Merpati Nabi Ibrahim

“Dan ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. “Allah berfirman: “Belum yakinkah engkau?” Ibrahim menjawab: “Aku telah yakin, akan tetapi agar hatiku tetap mantap.” Allah berfirman: “Ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya.Kemudian letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagianburung itu, lalu panggillah mereka, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Al-Baqarah: 260)

Kami terbang bersama dalam sebuah formasi yang sangat indah di langit biru...
Kembali menuju tanah air kami...

Tanah air kami bukanlah bangunan biru yang telah dibangun oleh Ibrahim Khalilullah. Tanah air merpati biasanya terpisah-pisah dan terpencar di berbagai tempat. Merpati membawa setengah tanah airnya di dalam hatinya dan setengah lagi di hati orang yang dicintainya

Aku berada di baris terdepan sekawanan merpati. Kukepakkan sayap, kuangkat paruh setinggi mungkin lalu aku mulai terbang dengan cepat. Kawanan merpati lainnya mengikutiku. Kugerakkan sayapku sambil meliuk-liuk di udara. Jika udara adalah sebuah kenikmatan yang tiada tara berarti aku saat ini sedang berenang dalam sebuah kenikmatan yang tiada tara.
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku seekor burung.

Aku tak tahu bagaimana para makhluk yang merayap di muka bumi bisa bertahan hidup. Di udara terdapat seribu kenikmatan yang tak akan dirasakan kecuali oleh siapa yang sedang berada di atas ketinggian.

Dari udara akan tampak sawah ladang yang hijau dan subur. Sementara kalau di bumi tingkat kehijauan itu akan terlihat berkurang, bahkan debu pun akan masuk ke dalam mata dan membuatnya menangis.

Aku pernah mengalami sebuah peristiwa memilukan untuk pertama kalinya dalam hidupku. Segala puji bagi Allah yang telah menciptakannya untukku; seekor merpati betina putih bernama Nasya.
Ia mempunyai nama lain sebelum mengenal arti cinta. Merpati akan merubah namanya ketika merasakan cinta.

Nama lama tak lagi memadai untuk membuktikan sebuah zat baru yang lahir setelah cinta. Kami tahu ada sebuah zat baru yang akan lahir setelah cinta bersemi.
Kami mengetahui segala rahasia cinta.

Kami mencintai Sang Pencipta yang telah menciptakan kami dari tiada. Tiga perempat cinta kami, kami persembahkan untuk Allah.
Kami mencintai udara yang membawa kami bersama lantunan nada... Seperdelapan dari sisa cinta kami adalah hadiah untuk udara.

Kami juga mencintai manusia dan kami beri mereka makan dari daging kami tanpa mengeluh sedikitpun... Seperenam belas cinta kami yang masih tersisa adalah untuk manusia..

Sisanya adalah cinta kami pada betina...
Tinggallah cinta kami pada betina sebesar biji gandum..
Manusia sering menganggap kecil biji gandum dan mencampakkannya di atas tanah.

Padahal seluruh ladang gandum berharga yang telah memberi makan berjuta-juta orang semua berasal dari satu biji gandum.

Dalam pandangan kisah-kisah cinta maha agung, sebuah cinta kecil tak lagi berharga...
Nilai sebuah cinta sesungguhnya tersimpan dalam kemampuannya untuk selalu memberi energi... dan kami bercinta sampai mati karenanya..

Ketika ibu sakit dan akhirnya mati, ayah merasakan sebuah pukulan yang sangat berat dan begitu menghantuinya. Saat itu kami masih kecil. Kami perhatikan ayah selalu berpergian dan berkelana.

Ketika ayah menggendong ibu menuju peristirahatan terakhir, kepalanya tertunduk dan ia tak mampu berkata apa-apa.

Hari pertama ia masih membisu, tidak mau terbang, makan ataupun minum. Ia buka paruhnya lalu ditutupnya kembali seolah ia ingin mengucapkan sesuatu. Hari kedua ia tidur sambil menelungkup. Ia masih diam dan tidak mau makan, minum, terbang atau sekedar untuk membuka paruhnya.

