan saksi dalam dunia manusia. Hakim akan kehilangan sikap adilnya ketika ia kehilangan ketidakberpihakan dan akal sehatnya sehingga ia akan memihak.

Aku telah memainkan kedua peran itu sekaligus; sebagai hakim dalam dunia gagak yang selalu bersikap adil, mengontrol emosi dan ketidakberpihakan pada siapa saja. Tapi ketika aku turun sebagai saksi dalam dunia manusia tanggallah mahkota hakim sehingga aku lepas kontrol dan selalu bersuara. Lalu Allah mengutusku untuk mengajarkan anak Adam sebuah pelajaran tentang rasa kasih.

Hari itu aku berkata pada Qabil dengan suara tajam: "Kami tahu engkau dan pembunuh. Meski begitu engkau tidak tahu, meskipun engkau seorang manusia yang dianggap memiliki ilmu tetapi engkau bodoh dan tak sadar dengan kebodohan itu, engkau tak tahu bagaimana menguburkan bangkai saudaramu..."

Aku masih saja emosional jadi mohon maaf. Terkadang aku mencoba merenungkan peristiwa itu secara lebih tenang dan adil layaknya para hakim. Kezaliman seakan sudah menjadi bagian dari tabiat para makhluk. Ini benar. Terkadang salah seekor burung gagak berbuat sesuatu yang merugikan kelompok, maka di saat itu diadakanlah mahkamah pengadilan. Sudah dikenal, burung gagak memiliki mahkamah pengadilan yang komitmen pada undang-undang keadilan. Pengadilan ini akan digelar ketika salah seekor gagak mencuri sarang gagak yang lain atau berusaha merampas betina gagak lain, ataupun merebut makanan gagak-gagak kecil.

Setiap kesalahan dari kesalahan-kesalahan tersebut mempunyai hukuman tersendiri. Dalam kasus pencurian sarang, kami cukup memusnahkan sarang yang dicuri lalu kami akan berteriak mencela pencuri itu habis-habisan kemudian mengharuskannya membangun sarang baru untuk burung gagak si empunya sarang. Dalam kasus merebut betina gagak yang lain kami akan membunuh si tertuduh dengan paruh kami beramai-ramai. Dalam kasus merebut makanan anak gagak, kami akan melucuti bulu si tertuduh sehingga ia akan tampak seperti anak gagak tanpa sehelai bulupun. Terkadang hukuman dicela atau cabut bulu ditambah lagi dengan hukuman diusir dari kelompok gagak.

Biasanya mahkamah pengadilan gagak digelar di lapangan terbuka atau daerah yang luas. Di sana gagak yang telah hadir lebih dahulu menunggu gagak lain yang belum datang. Penungguan ini akan berlangsung selama berhari-hari dan bermalam-malam sampai semua jumlah yang hadir lengkap. Setelah itu kami akan menggiring si tertuduh dengan penjagaan yang ketat, lalu dimulailah pengadilan. Para gagak mulai menggaok (suara gagak, pent) secara bersama-sama dan dibalas oleh si tertuduh. Para saksi akan segera menyahut dengan suara yang sama lalu mengepakkan sayap mereka dalam keadaan marah. Si tertuduh akan kembali menggaok lalu mengepakkan sayapnya. Kemudian ia akan mengapit kedua sayapnya sambil menekurkan kepala dan ia berhenti menggaok.
Inilah pengakuan terhadap sebuah kesalahan. Setelah itu keluarlah vonis dari sang hakim maka seluruh gagak akan segera melompat menyerang si tertuduh lalu beramai-ramai mencabik-cabik badannya dengan paruh mereka sampai mati. Kemudian terdengarlah suara gaok para gagak bersahutan sambil terbang di angkasa. Salah seekor gagak akan membawa si tertuduh yang telah menjadi bangkai itu untuk dikuburkan.

