Onta Nabi Shaleh

"Onta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, kamu akan ditimpa siksaan yang pedih"
(Surat Al-A'raf:73)

Aku semata-mata adalah kebaikan yang tidak mengenal kejahatan, lebih suci dari semua yang suci. Itulah aku...
Aku tak pernah menyakiti siapapun sebelum dan setelah aku dilahirkan. Tapi meskipun demikian aku telah disembelih tanpa satupun dosa yang kuperbuat. Meskipun Allah telah mengancam orang yang melakukan itu... Meskipun semua itu aku telah dibantai...
Membantaiku sama artinya dengan membantai kesucian di permukaan bumi, dan boleh jadi tragedi pembantaianku adalah awal munculnya undang-undang yang memaksa kebaikan untuk mempersembahkan darahnya pada drama pembantaian kehidupan. Ya... hidupku memang menakjubkan.

Aku dilahirkan di pangkuan sebuah gunung yang tinggi dengan satu kalimat dari Allah. Aku adalah bagian dari batu-batu gunung yang besar. Aku tak mengenal diriku selain sebagai sebuah bongkahan batu. Kemudian batu yang keras itu berubah menjadi daging yang lembut, darah mengalir dalam urat dan membentuk susu. Dadaku penuh dengan air susu. Setelah aku melahirkan, aku beri anakku minum dengan susu yang telah diberkahi Allah. Aku telah memberi minum beribu-ribu orang-orang kelaparan dan kehausan dari air susuku.

Sehari mereka kuberi minum dan di hari berikutnya aku memberi minum anakku yang masih kecil.

Aku tak mengenal orang-orang yang telah kuberi minum dari air susuku... aku tak mengenal mereka dan nama-nama mereka. Aku memberi mereka minum secara cuma-cuma tanpa bayar, selain mereka harus bersyukur pada Allah ketika dahaga mereka hilang.
Tapi meski begitu tetap saja aku dibunuh. Hari itu sebilah pisau mendarat di leherku. Aku sekarang sudah mati. Aku sudah mati beberapa detik yang lalu. Ketika sadar aku telah mati aku mencari tinta untuk menulis tapi aku tidak menemukan selain seutas benang yang basah oleh darahku. Dengan itulah aku tulis kisah ini, maka seandainya kisah ini tidak sempurna, itu bukan karena aku tak mau menyempurnakannya...

Aku mati dan sebuah senyuman masih mengambang di wajahku. Apakah seekor onta dapat tersenyum? Ya, bila ia benar-benar seekor onta, bila ia adalah penjelmaan seekor hewan dan simbol sebuah ayat. Ketika anda menjadi sesuatu dan di saat yang sama simbol bagi sesuatu yang lain maka anda tak akan pernah mati... atau anda akan mati tapi sebuah senyuman tetap mengambang di wajah anda, orang mengira bahwa anda sedang tidur, dan anda akan bangun lagi...Ya, alangkah besarnya malapetaka yang timbul dari perasaan manusia bahwa mereka akan mati dan tidak akan dibangkitkan untuk selama-lamanya.

Itulah malapetaka orang yang telah membunuhku. "Onta shaleh", itulah namaku dalam sejarah manusia dan "onta Allah" inilah namaku dalam kitab-Nya. "Wahai kaumku, onta Allah ini menjadi tanda bagimu..."

Allah telah menisbahkanku pada-Nya sebagai sebuah kemuliaan bagiku. Aku adalah 'onta' dan bukan hanya onta (biasa). Aku adalah penjelmaan untuk onta, sementara pada hakikatnya aku adalah satu ayat diantara ayat-ayat Allah, dan semua yang ada di alam ini adalah penjelmaan dari ayat. Dari mana aku mesti mulai...
Kelahiranku menjadi sebuah kejutan bagiku sebelum menjadi kejutan bagi kaum Shaleh. Aku terkejut tiba-tiba aku lahir. Kejutan hidup setelah sebelumnya tiada ini membawaku pada perasaan yang baru. Sejujurnya, perasaanku sangat asing. Aku menyadari sedang memakai kulit onta meskipun aku sesungguhnya bukanlah onta. Aku tahu, aku adalah simbol kesucian di dunia yang membenci kesucian.