Hari ketiga ia tidur menelentang lalu menarik nafas panjang seakan-akan sebuah gunung sedang ditimpakan ke dadanya
Di pagi hari keempat paruhnya sudah tersembunyi di balik sayapnya. Ia telah mati...

Ketika mereka membawanya pergi dari hadapan kami, sayapnya basah seakan-akan ia menangis setelah mati.
Kami masih kecil, belum mengerti bahwa cinta adalah sebuah bangunan yang sangat kokoh di alam ini.

Seluruh alam ini dibangun atas dasar cinta, kejujuran dan perdamaianSalah seekor merpati membawa setangkai dahan zaitun dari kapal Nabi Nuh saat badai topan telah menghentikan amukannya dan menyerah pada ketentuan Allah.

Sejak saat itu merpati menjadi simbol perdamaian sejati..
Manusia sudah mengenalnya dari kami...
Namun mereka tidak mengetahui bahwa merpati juga simbol kejujuran, cinta dan kebangkitan... Kebangkitan dari kematian...
Tak ada yang memahami makna kebangkitan dari kematian selain mereka yang mengenal cinta.

Cinta itu sendiri adalah kebangkitan dari kematian sebuah kebiasaan, kejenuhan dari kebersamaan dan kehampaan sebuah makna....
Ketika hati sebuah makhluk gagal merasakan cinta, maka dibangkitkanlah semua yang mati dalam dirinya.Bagaimana mungkin sebuah makhluk percaya pada kebangkitan hati tapi mengingkari kebangkitan badan....
Ya....

Dalam cinta ada saat-saat dimana ia akan menyeru para penyembahnya untuk bangkit dari tidur.
Kekuatan manakah yang mampu memanggil mimpi-mimpi sejarah dari sarangnya yang sudah berdebu selain kekuatan cinta...
Maha tinggi Allah dan Maha Suci asmaNya..


Aku masih terbang diangkasa...
Kembali padanya... pada Nasya...
Pertama akan kurendam paruhku ke dalam air yang telah disediakan Ibrahim untuk kami.
Kurendahkan diriku saat menyebut nama Ibrahim.
Pemilik rumah kami dan juga Baitullah.
Yang senantiasa melangkah menuju Allah.
Kekasih Allah...

Betapa aku sangat mencintainya....
Mustahil ada makhluk yang dekat dengan Ibrahim tapi tidak terpengaruh.
Dialah orang pertama yang mempersembahkan kalbunya pada undang-undang penyatuan cinta.

Yang telah menyalakan jasadnya yang mulia untuk menyinari seluruh makhluk.
Ia pernah dilempar oleh musuh-musuhnya ke dalam api. Api bumi itu padam dalam lautan api langit yang membara dalam hatinya.
Api tak akan membakar api yang lebih besar darinya
Tak ada yang lebih besar dari api cinta

Nasya...
Jantungku berdebar bila mengingatnya...
Ia putih dan kurus. Paruhnya biasa. Tak ada yang istimewa pada tubuhnya.
Barangkali aku lebih indah darinya. Merpati jantan biasanya lebih indah dari merpati betina. Tapi keindahaan ini sesungguhnya hanyalah sebuah kelemahan yang tak tampak. Dalam tubuh betina yang kurus dan dalam ketidakberdayaan mereka ada sesuatu yang tak dapat dilawan.

Tak ada makhluk yang serupa persis dengan makhluk yang lain.
Nasya tak serupa dengan merpati manapun di bumi ini.
Boleh jadi ia merpati yang kurang menarik. Boleh jadi langkahnya menampakkan sebuah kepercayaan diri meskipun dibalik itu sesungguhnya tersimpan kelemahan yang sulit diungkapakan.

Oh...
Aku ingat saat pertama kali aku jumpa dengannya...
Ia sedang menangis...
Ada butiran-butiran debu masuk ke matanya sehingga ia menangis...