Gagak yang telah jadi bangkai itu memang bersalah, namun demikian kematian tetap merupakan sebuah hal yang sakral sehingga tubuh bangkai itu mesti dikuburkan. Begitulah, para gagak bisa berlaku adil dalam kedua kondisi; hidup dan mati. Keadilan dalam bangsa para gagak merupakan insting yang paling kuat. Pada dasarnya, keadilan dalam dunia manusia adalah sesuatu yang diperoleh setelah lahir dan bersifat relatif, sementara dalam dunia gagak keadilan adalah sesuatu yang fitri (pembawaan sejak lahir) dan bersifat mutlak.

Ada beberapa undang-undang pokok yang tidak akan pernah berubah dan berganti dalam dunia kami para gagak. Siapa yang melanggar undang-undang itu berarti keluar dari korps gagak dan layak dibuang bahkan dibunuh. Undang-undang tersebut bukanlah buatan burung gagak tapi merupakan sebuah ketentuan dari Allah dan telah ia letakkan dalam fitrah serta tabiat kami. Kami tak pernah membuat undang-undang untuk diri kami sendiri. Kami tahu bahwa jiwa lebih cendrung pada hawa nafsu dan lebih berpihak pada kemaslahatan nafsu itu. Ia melihat batang kayu di kedua matanya sebagai sebuah ranting kecil, sementara ranting di mata orang lain ia lihat sebagai sebuah pohon besar. Burung gagak telah melewati semua ini menuju pantai kedamaian, ketika ia menyerah pada undang-undang sang Pencipta. Sesungguhnya pembuatan undang-undang memerlukan bersih dan bebas dari hawa nafsu, tapi makhluk mana yang bebas dari hawa nafsu selain para malaikat.

Menyebut kata-kata malaikat mengingatkanku pada hari-hari pertama penciptaan.

Saat itu bumi penuh kedamaian sebelum manusia turun menghuninya.
Ombak laut tenang tanpa gangguan kapal, udara bersih tanpa sentuhan badan manusia, dan seluruh wilayah di muka bumi belum pernah diinjak oleh kaki-kaki manusia. Dunia masih suci belum dinodai oleh kebohongan apapun. Semuanya melantunkan kejujuran.

Gunung-gunung diselimuti salju putih di bawah sinar mentari yang damai, lautan bersinar dan ombaknya yang biru dan berbuih naik turun, dari ladang-ladang yang hijau terciumlah aroma segar yang menyebar di udara, semuanya sangat indah bagai sihir. Meski demikian ada sesuatu yang merusak pemandangan dan mengurangi makna semua keindahan itu. Ketika seorang manusia menginjakkan kakinya di bumi ditengah-tengah segala keindahan ini sambil mengangkat kedua tangannya dan memohon pada Allah.

Ketika itu tampaklah makna yang sesungguhnya di balik penciptaan semua keindahan ini. Segala sesuatu akan kurang indah tapi memiliki makna yang lebih dalam ketika ia pernah mengetahui, lalu bersalah kemudian memohon pertolongan. Ini sudah menjadi tabiat sebuah pengetahuan. Pada awalnya kesucian akan sedikit tergores tapi setelah itu lahirlah pengetahuan. Para malaikat Allah sangat menikmati kesucian secara sempurna sementara manusia kesuciannya telah tergores di dalam syurga. Kesucian itu telah dirampas oleh syetan karena sebuah hikmah yang maha agung dibaliknya yaitu untuk menghuni dan memakmurkan bumi. Kami tahu kalau manusia telah datang dari syurga.

Pada awalnya air mata bercucuran...
Tangisan Adam dan Hawa di permukaan bumi menjadi pemandangan yang sangat memilukan. Dari suara tangis mereka kami dapat menangkap makna sebuah dosa, kedurhakaan dan taubat yang jujur.

Saat itu Adam menetap dalam taubat -kalau ungkapan ini benar-.
Alangkah agung wajahnya yang penuh wibawa. Di kedua matanya terpancar kasih kebapakan yang menyapu segala sekat dan tak terbatas pada satu anak atau generasi, sementara Hawa adalah ibu untuk seluruh wanita di muka bumi.
"Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri sendiri, seandainya Engkau tidak mengampuni kami niscaya kami akan menjadi orang-orang merugi". Itulah doa mereka pada Allah.