Aku adalah cinta semata-mata menghadapi kebencian semata-mata. Posisiku sangat sensitif dan rumit. Aku membawa badan, tabiat dan perangai seekor onta tapi di saat yang sama, terlepas dari tampilan fisik ini aku mengandung sesuatu yang tak ada hubungannya sama sekali dengan dunia fitrah binatang. Batinku mengandung suatu alam yang maha luas dan agung yaitu alam ayat-ayat Allah. Setelah lahir aku memahami kisah kelahiranku sebagai sebuah mukjizat.

Aku dilahirkan di tengah-tengah kaum Tsamud. Mereka adalah kaum yang kuat syahwatnya dan lemah akalnya. 'Musibah' ini ditambah lagi dengan kekayaan dan kemampuan untuk melampiaskan syahwat itu. Mereka menyembah berhala. Tapi tidak seluruh masyarakat yang tenggelam dalam kesalahan yang besar ini. Masih ada yang mau memikirkan alam di sekitarnya lalu akhirnya beriman pada Allah, meskipun sebagian besar dari mereka hanyut dalam penyembahan terhadap kepentingan pribadi, harta benda dan segala bentuk berhala hawa nafsu yang tak ada batasnya.
Kemudian Allah berkhendak mengutus seorang nabi pada kaum Tsamud yang Allah pilih dari orang yang paling bertauhid, suci dan baik di antara mereka, lalu Allah utus dia pada kaumnya.

Namanya mengandung hakikat yang sangat dalam dan indah.
Shaleh, itulah namanya. Ia berkata pada kaumnya: "Wahai kaumku, sembahlah Allah, kalian tidak punya tuhan selain-Nya." (Surat Al-A'raf:73). Kata-kata yang sama yang juga diucapkan sebelumnya oleh Hud, Nuh dan seluruh nabi dan rasul-rasul Allah. Kata-kata yang sama yang telah mereka ucapkan sebelumnya, ia ucapkan lagi setelah mereka. Kata-kata itu tak berubah dari satu nabi ke nabi yang lain. Amanah kenabian pada intinya tersimpan dalam sembilan kata itu: "Wahai kaumku, sembahlah Allah kalian tidak punya tuhan selainNya..."

Beribadah pada lahirnya tampak mudah, sesuatu yang fitrah, nyata dan sangat hakiki, tapi ia sebenarnya -dalam realitas sosial- sama dengan sebuah revolusi. Karena arti dari merealisasikannya adalah meninggalkan seluruh tuhan-tuhan yang telah disembah dan kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan tuhan-tuhan tersebut dalam anggapan manusia. Dan ini artinya merubah masyarakat dari dasarnya, mengulang peletakan nilai-nilai dan visi-visinya, mengulang dari awal pembangunan moral dan adat kebiasaan, menghancurkan segala bentuk perkumpulan yang didirikan atas dasar kesyirikan, dan ini juga berarti akan ada berbagai kepentingan yang akan runtuh dan lenyap sehingga kepentingan-kepentingan tersebut akan membela dirinya dengan ketajaman senjata. Senjata pertama yang diarahkan kaum Tsamud pada nabi Shaleh adalah perkataaan mereka: "Buktikan bahwa engkau nabi!"

Sebelum kaun Tsamud menuntut nabi mereka untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar seorang nabi, mereka berbicara padanya tentang sesuatu yang sangat aneh dan mengherankan.