Kukembangkan sebelah sayapku untuk melindunginya dari debu. Lalu dengan penuh lembut ia menyampaikan rasa hormat lewat kibasan ekornya....
Belum ada dialog antara kami...

Kuangkat kepala dengan cepat, kuputar lalu aku menoleh padanya.
Kuputar kepala dan aku berjalan... berjalan mengitarinya dan mengelilinginya. Kukepakkan sayapku disekitarnya... aku terbang disekelilingnya. Aku terus berputar dan berputar.... kepalaku ikut berputar... hatiku juga berputar...sementara ia hanya diam memandangiku.

Apakah aku baru saja mendemonstrasikan kekuatan, keperkasaan dan kelembutanku dalam waktu yang bersamaan?
Ataukah aku baru saja menggodanya sebagaimana yang disangka manusia?
Apakah aku telah berbicara dengannya lewat bahasa diam yang terkadang dapat menyampaikan banyak hal lebih dari kata-kata?
Aku tidak tahu...
Barangkali semuanya sudah kulakukan... Barangkali juga semua itu kulakukan tanpa kusadari.

Aku katakan, aku tidak tahu...
Dalam kamus cinta istilah ‘aku tidak tahu’ sangat dominan.
Apa yang diketahui oleh seorang pecinta biasanya hanyalah bayangan yang ia lukiskan dalam dirinya tentang orang yang ia cintai. Adapun hakikat sesungguhnya tetap menjadi milik Allah semata.

Kami berbincang sebentar...
Seolah kata demi kata yang mengalir dari paruhnya bagaikan nyanyian Bulbul atau dendangan Karwan.

Kata-kata itu memiliki makna baru karena keluar dari mulutnya....
Bergeraklah mata air perdamaian silam yang dulu telah dibawa oleh salah seekor moyangku ketika ia kembali dengan setangkai zaitun diparuhnya.
Tumpukan es di puncak bukit meleleh. Awan menaungi bunga-bunga musim semi dan membelai pucuk-pucuknya serta menciumnya. Musim semi lahir dalam hatiku.

Inikah yang disebut cinta...
Aku bertanya padanya: “Siapa namamu?”
“Nusyka”, jawabnya.
“Tak lama lagi, ia akan menjadi nama yang usang.”
“Angin membawa jauh kata-katamu hingga aku tak bisa mendengarmu.”
Aku diam.

Aku berputar di sekitarnya. Kukepakkan sayap. Aku terbang tinggi lalu secepat kilat menukik tajam. Aku berputar disekelilingnya, dengan hati yang penuh kasih dan jiwa yang lembut. Aku gemetar, meliuk-liuk, berputar-putar, berkeliling...
Selesailah pertunjukanku. Aku merasa kehilangan pribadi lamaku...

Kami sering bertemu di halaman rumah Ibrahim.
Itulah rumah satu-satunya yang menebarkan biji-bijian untuk merpati, makanan untuk semut, membuka pintu untuk para tamu dan menyembelih dombanya yang paling gemuk ketika malaikat berkunjung yang ia sangka para tamu dari bangsa manusia.
Kami berempat berlindung di rumahnya.
Dia, aku dan dua yang lain.
Nusyka yang dulu sudah mejadi Nasya.
Suatu hari ia datang padaku dan berkata: “Katakan padaku, seperti apa aku yang kau inginkan?”

Kusandarkan paruhku di lehernya dan aku berbisik: “Aku tak inginkan selain dirimu, aku ingin engkau sebagaimana adanya.”
“Aku tidak cantik. Merpati yang lain tak ada yang menyukaiku. Mereka tak mau memberiku makan.”
“Aku yang akan memberimu makan dari separuh hatiku.”
“Separuhnya lagi?”
“Mungkin engkau akan merasa lapar lagi setelah itu.”
Kubelai lehernya dengan pelan.