Hawa melahirkan anak untuk pertama kalinya. Manusia tidak bertelur seperti kami bangsa burung tapi melahirkan. Pada kelahiran pertama, hawa melahirkan seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan. Pada kelahiran kedua ia juga melahirkan seorang laki-laki dan perempuan. Anak lelaki dari kelahiran pertama halal untuk anak perempuan dari kelahiran kedua. Pada kelahiran pertama Hawa melahirkan Qabil dan saudarinya Iqlima sementara pada kelahiran kedua ia melahirkan Habil dan saudarinya Layutsa. Semua saudara itu tumbuh dewasa.

Habil turun dari lereng bukit sambil tertawa. Wajahnya bersinar dengan cahaya kanak-kanak umur delapan tahun. Di belakangnya Qabil berusaha mengejarnya sambil memegang sebuah tongkat kayu. Keduanya sedang bermain seperti biasanya.
Aku tidak tahu kenapa salah satu di antara mereka tampak lebih lembut seperti tumbuh-tumbuhan ladang yang hijau, sementara satunya lagi sangat kasar seperti duri pegunungan. Ketika bermain, Qabil sering memilih peran sebagai pemburu sementara Habil sebagai mangsa. Habil berusaha menjaga permainan, sementara kedua mata Qabil selalu memancarkan kebencian sambil melayangkan pukulan pada Habil dengan apa saja yang ada di tangannya. Awalnya Habil masih tertawa. Tawanya terdengar di antara lereng gunung dan pepohonan bagaikan gemercik mata air yang menyimpan kejernihan dan kedamaian. Sementara Qabil tetap kasar sambil memegang tongkat kayu dengan kedua tangannya dan bukan sebelah tangan, kemudian wajah Habil berubah dari gembira menjadi pedih dan suara tawanya berakhir seperti sebuah teriakan.
Adam segera bergegas menuju keduanya dan ia mendapati Habil sedang terluka sementara Qabil terus memukulnya. Adam berteriak: "Qabil, apa yang kau lakukan pada Habil saudaramu?"

"Kami sedang bermain dan Habil memillih peran sebagai mangsa", jawab Qabil.
Adam menghardik Qabil lalu memisahkan kedua bersaudara itu. Sambil terus mengajari Qabil, Adam membersihkan luka anaknya yang baik, Habil. Lalu ia menerangkan bahwa keduanya adalah saudara kandung yang terlahir dari ibu yang sama, hidup di bumi yang sama, maka sepantasnyalah keduanya disatukan dalam rasa cinta bukan kebencian. Yang paling mengherankanku adalah Qabil terus menutup mulut kasarnya dan tidak membela dirinya sementara Habil membela saudaranya dan memohon pada bapaknya untuk memaafkan keduanya.

Dalam usia dua puluh tahun.

Tangan Qabil mendarat keras di wajah Habil, lalu ia membentak: "Ini gubukku!" Jari-jari tangannya meninggalkan jejak merah yang sangat jelas di pipi saudaranya, Habil, sehingga kedua matanya mengeluarkan air mata panas. Merasa tak bersalah Habil berkata: "Lihatlah kedua tanganku telah bercucuran keringat dan darah untuk membangun gubuk ini..."

"Kau tak boleh tinggal di gubuk ini setelah matahari terbenam, itulah keputusan Qabil...", kata Qabil tegas.
Dengan lembut Habil menjawab, ia ingin mengucapkan kata-kata: "Aku mencintaimu Qabil tapi kenapa...?" Qabil hanya mendengar sekilas, ia sudah meninggalkan tempat itu.
Aku tak melihat Habil menceritakan peristiwa itu pada Adam. Aku tak tahu kenapa? Bisa jadi ia merasakan bahwa hati bapaknya sudah penuh kesedihan akibat tingkah laku dan perangai Qabil, sehingga ia khawatir hal itu akan membuatnya bertambah sedih. Bisa jadi juga ia berkata pada diri sendiri bahwa ancaman Qabil itu tak perlu dihiraukan.