Nabi Shaleh melarang mereka menyembah berhala-berhala yang disembah oleh nenek moyang mereka dan mengajak mereka untuk menyembah Allah, sang Khalik yang telah menciptakan segala-galanya. Tapi apa kata mereka: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami." (Surat Hud:62)

Cara pandang mereka -menurutku seekor onta- tampak seperti sebuah teka-teki atau dibuat-buat. Sebelum diutus menjadi nabi, mereka menaruh harapan besar pada Shaleh. Ilmunya sangat dihargai, akalnya sangat menakjubkan, ucapannya selalu dipercayai dan mereka telah berpikir untuk menjadikan Shaleh sebagai pimpinan mereka atau sesepuh suku Tsamud, tapi semua itu dirusak oleh seruan asing ini. Ia telah menyeru mereka untuk menyembah Allah semata. Apa yang akan mereka perbuat dengan tuhan-tuhan nenek moyang dan pendahulu mereka? Bagaimana mereka akan menanggung malu dihadapan sejarah nenek moyang seandainya tuhan-tuhan mereka tak lagi disembah?

Perhatikanlah logika terbalik ini, yang ditolak oleh lahirku sebagai binatang dan batinku yang terang bercahaya. Sesungguhnya logika seperti ini seandainya diucapkan oleh seekor kambing pada seekor onta tentu ia akan mengolok-olok kambing itu. Seharusnya, selama Shaleh mereka hargai dan percayai, seruan kenabiannya juga mesti dihargai dan dipercayai, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Setelah dulunya mereka mempercayai Shaleh, sekarang mereka ragu padanya, "Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami." (Surat Hud: 62)

Shalih mencoba mengikuti logika mereka dan bertanya: "Bagaimana agar kalian percaya bahwa aku seorang nabi Allah?"
Mereka berkata: "Buktikan kalau engkau memang nabi! Engkau mengaku diutus oleh Allah dan kami meragui hal itu, jadi kenapa engkau tidak menunjukkan bukti atas klaim kenabianmu?"

Dengan dada lapang Shaleh bertanya: "Apa yang kalian ingin untuk aku tunjukkan?"
"Tunjukkan bukti atas kenabianmu!"
"Apa yang kalian inginkan?"
"Jangan beranggapan bahwa kami ingin ingin menekanmu... kami hanya ingin sesuatu yang luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kami menginginkan sebuah ayat dari Allah atas kenabianmu. kami ingin sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya..."
"Apa yang kalian inginkan?"
"Lihat gunung yang dekat itu, kenapa ia tidak bisa melahirkan seekor onta? Kenapa engkau tidak berdoa pada Allah agar gunung itu terbelah lalu keluarlah seekor onta dari dalamnya."
"Dan kalian akan percaya bahwa aku adalah seorang utusan Allah kalau itu bisa kulakukan?"

"Ya, ketka itulah kami akan percaya padamu, ketika itu saja..."
Salah seorang diantara mereka menyahut: "Bukan sebelum kau lakukan itu..."
Shaleh mencoba berdialog dengan kaumnya tentang jenis mukjuzat yang mereka desak itu. Ia berkata: "Kalian menginginkan sebuah ayat yang tampak nyata dan luar biasa, sementara ayat yang kalian minta ini berada di luar sunnah alam. Bukanlah sebuah adab ketika seorang hamba menuntut pada tuhannya sesuatu di luar sunnah alam agar mereka beriman pada-Nya."

Dengan suara keras mereka berkata: "Akui saja kalau engkau tidak mampu!"
"Perangai kalian seperti anak-anak yang menginginkan mainan ajaib. Dan ini bukanlah adab yang baik kepada Allah."
"Hai Shaleh, ketika engkau mengklaim dirimu sebagai seorang rasul, maka adalah hak kami menuntut engkau menunjukkan pada kami bukti atas klaim itu."
"Aku khawatir, kalau aku perkenankan tuntutan kalian ini, kalian akan mengingkari ayat ini suatu saat nanti, aku sangat takut azab Allah terhadap kalian jika tetap ngotot."