Kami berjalan di atas tanah. Kutunjukkan padanya sebuah biji gandum dengan paruhku. Ia menjawab dengan salah satu sayapnya bahwa ia tidak lapar.
Kami berjalan bersama di atas pohon. Kutunjukkan padanya buah-buahan tetapi ia tidak mau makan. Kami terbang bersama di udara yang begitu dingin berhembus dari utara. Tiba-tiba sayap kami menggigil.
Ia bertanya: “Apakah udara ini melewati salju sebelum ia datang?”
“Salju sudah meleleh beberapa hari yang lalu”, jawabku.
“Tapi aku menggigil. Jangan pernah tinggalkan aku.”
“Mari kita bermain untuk memanaskan udara”, ajakku.

Kami lalu terbang sambil mengepakkan sayap. Kami menghembuskan nafas di udara hingga panas pun kembali.
Kami hinggap di sebuah pohon. Rantingnya sedikit oleng saat kami hinggap di atasnya.
Kutundukkan kepala memandangi bumi.
Dengan tubuh masih gemetar aku berpikir, apakah cinta kami menyimpan secercah kepedihan. Apakah salah satu di antara kami akan mati duluan. Hawa dingin menusuk hatiku.

Ia menoleh padaku sambil berbisik: “Aku ingin kau di sisiku saat aku mati”.
“Hidup ini belum dimulai”, sahutku.
“Kematian bukanlah sesuatu yang memilukan sebelum aku mengenalmu...”, desahnya.
Mentari merangkak menuju barat. Perlahan ufuk barat berubah berwarna darah seperti darah merpati. Bayang-bayang disembelih menghantui pikiranku. Aku tidak ingin disembelih sekarang. Aku ingin hidup lebih lama lagi...

Aku belum memulai cintaku oh Tuhan...
Aku berdoa pada Allah. Doa yang panjang. Ia juga turut berdoa.
Kami pulang bergandengan menuju rumah.
Ia lebih dulu tidur. Sementara aku masih terjaga. Tapi kemudian rasa kantuk mulai menyerang.

Kulihat diriku terbang di langit yang putih bersih dan bumi yang hijau ranau.
Aku terbang tinggi sekali. Lebih tinggi dari elang.
Awan-awan yang putih berada di bawahku.
Kulihat Nasya tidur di atas awan. Kupandangi ia dengan tajam. Ia tidak tidur.
Aku terkejut melihat bulu, sayap dan badannya berserakan.
Aku ingin berteriak tapi awan itu sudah berubah dari putih menjadi merah.

Awan telah meminum darahnya dan hujan pun mulai turun.
Hujan mengeluarkan air mata sebesar biji anggur merah.
Aku ingin berteriak... atau menangis... atau segera turun.
Aku terkejut. Awan itu hancur berantakan. Kusaksikan Nasya sudah terpotong-potong dan badannya berserakan di puncak bukit.
Kulihat diriku juga terkoyak-koyak disampingnya di puncak bukit.
Aku bermimpi sedang terbang dan di saat yang sama kulihat diriku berserakan di puncak bukit bersamanya.

Sebagian punggung kiriku melekat dengan sebagian punggung kanannya.
Setiap setengah bagian tubuh kami saling menyempurnakan setengah yang lain..
Aku terjaga dalam keadaan takut. Kulihat ia masih bernafas di sampingku.
Sang kekasih masih ada. Ia masih segar seperti biasa. Tarikan nafasnya menerbangkan beberapa helai bulu lehernya.
Aku masih membolak-balik badan beberapa saat hingga akhirnya aku tenggelam dalam rasa kantuk.

Akhirnya pagi pun menjelang...
Aku bangkit dalam kondisi sangat lemah setelah mimpi-mimpi aneh semalam.
Aku terbang sebentar agar lebih segar.
Aku terbang tanpa melihat ke sekelilingku. Pikiranku dihantui oleh bayangan itu. Banyangan kami dipotong bersama di atas bukit. Aku melayang-layang di udara.

Beberapa jam telah berlalu...
Tiba-tiba kulihat diriku sudah sangat jauh sekali dari kampung halaman dan tempat tinggalku.