Ketika matahari terbenam, Habil terkejut melihat saudaranya Qabil mendobrak gubuknya dan tangannya menggenggam batu besar yang runcing.
Sebelum Habil sempat membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, batu itu sudah merobek dahinya dan memuncratkan darah segar. Ia diangkat oleh Qabil lalu dibuangnya keluar gubuk. Habil membalut lukanya dengan rerumputan lalu tidur di tempatnya. Adam terkejut melihat anaknya tidur di luar gubuknya. Ia tambah terkejut melihat darah yang membeku di dahinya.
Adam kemudian berteriak seperti teriakan biasanya meskipun teriakan kali ini berbaur dengan rasa sedih yang mendalam.
"Qabil, apa lagi yang kau lakukan terhadap saudaramu Habil?"

Qabil tidak serupa dengan Habil. Dan Iqlima saudari Qabil juga tidak serupa dengan Layutsa saudari Habil. Qabil lebih kasar dibanding Habil sementara Layutsa kurang cantik dibanding Iqlima. Semestinya Habil menikah dengan Iqlima dan Qabil dengan Layutsa. Secara pribadi aku lebih mengutamakan Habil daripada saudaranya, Qabil dan aku senang karena ia akan menikah dengan yang lebih cantik. Habil tidak pernah marah kalau kami memakan makanannya.

Suatu hari ia melihatku sedang bertengger di depan telur ayam yang dipeliharanya, kemudian ia mengulurkan tangannya dan memberiku sebiji telur. Aku sangat gembira dengan bantuan yang diberikannya pada bangsa rendahan seperti kami. Inilah seorang yang memahami hikmah dibalik saling membantu sesama makhluk dan memahami makna kasih sayang. Dialah orang yang mengenal Allah, mencintai-Nya dan juga takut pada-Nya.

Aku ingin menfokuskan pikiranku untuk mengumumkan kesaksianku di hadapan seluruh reruntuhan dan keindahan lalu akan kuceritakan pada angin yang berhembus di tempat yang paling menakutkan.
Qabil berteriak: "Tidak, aku lebih baik darinya..." Syetanlah yang berada di balik kata-kata itu. Kata-kata itulah yang pernah diucapkan iblis tentang Adam, dan sekarang diajarkannya pada anak Adam untuk diucapkannya tentang saudaranya. Qabil kembali berteriak di depan bapaknya: "Aku tak akan menikah dengan Layutsa, aku akan menikah dengan Iqlima. Dia sudah bersamaku di saat lahir, akulah yang lebih berhak menikahinya."

Adam berusaha memahamkan anaknya bahwa saudari kembarnya itu tidak halal untuknya. Qabil tidak mau surut dari sikap kerasnya. Aku sangat heran melihat kelancangannya dan aku tidak tahu bagaimana Adam menyikapinya.
Adam mundur dari usaha memisahkan keduanya dan menyerahkan urusan itu pada kebijakan langit.

Aku tak paham kenapa Allah menerima korban dan aku juga tidak tahu apa korban itu sesungguhnya.
Dalam beberapa hari ini aku disibukkan dengan dunia gagak berikut segala permasalahannya. Ada seekor gagak pencuri yang melarikan diri dan kami sedang memburunya untuk diadili.

Datanglah hari penyerahan korban pada Allah.
Habil datang membawa domba yang paling gemuk lalu diletakkannya di atas bukit. Kemudian ia berdoa pada Allah untuk menerima korbannya.
Sementara Qabil datang dengan membawa gandum yang masih hijau di tangkainya. Ia datang membawa gandum yang belum masak. Qabil memang kikir sampai-sampai kami para gagak tidak bisa untuk mengecap makanannya. Setelah meletakkan korban itu ia berlalu pergi.