"Kami tak akan kafir, kami berjanji padamu bahwa kami akan percaya pada ayat tersebut dan tidak akan kami ganggu-ganggu."
"Kalian berjanji?"
"Kami semua berjanji padamu."
Ketika Shaleh menyadari bahwa mereka tetap medesak menuntut mukjizat tersebut, ia berdoa pada Allah untuk mengabulkan tuntutan kaumnya.
Akhirnya Allah mengabulkan tuntutan mereka. Keluarlah dari batu-batu gunung seekor onta, itulah aku. Begitulah aku dilahirkan, dengan kalimat Allah dan dari batu-batu gunung.

Mereka terkejut ketika melihat tuntutan mereka benar-benar terbukti. Mukjizat ini menyilaukan penglihatan mereka sehingga mereka hanya bisa bungkam dan tertunduk. Mereka menekurkan kepala dan mengakui bahwa Shaleh benar-benar adalah seorang utusan Allah. Mereka telah mengakui bahwa ia seorang nabi dan mereka berjanji untuk menerima dakwahnya.
Mereka semua pulang dan membiarkanku sendiri. Shaleh berkata pada mereka: "Allah mengancam kalian dengan azab yang sangat dekat jika salah seorang diantara kalian mengganggu onta itu." Mereka berjanji tidak akan mengganggunya sedikitpun.

Mereka berlalu... Shaleh juga berlalu... Semua meninggalkanku.
Aku mulai merasa kesepian dan asing. Aku bukan batu bukan pula onta. Aku adalah ayat yang menjadi pedang peringatan tuhan. Menggangguku berarti mengundang azab. Sebagai sebuah ayat dan seekor onta aku tidak mengerti siapa yang akan berani menggangguku. Aku tidak mengerti bagaimana mungkin terlintas dalam benak manusia untuk menyakitiku. Aku tak pernah membenci seorangpun diantara mereka, bahkan sebaliknya aku mencintai mereka semuanya tanpa terkecuali.

Aku berjalan sebentar di jalan-jalan kota...
Rumah-rumah mereka terbuat dari batu. Para hartawan mempunyai istana di pusat kota dan rumah-rumah pahatan di atas bukit. Aku terus berjalan.
Ketika manusia terbangun sehari setelah peristiwa mukjizat, hal pertama yang mereka lakukan adalah berkumpul di sekitarku. Mereka memandangiku dengan penuh kagum dan takjub. Sedikit saja aku bergerak mereka langsung takut. Setiap kali bergerak aku menggerak-gerakkan kepala dan ekorku sehingga mereka mundur dan menjauh sambil teriak-teriak seolah-olah aku melakukan suatu mukjizat dengan sekedar gerakan.

Awalnya hal itu sedikit membuatku risih. Lalu, aku mulai mengontrol kebebasanku. Aku tetap diam agar tidak membuat mereka takut. Setelah itu aku tetap diawasi. Mata mereka senantiasa membuntutiku kemana pun aku pergi. Mereka kembali berkerumun di sekitarku dan berbisik-bisik tapi aku tak bisa mendengar sedikitpun. Tiba-tiba ada seorang anak kecil yang memberanikan diri untuk maju dan mendekat padaku dan ingin meletakkan tangannya di leherku, tapi ia segera menarik tangannya sebelum sempat menyentuh leherku. Aku tahu ia hanya ingin mengusap kepalaku. Kutundukkan kepalaku dan kudekatkan pada anak kecil itu lalu ia mengusap kepalaku. Perbuatan anak kecil itu telah menghilangkan rasa takut manusia.
Mereka mendekat padaku dan meletakkan tangan mereka di tubuhku lalu mengelus-elusku seakan-akan mereka ingin memastikan keberadaanku yang sesungguhnya. Aku menyambut baik rasa suka yang ditampakkan oleh kaum Tsamud, dan cintaku pada mereka semakin bertambah.