Rupanya aku telah tersesat. Aku naik lebih tinggi. Aku berputar-putar di udara dan terbang dalam bentuk lingkaran sambil berusaha mencari tanda-tanda yang dapat menunjukkan daerah dimana aku mulai terbang tadi.
Aku tidak menemukan petunjuk apapun.

Daerah tempat aku terbang tadi adalah daerah pegunungan yang terjal.
Aku naik lebih tinggi lagi. Aku bergantung sepenuhnya pada penglihatanku tapi aku tak menemukan sama sekali tanda-tanda yang pernah kukenal.

Ketika aku mulai putus asa dengan penglihatanku, aku mulai mencoba menemukan arah dengan cara terbang lebih tenang sambil terus berusaha berhubungan dengan garis-garis kekuatan magnet yang terbentang di antara dua kutub bumi.

Ketika penglihatan pun sudah mengecewakanku, begitu juga garis-garis kekuatan magnet, akhirnya aku bergantung pada matahari untuk menemukan arah.
Aku ingin mengetahui sebuah sisi antara arah utara dengan matahari. Kalau aku dapat menemukan arah utara tentu aku akan menemukan arah-arah lainnya dan setelah itu aku akan pulang menuju arah timur.

Aku tenggelam memandangi matahari.
Saat aku menemukan arah yang aku cari, aku segera sadar bahwa aku sedang terbang di tengah perbukitan tempat para elang bersarang.

Aku hinggap dengan penuh rasa takut di sebuah sarang besar yang telah ditinggalkan oleh induk elang. Di dalam sarang itu ada seekor bayi elang.
Bayi elang itu satu setengah kali lebih besar dari ukuranku tapi ia belum bisa terbang.

Mungkin ia baru lahir kemarin. Aku merasakan sedang bergerak di dalam sarangnya.
Bayi elang itu mengangkat kepala botaknya dan paruhnya yang tajam lalu memandangku penuh sinis.

Aku berkata padanya tanpa suara: “Kurangi pandanganmu yang penuh musuh itu wahai pemangsa kecil. Belum tiba saatnya untuk melahap seekor merpati. Aku hampir tak mampu bernafas sampai akhirnya kulempar tubuhku ke udara secepat kilat seolah seribu elang tua tengah mengejarku. Aku terbang dengan cepat hingga akhirnya aku sampai ke pinggir kampungku.

Nasya berdiri disampingku.
Dengan tersengal aku berkata: “Aku selamat dari kematian yang tinggal selangkah lagi...”.
Ia berkata: “Sekarang tenanglah”.
Aku mulai tenang.

Ia mengepakkan kedua sayapnya. Udara sekitarku menjadi segar bercampur dengan aroma tubuhnya. keletihanku sudah hilang dan aku mulai merasa haus.
Ia tahu apa yang aku inginkan tanpa perlu kujelaskan. Ia segera menuju bejana berisi air dan memenuhi paruhnya lalu kembali untuk memberiku minum. Mulutnya di mulutku. Sayapnya menempel dengan sayapku. Hausku pada air sudah hilang berganti dengan hausku padanya.

Aku sampaikan hal itu padanya, lalu ia berkata: “Kawini aku...”.
“Aku kawini engkau”, sahutku.
“Semoga langit memberkati perkawinan kita”.
“Semoga diberkati juga oleh hati yang paling agung di muka bumi ini”, tambahku.
“Kekasih Allah; Ibrahim...”, sambungnya.
“Mari kita terbang bersama menemuinya...”, ajakku kemudian.

Kami beranjak dari halaman rumah Ibrahim dan masuk ke rumahnya.
Kami hinggap di sebuah tiang besar yang ia buat untuk tempat shalat.
Kami menunduk di depannya dan mencium kedua kakinya.
Kedua hati kami terbuai dalam cinta. Ibrahim mengulurkan kedua tangannya yang mulia dan mengusap kepala kami.
Kutarik kekasihku lalu kami terbang.