Kedua saudara kandung berdiri jauh.
Dalam hati aku berangan-angan -sebagai seekor hakim gagak yang tidak boleh memihak- agar Allah menerima korban Habil.
Dari langit turunlah api yang memakan korban Habil sebagai tanda bahwa korbannya diterima. Habil segera berteriak penuh gembira dan rasa syukur.
Sementara Qabil berteriak dengan kata-kata pembunuhan. Ia berdiri tegak sambil membentangkan kedua telapak tangannya dan memandang tajam ke arah satu titik di angkasa. Meskipun ia diam tapi dalam dirinya terpancar gelombang permusuhan yang hampir saja berbentuk.

Suatu hari yang sangat indah...
Matahari memancarkan sinarnya di udara. Pohon-pohon beringin yang memanjang ke arah barat bermandikan sinar mentari. Dahan-dahannya berwarna biru akibat pantulan sinar laut. Angin berhembus di lereng-lereng gunung membawa wangi hutan yang masih perawan dan bunga-bunga ketuhanan dari dasar jurang dan lembah yang berbaur dengan aroma rimba yang hijau.

Qabil kembali berteriak: "Aku pasti akan membunuhmu!"
Habil tidak mengerti kenapa Qabil marah padanya.
Kesucian biasanya memang tidak memahami dorongan-dorongan sebuah dosa dan kejahatan. Allah telah menerima korban salah satunya dan tidak menerima yang satunya lagi.
Habil berkata pada saudaranya: "Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa." (Surat Al-Maidah: 27)
Qabil kembali berkata sayup: "Aku akan membunuhmu..."

Sambil membalikkan badannya kembali ke gubuknya, Habil menjawab: "Sungguh kalau engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan dosaku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim." (Surat Al-Maidah: 28-29)
Habil kembali dengan isterinya Iqlima. Keduanya telah menikah dan hidup bersama beberapa hari. Ketika tanda-tanda kehamilan sudah tampak pada diri Iqlima, Qabil semakin bernafsu untuk membunuh saudaranya.

Kami akhirnya menemukan gagak pencuri yang melarikan diri dulu dan dimulailah pengadilannya.
Habil tidur menelentang di atas tanah setelah bekerja berat hari itu. Setelah ia mengambil sayur-sayuran sebagai bantalnya ia langsung tertidur.
Matahari telah condong ke arah barat. Pengadilan gagak yang bersalah terus berlangsung. Langit di ufuk barat berwarna darah. Qabil keluar sambil mengikat kuat-kuat tulang rahang keledai yang ia temukan di hutan. Ada seekor keledai mati di hutan yang terdekat lalu dagingnya dimakan binatang buas, sisanya dihabiskan burung elang dan darahnya diminum tanah. Tinggallah rahangnya yang besar tercampak di tanah. Qabil membawa senjata pertama yang dikenal di muka bumi itu kemudian ia mencari saudara kandungnya. Akhirnya ia temukan saudaranya sedang tidur, lalu ia melangkah ke arahnya. Ada sesuatu yang telah membangkitkan emosinya pada wajah teduh penuh santun itu yang tidak kumengerti. Habil terbangun dan membuka kedua matanya.
Tangan Qabil mengangkat tulang rahang besar itu dan memukulkannya ke wajah Habil secepat kilat. Darah menyembur dari wajah Habil dan mengotori dada Qabil. Tangan berdosa itu kembali mengayunkan senjatanya ke muka yang baik itu. Pada pukulan ke lima tangan Qabil sudah berlumpur tanah ladang. Akhirnya Habil tak lagi bergerak. Qabil baru menyadari kalau saudaranya sudah mati. Ia menghentikan pukulan-pukulannya yang keras dan cepat. Ia duduk terpaku di depan korbannya.

Kami belum selesai mengadili gagak yang bersalah. Pengadilan kami tunda hingga besok. Kami sudah mengadakan penjagaan ketat untuknya lalu kami pulang.
Aku berdiri di atas pohon di atas kepala Qabil, lalu aku menggaok keras: "Qabil, apa yang telah kau lakukan pada saudaramu, Habil?"