Pada hari ketiga sejak kemunculanku di tengah-tengah kaum Tsamud, aku melahirkan anakku. Ia telah menarik perhatian manusia sebagaimana diriku atau bahkan lebih. Mereka mengusap-usap tubuhnya seakan-akan ingin meyakinkan diri mereka sendiri bahwa ia adalah onta sungguhan bukan khayalan.
Aku mulai menyusui anakku. Kaum Tsamud memandangi susuku dan membuat mereka dahaga. Mereka segera melaporkan pada nabi mereka, Shaleh, berita tentang anak onta yang baru lahir dan susu yang keluar dari dada induknya. Mereka berkata: "Kami ingin mengambil manfaat dari onta itu. Anaknya tidak akan mampu menghabiskan seluruh susu induknya dan boleh jadi susu itu penuh berkat."

Shaleh mengatakan pada mereka bahwa susuku dibolehkan untuk mereka dengan rahmat Allah tapi ia membagi air antara mereka dan aku. Ia berkata: "Kalian biarkan air untuk diminum onta itu dan kalian boleh meminum susunya. Lalu pada hari berikutnya kalian boleh meminum air dan biarkan susu onta itu untuk anaknya.."
Mereka setuju dengan usulan nabi mereka.

Mulailah keberadaanku sebagai sebuah sumber susu yang tak pernah habis. Allah telah memberkahi air susu yang aku produksi sehingga air susu itu dapat mencukupi mereka behaka lebih dari kebutuhan mereka sehingga mereka bisa membuat keju, minyak dan sebagainya dari susu itu.
Air susuku sangat lezat, siapa yang meminumnya tak akan pernah dahaga dan lapar. Aku sangat pemurah, sampai-sampai aku akan mengeluarkan putingku dari mulut anakkku untuk menyusui seorang anak dari kaum Tsamud yang tidak kukenal namanya.

Hari-hari berlalu...
Semua menyukai dan menyintaiku karena aku telah memberi mereka makan dan minum mereka. Tapi ini hanyalah cinta atas dasar manfaat yang akan hilang seiring hilangnya sumber cinta itu dan ia tak bernilai apa-apa dalam hitungan cinta utama. Aku tak akan berhenti hingga disini.
Aku dicintai oleh orang-orang mukmin yang fakir yang menjadi pengikut nabi Shaleh.

Mereka menamakanku dengan onta Allah, sementara para pemimpin masyarakat menyebutku dengan onta Shaleh. Seiring perjalanan waktu aku mulai merasakan bahwa ada tirai kebencian yang sangat pekat mulai menyelimuti dan mengepung diriku. Kemudian terjadilah dialog antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir: "Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri diantara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman diantara mereka: "Tahukah kamu bahwa Shaleh diutus oleh Tuhannya? Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya". Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu." (Surat Al-A'raf: 75-76)

Dialog itu menghasilkan dua golongan yang sangat berbeda; golongan orang-orang beriman dan golongan orang-orang yang sombong. Pada mulanya golongan orang-orang yang sombong bertanya dengan sikap merendahkan: "Apakah kalian yakin kalau Shaleh adalah utusan tuhannya?" Pertanyaan itu adalah jebakan, tetapi objektivitas orang-orang beriman telah mengantarkan mereka pada jawaban yang benar. Mereka menjawab: "Kami beriman pada semua ajaran yang dibawanya". Orang-orang beriman tidak menghiraukan mukjizat yang luar biasa dan ayat yang sangat menakjubkan itu, tapi mereka langsung beriman pada ajaran-ajaran nabi Shaleh yang terangkum dalam beribadah hanya pada Allah.

Jawaban itu tidak menarik bagi orang-orang yang sombong itu bahkan mereka melihat dalam jawaban itu sebuah ketenangan yang semakin membakar emosi mereka. Mereka membalas: "Dan kami engkar dengan semua yang kalian imani." Balasan ini mengandung penghinaan dan peremehan pada orang-orang beriman serta merendahkan kepribadian mereka. Seakan-akan mereka berkata: "Keimanan kalian padanya itulah sumber keraguan kami dan itu pulalah rahasia dibalik kekafiran kami pada semua yang kalian imani."
Orang-orang beriman pulang ke rumah masing-masing dan para pembesar masyarakat itu juga kembali ke istana mereka. Hati mereka dipenuhi kemurkaan dan kebencian yang hampir tampak dalam tindak tanduk mereka.