Kami rayakan hari pengantin kami di udara.
Kami undang awan, bintang-bintang yang bersembunyi di balik sinar mentari.
Kami undang matahari dan bulan yang bersembunyi di balik sinarnya. Kami undang seluruh makhluk Allah. Semuanya... untuk merayakan pesta ini.
Semilir ucapan selamat dari udara... ucapan selamt yang begitu tulus...

Kami empat merpati sudah menganggap rumah Ibrahim sebagai rumah kami...
Kemudian jumlah kami bertambah menjadi sepuluh ekor lalu menjadi dua puluh. Cinta telah mengungkapkan dirinya dengan beribu cara sehingga jumlah merpati-merpati kecil pun semakin bertambah.

Kami tahu banyak tentang kekasih Allah; Ibrahim waktu kami hidup di halaman rumahnya.
Ia banyak melaksanakan shalat, mengajak manusia pada kebaikan dan banyak berpikir.
Sebagai merpati biasa kami tidak mampu mengetahui tingkat kedekatannya dengan Allah atau dalam perasaannya pada Sang Pencipta. Apa yang kami tahu adalah ia banyak menyendiri.

Dalam salah satu khalwatnya ia tenggelam dalam perenungan, kemudian ia angkat kedua tangannya sambil memohon pada Allah.
"Dan ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. “Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah yakin, akan tetapi agar hatiku tetap mantap.” Allah berfirman: “Ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Istriku terlelap di samping anak-anak. Sementara aku duduk di luar sarang ketika tangan tuan kami; Ibrahim menghampiriku. Aku menyerah pada tangan suci itu.
Di tangannya yang lain ada sebilah pisau.
Pisau itu mendekati leherku.
Kutatap kilauan matahari di mata pisau itu.
Kilaunya menyebar di mata pisau itu.
Mata pisau itu mulai mendekati urat leherku sehingga aku bertambah pasrah.
Istriku berteriak tertahan.
Aku tidak merasakan apa-apa..
Mata pisau itu terhunjam di leherku.
Suara terakhir yang kudengar adalah jeritan isteriku. Setelah itu kudengar suara Ibrahim memanggil kami.
Sesaat berikutnya aku sudah terbang menuju Ibrahim bersama tiga ekor burung yang lain.

Kami sampai di pangkuannya lalu segera berhamburan.
Ibrahim sujud kepada Allah.
Aku tidak menemukan isteriku di sarang. Kulihat anak-anak sudah lapar sementara ia menghilang.
Aku mulai emosi. Aku pasti akan mengejarnya. Aku tahu dimana ia berada.
Dipinggir sebuah sungai tempat kami sering bertemu.
Aku terbang menuju sungai.
Isteriku sedang bertengger di dahan-dahan pohon sambil menatap tajam ke arah sungai tanpa bergerak.

Aku hinggap di dahan di sampingnya tapi ia tidak menoleh... Oh Tuhan, apa yang terjadi padanya, apakah ia sakit?
Ia masih tak menoleh. Air matanya mengalir deras. Ia berkata: “Pikiranku terguncang, seolah aku masih mendengar suaranya seakan-akan ia masih hidup”. Kata-katanya membuatku bingung. Kukepakkan sayap dan kupukul ia sekuat-kuatnya. Ia menoleh ke arahku.

Baru saja ia melihatku ia langsung menjerit histeris: “Ya Tuhan, bagaimana mungkin? Bukankah engkau...”
Ia mulai gemetar. Ia coba menghimpun segenap kekuatannya. Tiba-tiba ia berkata: “Bagaimana kau bisa hidup kembali kekasihku? Kau telah disembelih Ibrahim...”