Qabil mendongakkan kepalanya dan melihat ke arahku. Wajahnya gemetar...
Pengadilan gagak si tertuduh membutuhkan waktu beberapa jam. Ia berbohong, mendebat dan menyangkal tuduhan-tuduhan yang di arahkan padanya, namun kemajuan pengadilan telah membuatnya tak bisa banyak berdalih. Selama pengadilan berlangsung Qabil membopong saudaranya dan membawanya pergi. Ia tak tahu apa yang mesti dilakukannya terhadap bangkai saudaranya. Burung elang sudah berputar-putar di sekitarnya dan binatang buas mulai mencium aromanya. Qabil takut meninggalkan bangkai saudaranya karena akan dimakan oleh binatang buas, karena itu ia terus menggendong dan membawa pergi tubuh tak bernyawa itu. Ia tak tahu apa yang mesti ia perbuat terhadap mayat itu.

Pengadilan gagak telah selesai dan seluruh tuduhan yang diarahkan padanya telah terbukti. Para hakim menjatuhkan hukuman mati padanya. Eksekusipun dilaksanakan. Para gagak membawa bangkai gagak yang bersalah itu untuk dikuburkan di tempat yang cukup jauh. Aku terbang sambil membawa bangkai itu dengan paruhku. Aku merasakan ada sebuah kekuatan yang tersembunyi telah mengarahkan kedua sayapku ke arah Qabil.
Aku tak berniat untuk lewat di depan Qabil dan aku memang tidak menyukainya. Tapi sayapku tetap menuju ke arahnya. Ada sesuatu yang agung di atas batas pemahamanku telah menggerakkan sayapku. Aku diperintahkan oleh salah satu malaikat yang mulia: "Wahai gagak, Allah mengutusmu untuk memperlihatkan pada anak Adam bagaimana caranya menguburkan bangkai saudaranya."

Aku segera turun membawa bebanku di hadapan Qabil. Aku letakkan bangkai gagak itu di depanku dan aku mulai menggali tanah. Aku gali tanah dengan cakar dan paruhku. Kurapatkan kedua sayap gagak itu lalu kuangkat badannya dan kuletakkan di dalam lahat. Setelah menggaok dua kali aku timbun bangkai itu dengan tanah.
Setelah itu aku melihat ke arah anak Adam itu. Pandanganku berkata padanya: "Kami telah membunuhnya dengan adil dan kami mengetahui bahwa bangkainya tetap harus dihargai, sementara engkau..." Aku menggaok keras di mukanya. Kemudian aku terbang di angkasa menuju barat. Sambil terbang aku masih mendengar jeritan Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" (Surat Al-Maidah:31). Aku merasakan jeritan itu terbakar dalam api penyesalan.

Aku tidak tahu dari mana asalnya datang penyesalan itu. Apakah ia menyesal karena telah membawa bangkai saudaranya selama berjam-jam dan tidak tahu bagaimana cara menguburkannya ataukah ia menyesal karena telah membunuhnya secara zalim? Aku tak tahu...

Yang kuingin tahu adalah bagaimana keadaan isteri Habil saat ini. Aku sangat tenang ketika mengetahui mengetahui bahwa isterinya sedang menunggu saat-saat melahirkan. Aku ingin tenang pada bangsa manusia dan memastikan bahwa generasi mereka akan lahir dari keturunan seorang lelaki mulia yang takut pada Allah. Aku tahu anak cucu Qabil sang pembunuh juga akan memenuhi bumi. Aku tahu bahwa pertarungan tak akan berhenti antara mereka dengan anak cucu As-Syahid Habil yang mulia. Boleh jadi tragedi antara bapak dan anak-anak ini akan kembali terulang. Aku tahu semua itu tapi aku tak tahu hikmah dibalik semuanya. Tugasku bukanlah mengetahui itu. Aku adalah saksi atas anak Adam dan menjadi guru baginya untuk beberapa saat dalam sejarah, tetapi tugasku bukanlah mengetahuinya. Boleh jadi manusia mengetahuinya...

0 comments:

Post a Comment