Seorang tokoh senior dalam masyarakat Tsamud mengundang semua pemimpin dan ketua-ketua suku. Mereka masuk ke dalam ruangan yang luas di istananya dan dimulailah sebuah rapat sejarah. Semua yang hadir adalah orang-orang yang tidak beriman pada Shaleh dan juga denganku. Mereka melihat kami sebagai sebuah konspirasi untuk meruntuhkan sistem yang ada.

Sang pemimpin kaum berkata: "Sesungguhnya keberadaan onta yang dipelihara secara bebas itu telah melenyapkan kewenangan kita dalam suku." Semua hadirin sependapat dengan sang pemimpin. Salah seorang dari mereka menguatkan, "Sesungguhnya keberadaan onta tersebut akan selalu mengingatkan manusia pada ayat Allah dan meyakini kenabian Shaleh." Sebuah pertanyaan muncul: "Bagaimana jalan keluarnya?" Salah seorang yang paling kasar diantara mereka berkata: "Onta itu mesti dilenyapkan!"
Berakhirlah rapat sejarah terkenal yang diadakan kaum Tsamud itu mengenai diriku dengan melahirkan sebuah keputusan. Keputusan itu adalah: "Bantai!"

Pada awalnya semua yang hadir kaget dengan ide untuk membantaiku. Mereka beralasan bahwa Shaleh telah memperingatkan untuk tidak mengganggu onta apalagi membantainya dan ia mengancam siapa saja yang berbuat hal itu dengan azab yang sangat mengerikan setelah tiga hari berikutnya. Mereka terus berpikir bagaimana caranya bebas dan lepas dariku tapi mereka tak juga menemukan solusi apapun. Lalu diedarkanlah gelas-gelas berisi khamar mereka sehingga rara takut mereka menjadi sirna. Berkatalah pemimpin mereka: "Tak ada jalan lain selain membantai onta itu, karena keberadaannya menjadi ancaman serius bagi sistem yang berdiri yang didalamnya ada para sesepuh, pemimpin-pemimpin dan orang-orang kaya yang mempunyai banyak kepentingan. Semua masyarakat sangat terancam disebabkan onta tersebut." Mereka terus berputar-putar pada poin ini, gelas-gelas khamar itu juga berputar-putar di sekeliling mereka dan otak mereka juga ikut berputar-putar.

Beberapa jam setelah pembicaraan itu, konferensi mereka telah berubah menjadi konspirasi dan semua yang hadir sibuk menyusun kejahatan tersebut. Setelah tadi pertanyaannya: "Apa yang akan kita lakukan pada onta itu?" Sekarang pertanyaan itu menjadi: "Bagaimana cara kita membunuh onta itu?" Lalu berkembang lagi pada bentuk berikutnya menjadi: "Siapa yang akan kita tugaskan untuk membunuh onta itu?" Mulailah konspirasi itu dirancang dari dasar kejahatan manusia yang paling dalam.
Aku dapat merasakan semuanya. Aku tidak mendengar apa yang mereka katakan dan tidak juga mengikuti kata demi kata yang mereka ucapkan serta tidak mengerti bahasa mereka yang cepat dan tegas. Tapi meski demikian aku dapat merasakan segalanya.

Sebagai sebuah simbol bagi kesucian, aku dapat merasakan bahwa mereka ingin membantaiku dan mereka sedang merancang hal itu. Hal yang paling membingungkanku adalah aku tak mengerti apa sebabnya mereka ingin membantaiku? Kenapa? Kesalahan apa yang telah kulakukan pada mereka yang dapat menjadi alasan bagi mereka untuk membantaiku? Apa gangguanku pada mereka? Keburukan apa yang telah menimpa mereka yang datang dari dirku?