Tiba-tiba aku teringat pisau itu. Kubentangkan sayapku disekitarnya untuk menenangkan rasa cemasnya, lalu aku berkata padanya: “Ceritakan semuanya padaku!”.
“Ibrahim telah membantaimu di depan mataku. Tubuhmu dipotong-potong bersama tiga ekor buung yang lain lalu ia serakkan potongan-potongan itu diatas buki..
“Ibrahim tidak membantaiku tapi ia memanggilku lalu aku segera memenuhi panggilannya”.
“Sungguh, ia telah membantaimu di depan mataku kekasihku.”
“Nyatanya aku masih hidup”.
“Aku hampir tak percaya kau masih hidup. Oh, kekasihku...”
Ia menghambur ke dalam pelukanku.
Tiba-tiba pikiranku mulai menemukan titik terang apa yang sebenarnya terjadi.
Nasya mengatakan kalau Ibrahim telah membantai empat ekor burung dan memotong-motong tubuh kami, kemudian meletakkannya di puncak bukit. Setelah itu ia lalu kembali kerumahnya.

Nasya mengikutinya kemudian ia menangis menyaksikan setengah tubuhku yang telah tercincang-cincang. Ibrahim meninggalkannya dan beranjak pergi. Nasya menangis sejadi-jadinya kemudian ia terbang menuju atas pohon itu.
Beberapa saat kemudian ia terkejut melihatku sudah berada disampingnya.
Lebih dari satu jam kami berbincang-bincang. Perasaan kami meluap-luap. Nasya gemetar saat berkata: “Ia telah membantaimu di depan mataku”.
Tapi aku dengan tenang berkata: “Ibrahim telah memanggilku dan aku segera datang”.
Ketika kami akhirnya sepakat bahwa aku telah disembelih dan kemudian aku bangkit dari kematian, aku mulai bertanya-tanya bagaimana mungkin ini terjadi?
Kata-kata “bagaimana” itu tenggelam dalam air sungai bagai sebuah rahasia yang sulit diungkap.

Tiba-tiba Nasya berkata: “Bukankah Ibrahim pernah berkata: “Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati?” Ibrahim meninggalkan bukit itu dan membiarkanmu dalam keadaan terbantai lalu ia kembali. Kemudian ia memanggilmu sehingga kau segera datang menghampirinya”.
Aku bertanya keheranan: “Untuk apa...?”.
“Boleh jadi Khalilullah ingin melihat 'tangan' Sang Pencipta bekerja, namun tirai ghaib sudah menutupi semua rahasia sehingga ia tidak melihat selain hasil belaka”.
Oh Tuhan... tapi bagaimana mungkin?
Ia kembali bermain di permukaan air.
Aku bergumam: “Jika Khalilullah saja tidak tahu bagaimana aku bisa kembali hidup, apatah lagi aku??”.

Aku mula bertanya-tanya, kekuatan apa ini yang mampu memanggil makhluk yang sudah mati lalu hidup kembali dan segera memenuhi panggilan itu?
“Itulah kekuatan cinta”, jawab Nasya. “Apakah engkau lupa bahwa Ibrahim adalah kekasih Allah (Khalilullah)?”

Jauh sebelum itu Ibrahim hampir saja menyembelih anak yang paling dicintainya. Orang yang mampu menyembelih anaknya karena cinta pada Allah sudah tentu juga mampu memanggil burung yang telah mati berserakan lalu burung-burung itu hidup kembali dan segera memenuhi panggilan itu.

Dalam kedua peristiwa itu ada kekuatan cinta.
Aku berkata: “Aku semakin bingung. Apa hikmah di balik semua ini...”
Nasya menjawab: “Aku tak punya jawabannya, duhai belahan jiwaku... Apa yang kuketahui wahai kekasihku adalah Allah ingin menenangkan hati Ibrahim di saat ia tengah mencari sebuah ketenangan.. Allah juga menenangkan hatimu yang telah disembelih dengan kehadiran seekor betina. Allah pun menenangkan hatiku dengan kembalinya dirimu padaku setelah aku sempat kehilanganmu. Allah telah mengembalikanmu padaku dan telah mengembalikan Ibrahim pada dirinya sendiri, apalagi yang kau inginkan lebih dari itu?”.
“Betapa Allah sangat mencintai Ibrahim”, gumamku.
“Betapa Ia juga mencintaiku dan mencintaimu”, sahut Nasya.

0 comments:

Post a Comment