Tak ada jawaban apapun atas semua pertanyaan itu. Aku hanya tertunduk dan terus mempersembahkan susu dan rasa kasih. Aku dapat merasakan bahwa keputusan untuk membantaiku sudah keluar, tinggal lagi pelaksanaannya.
Suatu malam saat anakku menghangatkan badannya di dadaku, aku merasa sedih... sedih akan akhir sebuah kesucian. Kenapa manusia membantai kesucian di dunia ini... Aku semakin bingung tapi pemahamanku tetap saja seperti itu yaitu tidak pernah paham. Aku terus mempersembahkan susu dan rasa kasih.

Dua malam berlalu dan datanglah malam ketiga.
Aku merasakan bahwa inilah malam terakhirku di tengah-tengah kaum Tsamud. Sebuah perasaan yang sangat jelas tentang akhir hidup merasuk dalam diriku... semuanya akan berakhir. Terjadilah kesepakatan para pembesar masyarakat Tsamud dengan sembilan orang gembong-gembong kejahatan dalam kota. Sembilan orang itu memilih yang paling kuat dan kejam diantara mereka untuk ditugaskan membunuhku.

Aku tak tahu siapa saja nama-nama sembilan orang itu. Tapi aku tahu bahwa mereka meminum susuku bersama anak-anak mereka. Aku tak pernah benci pada siapapun atau minta upah pada siapapun. Allah menyebutkan mereka dalam ayat tapi tidak menyebut nama-nama mereka: "Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan." (Surat An-Naml: 48)

Merekalah perangkat-perangkat kejahatan. Adapun sang eksekutor adalah seorang lelaki yang diisyaratkan dengan kata-kata: "kawan mereka". "Sesungguhnya Kami akan mengirimkan unta betina sebagai cobaan bagi mereka, maka tunggulah mereka dan bersabarlah. Dan beritakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya air itu terbagi antara mereka; tiap-tiap giliran minum dihadiri. Maka mereka memanggil kawannya, lalu kawannya menangkap dan membunuhnya. Alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku." (Surat Al-Qamar: 27-30)

Orang yang diisyaratkan denga kata-kata "kawan mereka" ini sedang sempoyongan karena mabuk ketika ia masuk dan aku sedang terbaring. Pedang itu berkilauan di tangannya. Jiwanya lebih gelap dari malam yang gelap. Sebelum ia sampai, salah satu malaikat datang padaku. Dari gerakan sang malaikat aku dapat memahami bahwa aku akan mati. Aku juga memahami hal-hal lainnya. Aku memahami bahwa aku adalah musibah bagi kaum yang sombong.

Aku berdiri tegak ketika sang pembunuh itu masuk. Ia melihat padaku tapi pandangannya kabur karena ia banyak minum. Ia ayunkan pedang di tangannya dan aku segera melindungi anakku. Pedang itu melayang di telapak kakiku dan memisahkannya dari badanku. Aku tersungkur di tanah dalam keadaan sujud.
Sebuah azab yang sangat mengerikan telah berkumpul tiga hari setelah peristiwa itu. Aku dapat melihat kerasnya azab itu sehingga aku merasa kasihan pada orang yang ditimpa azab seperti ini. Darah segar yang mengucur dari kakiku membakar otak sang pembunuh.

Ia lalu mengangkat pedangnya dan mengayunkannya ke leherku.
Apa yang kurasakan? Aku merasakan ketenangan, kedamaian dan kerelaan. Perasaan ini sangat menakjubkan, detik-detik kesyahidan memang selalu menakjubkan. Aku berubah bersama anakku menjadi bongkahan batu gunung, dan tinggallah makna kesucian tetap dibantai di permukaan bumi. Sementara kaum Shaleh telah berubah menjadi berita yang dimuat secara ringkas dalam kitabullah: "Sesungguhnya Kami menimpakan atas mereka satu suara yang keras mengguntur, maka jadilah mereka seperti rumput kering yang punya kandang binatang." (Surat Al-Qamar: 31)

0 comments:

Post a Comment